Pages

22 July 2015

Tanah

Aku adalah angin.
Menyusup lewat dahan kecil,
bersapa dengan daun tua
juga yang muda.

Aku adalah abu.
Yang keluar sejak matahari
belum tiba hingga puncak.
Menari di sela mata.

Aku adalah kabut.
Sebentar terlihat mata,
untuk kemudian menyatu
bersama udara.

Aku adalah pohon.
Menjulang tinggi dan rapuh.
Enggan bersahabat angin.
Menyendiri sampai ke ujung.

Aku adalah rimba.
Rimba yang penuh harimau,
harimau yang siap diburu
sekaligus memburu.

Tapi siapa engkau?
Menyusup melalui maya,
mematahkan segala
aku yang telah tiada.

Kini,
aku bukan angin,
bukan abu,
bukan kabut,
bukan pohon,
bukan rimba.

Aku telah tiada.
Aku menjelma tanah.


Sebelum Malang.

13 July 2015

Kopi


Saya menganggap kopi hanya sebagai teman bicara. Sungguh hanya teman bicara. Kalaupun diganti dengan susu atau teh, tak ada masalah.

Bagi saya kopi memang tak ada yang istimewa. Belum ada, lebih tepatnya. Sampai saat, semalam saya berkunjung ke sebuah kedai kopi kecil milik kenalan saya, Mirza Jaka Suryana.

Rahasia Kecil dalam Sepucuk Surat yang Lusuh

Ilustrasi: Istimewa
Untuk kekasihku..

Hai, manis. Doaku dini hari ini adalah: semoga kamu tetap manis. Selalu manis.

Aku sangat ingin berterima kasih pada semesta yang telah mengatur pertemuan kita. November tahun lalu. Kepada semesta yang nantinya juga akan memisahkan jasad kita.

Sejak bertemu dan meminjam bukumu, buku yang ditulis oleh Haruki Murakami itu, aku tahu kalau kamu akan menjadi kekasihku. Pasti. Entah apa yang membuatku hakul yakin itu. Aku hanya yakin. Teramat sangat yakin.

Kamu tidak percaya? Oh, maaf. Aku tak berniat bertanya padamu. Sekarang aku tahu kalau perempuan tak suka ditanya. Dilan yang memberi tahu kepadaku. Dilan adalah novel karya Pidi Baiq yang aku pinjam dari temanku. Belum sampai habis aku membacanya. Tinggal tersisa beberapa puluh halaman lagi.

Aku anggap kamu tidak percaya. Maka aku akan menceritakannya untukmu, perempuan manis yang kini adalah kekasihku.

Aku adalah mahasiswa biasa di kampus yang biasa pula. Aku tidak flamboyan. Aku hanya kenal beberapa orang di kampus. Kalau orang-orang mengenalku, itu bukan urusanku. Tapi, kamu berbeda.

Kamu mengikutiku di Twitter. Aku mengikuti balik. Aku tahu kalau kamu itu satu kampus denganku. Juga satu angkatan dan satu jurusan. Tapi, aku tak pernah mengenalmu. Aku penasaran, siapa perempuan ini. Siapa sebenarnya dirimu, perempuan manis yang mengikutiku di Twitter.

Aku membuka halaman instagrammu, yang tertera dalam profil twittermu. Aku melihat foto-fotomu. Melihat potret buku Haruki Murakami dan di lain foto, potret temanku, Amat. Sejak itu, aku tahu kamu berteman dengan Amat.

Amat adalah mahasiswa yang dikenal banyak orang. Ia tergabung dalam sebuah komunitas fotografi. Tentu saja ia juga pandai mengabadikan peristiwa dari sudut lensa yang tak terduga. Aku mengenalnya ketika komunitasku meminta tolong kepada komunitas fotografinya, untuk keperluan dokumentasi.

Pernah aku melihat Amat sedang sendirian, membaca novel Gelombang karya Dewi ‘Dee’ Lestari. Saat itu, Gelombang memang baru terbit, melanjuti serial Supernova yang selalu menjadi best-seller Dee sebelumnya, Partikel. Aku penasaran dengan isinya.

“Punya lu, Mat?” tanyaku kepadanya.

“Bukan. Punya temen gue.”

“Pinjem dong.”

“Lu bilang sendiri sana sama temen gue,” ucapnya ketus.

Aku langsung mengurungkan niat untuk meminjamnya. Nanti juga banyak temen gue yang beli, pikirku, sambil berharap sahabatku Nadira sudah membelinya sehingga bisa aku pinjam darinya.

Selain jago fotografi, Amat juga senang membaca. Dan ia adalah temanmu. itu yang penting dalam suratku ini.

Setelah beberapa lama, aku bertanya pada Amat tentang dirimu. Mungkin Amat telah lupa kalau kamu ingin mengonfirmasinya. Tapi aku akan selalu ingat. Aku meminta tolong Amat untuk bisa meminjam bukumu, novel Haruki Murakami itu. Berselang hari, Amat bilang, "Orangnya maunya langsung ketemu sama lu."

Amat langsung mengajakku menemuimu. Aku memberanikan diri, sekaligus sangat ingin, bertemu denganmu. Melihat wajah asli perempuan manis di Twitter itu.

Hari itu, Rabu bulan November, akhirnya kita bertemu. Di depan kantin, samping lapangan basket yang ditutupi pohon bambu. Kita berbicara tentang apa saja. Tentang kamu, aku, dan Miko, yang entah kebetulan atau tidak, sedang ada di situ.

Entah berapa lama aku duduk bersamamu di tempat itu. Cepat sekali rasanya. Waktu memang begitu relatif. Tidak kaku seperti kerah orang-orang yang berdasi itu. Bersamamu, pun menghabiskan berjuta waktu, rasanya cepat seperti kilat.

Dua tujuan utama hari itu telah tuntas; bertemu dan meminjam bukumu. Sebelum pergi, aku juga menjanjikan kopi untukmu sebagai bea meminjam novel Murakami. Hari ini aku cukupkan. Kopi itu untuk di lain waktu.

Hari itu aku yakin, kamu akan menjadi, apa namanya di atas tad? Kekasihku.

Kamu masih belum percaya, manis? Oh iya, maaf. Perempuan tak suka ditanyaDilan kembali datang ke dalam pikiranku.

Anggap saja aku masih menganggapmu belum percaya. Mari, manis. Duduklah tenang di samping laptopmu. Lewat surat ini, aku ingin membisikkan rahasiaku. Dengan pelan. Teramat pelan.

Setelah bertemu denganmu, Rabu di bulan November itu, aku langsung menulis. Sebuah puisi. Tentang Rabu yang bahagia.

Kamu mau membaca puisi itu lagi? Belum bosan juga kamu membacanya?

Itu adalah salah satu, dari yang tak terhingga jumlahnya, yang membuat aku hakulyakin kamu adalah kekasihku. Kamu tak pernah bosan membaca.

Puisi itu lahir begitu saja. Entah karena dan untuk apa. Mungkin karena dan untukmu. Semesta yang mengaturnya.

Saat itu, akun Twittermu masih aktif. Aku ingat juga, kamu membuat sebuah ilustrasi perjalanan hari Rabu di bulan November itu, dalam blog milikmu. Di sana ada namaku.

Kamu tak memberi keterangan pada namaku. "...untuk... yang ini skip dulu."

Itu yang membuat aku semakin yakin, kamu adalah teman hidupku. Tapi, manis, aku menganggap itu janji. Janji untuk menjelaskan siapa aku. Apa benar itu aku yang kamu maksud?

Aku harap kamu mampu melunasi janji itu. Harap. Sangat.

Kekasihku yang manis, masih ingatkah kamu tentang itu? Tentang masa aku mengenalmu dan yakin kalau kelak, kamu adalah kekasihku.

Apakah kamu sudah percaya? Meskipun Dilan berulang kali bilang kalau perempuan tak suka ditanya, aku tetap harus bertanya kepadamu.

Aku telah bertanya, bolehkah aku mencintaimu. Kamu menjawab ya. Boleh. Aku boleh mencintaimu. Selamanya. Sampai semesta mengatur perpisahan kita. Nanti.

Itulah rahasiaku, manis. Aku mencintaimu.

Manisku, tak perlu kamu takut dengan perpisahan. Itu adalah alasan kita pernah bertemu. Untuk berpisah.

Namun, aku ingin kamu selalu ingat sepenggal sajak Sapardi, yang pernah kuberikan untukmu, "Yang fana adalah waktu. Kita abadi."

25 May 2015

Kabar

Demi bunyi gelas yang bertemu sendok tukang es campur.
Dan suara botol-botol hijau pedagang mpempek.
Melalui kipas angin listrik yang selalu bolak-balik.
Ingin kutitipkan untukmu segenggam rindu.

Demi Riko yang agak murung melihat rencana nikahnya saat SMK kandas sudah.
Dan keponakannya yang menangis melihat bapaknya pergi beli makan.
Bak hitam plastik telah direbahkan agar bisa mandi di pukul setengah lima.

Demi suara latar lagu The Adams.
Dan suara gelisah menunggu balasan.
Juni semakin dekat,
meskipun tak harus hujan seperti sajak Sapardi.

Demi para pemancing yang tak membawa ikan pulang.
Dan nyanyian burung kenari berwarna kuning di dalam kandang.
Mobil-mobil melulu bising berlalu-lalang.

Demi Beni yang tak lagi menyapa dengan halo.
Dan kakak-beradik kecil terus memegang botol mineral.
Lewat daun melinjo muda, semoga kabarmu selalu tak jumawa.

Mei,  2015

16 May 2015

Menulis


Sejak sebelum saya memutuskan untuk kuliah jurusan ilmu jurnalistik, saya meyakinkan diri untuk bisa menulis. Koran yang belum terbit jadi bahan bacaan saya setiap malam. Ini adalah amunisi, pikir saya.

Setelah masuk, saya sengaja ikut kegiatan teater. Bukan untuk jadi aktor. Tapi penulis. Adalah angan-angan Nano Riantiarno tentang Soe Hok Gie, yang membawa saya ke dalam teater.

Hebat benar imaji pendiri Teater Koma itu. Hanya dengan tulisannya, saya berteater. Demi bisa menulis.

Saya belajar menulis dari sebelum menduduki bangku di taman kanak-kanak, yang dulu dibayar dengan iuran kurang dari Rp 10.000 setiap bulan. Menulis bukan hal yang baru bagi saya, juga manusia. Menulis telah dilakukan jauh sebelum Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian, kalau kata Pramodya Ananta Toer. Oleh karena itu saya tetap meyakinkan diri untuk menulis.

Kritik adalah teman. Pandangan sinis merupakan anjing yang mesti dibiarkan oleh kafilah.

Tapi, menulis bukanlah proses yang mudah. Andreas Harsono berkata, menulis butuh tahu dan berani. Tahu tentang apa yang ingin kita tulis, dan berani menulis.

Kedua hal di atas adalah hal yang sangat memuakkan untuk memulai sebuah tulisan. Saya belum tahu banyak, namun cukup berani untuk menulis.

Tiga tahun lalu, sebelum menonton sebuah festival teater di Bulungan, kawan saya mengajak membuat proyek menulis. Setiap hari, sebulan tanpa henti. Saya setujui idenya.

Namun menulis berdua rasanya kurang mengasyikan. Kami mengajak seorang lagi. Berhasil.

Saya membuat blog, untuk arsip dan publikasi proyek kami.

Tujuannya, menafsirkan kebenaran. Aturan mainnya, tidak menulis dengan alasan apapun, wajib membayar denda yang tak sampai harga setengah bungkus rokok.

Tiga tahun sudah proyek itu berjalan. Setiap tahun kami menyisihkan 30 hari untuk menulis. Tentu dengan serba sok tahu dan sok berani.

Entah karena tujuannya yang teramat banal atau memang pengguna internet yang melulu syahwat, dari ratusan tulisan, setengah dari pengunjung blog kami hanya ingin tahu arti ngentot.

Betapa indahnya segala proses untuk keabadian ini.

16 March 2015

Dakwah

Foto: Akumassa.org

Sabtu sore, di depan kampus kecil yang melulu memasang banner Andy F. Noya, terlihat tak mau kalah spanduk habib terbentang begitu lebarnya. Saya lupa nama habibnya. Isinya ajakan untuk datang ke majelisnya.

Andai habib memakai android dan menginstal aplikasi Line, pasti ia tak perlu repot-repot mengeluarkan biaya Rp 30 ribu per meter untuk mencetak spanduk, banner, apalah namanya. Karena sia-sia. Setidaknya bagi saya.

Andai juga ia berpikir pragmatis seperti kampus di seberang jalan spanduknya dipasang, ia tak terlalu rugi. Prinsipnya sederhana, cetak satu, gunakan selama mungkin.

Syahdan, habib tetap berdakwah. Pun saya menulis ini tanda tak suka caranya berdakwah. Karena bukan habib yang mencetak poster, menutup jalan, dan berjualan di trotoar. Habib tak tahu urusan sepele itu. Tugas habib lebih dari itu.

Propagandis, kalau dilihat dari ilmu propaganda. Seperti Sacra Congretario de Propaganda Fide, majelis propaganda yang mengontrol misionaris Katolik pada abad XVII.

Propaganda masih ada. Ginting, dosen mata kuliah Propaganda dan Psywar di kampus saya, bilang, propaganda tidak selamanya buruk. Karena ia adalah ilmu, dan dasar ilmu pastilah baik. Propaganda yang baik adalah propaganda yang tak terendus bahwa itu buruk.

Dakwah adalah salah satunya.

03 March 2015

Penyusup

Foto: Bang Boim

Tahun 2011 saat itu bulan puasa. Setelah lebaran, banyak penyusup dari luar yang datang ke Jakarta. Untuk penghidupan yang lebih layak, pikirnya.

Di tahun 2011, di IISIP Jakarta, saat sedang diadakan KMP (bukan koalisi merah putih tapi kuliah minggu pertama) ada penyusup tertangkap kamera. Ia pakai sweater, dengan rambut belah tengah nanggung.

Saat ini, pria itu tercatat angkatan 2012 di IISIP. Lihai main kendang, juga kecapi. Oleh dosen walinya, Harun, ia disarankan untuk pindah kuliah. UNJ atau IKJ saja, kata Harun. Agar bakat seninya bisa lebih tersalurkan.

Namun perkara biaya, ia tetap berada di IISIP.

Setalah cuti semester kemarin, semester ini ia berniat untuk kuliah kembali. Tentu dia disambut oleh Harun dengan kata-kata yang sama.

"Mending pindah kuliah saja," usul Harun.

"Tapi bapak yang bayarin yak," jawab sang penyusup.

Percakapan selesai dan si penyusup 3,5 tahun silam itu akan kuliah kembali semester depan. Tentunya sambil bermain kecapi dan kendang di sela-sela jam kuliahnya.

Entah apa yang dilakukannya saat KMP 2011 di IISIP. Konon kabarnya, ia terhasut oleh kawan di sampingnya yang saat ini mirip Steven Seagal, untuk ikut KMP.

Dulu saya tak tahu ia pernah menyusup. Namun, setelah mencari-cari data, ternyata penyusup memang ada.

Dialah orangnya, Bagacuy.

19 January 2015

Pagi yang Kutitipkan Salam

Hujan masih juga berdetak
Saling menyalip dengan waktu
Menggagahi satu dan yang lain

Pengeras suara masjid
tak juga mau berhenti,
tak bosan membisikki suara ibu
yang mengaji

Hanya pagi yang tak jumawa
Setia pada hari
untuk melanjutkan malam

Semalam, kita berbicara tentang rindu, sayang
Tentang aroma
yang aku dan kamu tak juga paham

Aku mengirim puisi dari Indian
Puisi yang berjanji,
sebelum pagi, engkau kujenguk
dalam tidur

Suara ibu yang mengaji telah padam
Telah berganti hujan
yang mulai serakah
Tak membiarkan detak jam lagi terdengar

Apakah semalam aku hadir dalam tidurmu, sayang?
Dan kita lanjutkan tentang rindu yang belum usai?

Lewat waktu, hujan dan pengeras suara
telah kusampaikan rindu, sayang, padamu

Pada pagi,
yang masih manantang malam untuk kembali

09 January 2015

Perempuan dalam Kepala

Ilustrasi karya Popo, yang pernah jadi ilustrasi cerpen "Perempuan Tua dalam Rashomon"Kompas (5/12/2011).
Entah kapan petama kali ia datang dalam kepalaku. Pagi itu, saat matahari belum sempat menyapa embun yang hinggap dalam rentangnya hijau daun, aku termenung lagi. Di dalam cangkir masih ada sisa-sisa ampas pengembaraanku tadi malam, saat pikiranku menjelajah setiap kemungkinan adanya kenangan tentang sosok perempuan dalam kepalaku ini.

08 January 2015

Mengenang The Adams

The Adams
Langit malam ke tujuh di tahun yang baru ini begitu cerah. Saya melihat ke arah Timur, tempat di mana bulan tak bisa bersembunyi. Hanya ada satu bulan. Bukan dua bulan seperti dalam novelnya Fuka-Eri, yang ditulis dengan bantuan Tengo, dalam 1Q84 milik Haruki Murakami.

07 January 2015

Apa yang Salah dengan Upacara Bendera Hari Ini?


GEDUNG tiga lantai itu nampak megah. Lonceng tanda upacara bendera secara otomatis membuat siswa-siswi berseragam putih-merah, lengkap dengan atribut dasi dan topi, berhamburan dari kelasnya menuju lapangan untuk berbaris. Bendera merah putih sudah berkibar. Upacara hari ini tidak seperti kegiatan rutin menaikkan bendera di setiap Senin pagi. Ada hal penting yang patut dirayakan dengan upacara.

Alih-alih menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, guru mereka datang bak dirigen handal memainkan kedua tangannya dan siswa-siswi bernyanyi lagu “TV, Jasamu Tiada...”

05 January 2015

Membaca Realitas Lewat Jalanan

Foto: Dok. Kaphac 32
SUASANA muram. Puluhan lampu 60 watt menyinari foto-foto yang tergantung rapi pada benang pancing dalam sebuah ruangan lembab. Atap plafon yang bolong sesekali membuat ruang pameran becek ketika hujan, semakin menambah dimensi kemuramam yang sudah tercipta. Sepetik kata-kata pada prolog yang ditulis oleh kurator pameran, Arbain Rambey, masih berputar-putar di kepala saya, ”...Inilah Jakarta, inilah Indonesia akhir-akhir ini.

Adalah Ruang IV-6, ruang yang biasa digunakan untuk beristirahatnya mahasiswa Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta saat menunggu jam kuliah, yang diubah menjadi galeri pameran oleh Kampus Tercinta Photography Club (Kaphac) 32 dari 11-15 November lalu. Sebanyak 133 foto bertema “Jalanan” dipamerkan oleh 44 pameris, yang seluruhnya merupakan mahasiswa IISIP.

03 January 2015

Cokelat

Sebentar kemudian, ia meleleh.
Menjadi cair
menjadi lumer..

Siang itu pukul satu
lewat kurang lebih
tiga puluh menit

01 January 2015

Selayang Pandang Heterogenerasi

semoga berkah
Semoga Berkah on stage (Dok. Kremmasi).
Euforia Natal belum selesai. Masih banyak pohon cerama berhias lampu-lampu yang menyala mesra. Belum lagi, hujan di bulan Desemeber yang semakin syahdu. Jumat ini adalah Jumat yang sempurna. Sempuna untuk tidur berdekap selimut dalam kamar yang hangat.

Matahari sudah tenggelam. Hujan belum kelar. Saya memandang layar ponsel menunggu kabar.