Pages

23 December 2012

Lebam Telak di Otak Sungsang




Kalo lu bisa nge-review albumnya, gue kasih ceban deh,” begitulah Mawar (nama disamarkan), yang memiliki badan “sedikit” lebih besar bentuk dari saya, berkata kepada saya malam itu. Setalah dua botol minuman produk kapitalis habis, rasa kantuk mulai datang, membawa saya pada mimpi panjang tentang waria. Lalu, setelah matahari kembali, langsung saya unduh album Sapuan Feses Waria Meledak yang dimaksud Mawar di situs netlabel terkemuka asal Jogja, yesnowave.com.

Sungsang Lebam Telak, begitulah nama band pesanan Mawar yang minta diulas. Track ‘Kejatuhan Rona Jiwa Yang Meronta-Ronta Dalam Estetika Psikedelis’ saya dengarkan, teriakan terdengar, improv-improv super jazz –klaim dari mereka mengenai genre musik mereka- menghancurkan daras-dasar pemikiran tentang musik yang sudah ada. Tiba-tiba, saya tak tahu harus menulis apa. “Ini band mau ngapain sih?” Album yang berisi sembilan lagu, yang judulnya lebih enak untuk dibaca daripada harus didengarkan.

1  –Tertangkapnya Kecepatan Wal Afiat yang Mampu Diramalkan Setiap Kancah
2  –Pengharapan semu dapat dirasakan asap-asap alumnus terjerembab lompat
3  –Kapan Lagi Membakar Aroma Bolpoin di Balik Karpet Musim Panas Terus
4  –Sebesar Usaha Kami Mencuci Kaus Ternoda Bersama Gemericik Gledek Cemerlang
5  –Kejatuhan Rona Jiwa yang Meronta-Ronta dalam Estetika Psikedelis
6  –Endapan Kesalahpahaman Bobroknya Birokrasi Tato Rusak
7 –Menyongsong Area Lampu Merah saat Anus Kembali Menyempit per Dua Detik dalam Penasaran Mabrur
8 –Usurlah Partikel Cakupan Melejitnya Adidaya Kerupuk dan Asam Garam Politik
9 –Semburan Diare Langsung ke Lidah yang Telah Terpatahkan oleh Teori Usang Tata-Titi Bersepeda

Track demi track saya putar terus menerus, tetap saja tak ada yang bisa saya tangkap maknanya. Apakah ini yang namanya komunikasi tanpa makna, yang menghancurkan makna palsu dalam komunikasi? Akhirnya dengan berat hati dan kondisi kepala pusing, saya putuskan untuk mendengarkan Wezeer –berbubung Wezzer sebentar lagi akan konser di Jakarta, pun tak mungkin nonton pula, yang penting mendengarkan untuk menghilangkan kepenatan Sungsang Lebam Telak.

Mungkin sesuai dengan namanya, Sungsang Lebam Telak ingin menghancurkan pandangan tentang nilai-nilai moral yang sudah ada. Mendekonstruksi nilai-nilai yang telah tersusun rapih dengan super jazz yang dibawakannya. Satu saran saya, janganlah Anda dengarkan lagu-lagu di atas, cukup baca saja judul lagunya. Anda hanya akan menghabiskan waktu, quota internet, pikiran, bahkan sampai persaan saat Anda memutuskan untuk mendengarkan album Sapuan Feses Waria Meledak. Saya pun menuliskan review ini hanya untuk mendapatkan uang cebanan, yang entah akan dibayarkan atau diangga[ sebagai pemotongan hutang yang kian tak tertahan.

Sampai saat ini, saat sedikit memperbaiki tulisan ini, saya tak tahan mendengarkannya dan memilih mendengarkan lagu-lagu absurd Zeke Khaseli.

22 December 2012

Tentang Teater, Hidup dan Menulis Kehidupan




Saya adalah orang yang tergabung dalam sebuah kelompok teater, Teater Kinasih. Baru-baru ini, kelompok teater tempat saya tergabung mengadakan sebuah diskusi tentang jurnalisme musik. Ada pro, ada kontra.

Kenapa musik? Karena semua orang suka musik, semua orang menikmati musik, dan semua orang hidup berdampingan dengan musik. Musik juga merupakan elemen penting dalam teater. Menulis tentang musik berarti berusaha untuk mengetahui tentang latar belakang teriptanya musik tersebut.

Bila memutuskan untuk mengundang pembicara yang notabennya adalah seorang teaterawan/ti, tentu yang akan senang adalah kita sepihak, sebagai kelompok teater. Animo masyarakat kampus pun tak akan besar dan akhirnya, hanya kelompok teater tersebut yang bertambah ilmunya. Teater Kinasih mencoba untuk tidak memuaskan diri sendiri.

Ada yang bilang, jika sebuah kelompok teater hanya bergaul dengan sesama orang teater, setiap nonton, nonton teater, mengadakan acara, acara teater, kita hanya akan mendapatkan teknik berteater yang baik dan benar (dan kami tentu sadar bahwa kami belum menguasai teknik itu dengan benar), dan sebagai bonus, kita hafal nama-nama pembesar teater dan dikenal dikalangan orang-orang teater.

Teater Kinasih mencoba untuk tidak terperangkap dalam arti teater yang sempit di atas, yang hanya memikirkan tentang pementasan, aktor, panggung, dll. Kemarin, Kinasih mengadakan sesuatu yang berbeda, "Bincang Musik Teater Kinasih: Jurnalisme Musik Dulu & Sekarang". Di acara yang diaselenggarakan oleh Teater Kinasih yang bekerja sama dengan webzine lokal Jakartabeat.net, juga tidak serta merta lepas dari pelajaran, yang telah didapatan dari latihan maupun masukan yang diberikan para senior (orang-orang yang lebih dahulu bernaung di Kinasih) yang hadir, tentang bagaimana mengaplikaskan ilmu teater dalam kehidupan, tentang cara membangun relasi dengan mereka yang dibilang awam dalam dunia teater, tentang mengajak masyarakat kampus mengenal Teater Kinasih yang terbuka.

Ada benang merah yang masih berkesinambungan antara teater dan menulis musik. Kalau teater itu adalah ilmu tentang kehidupan, menulis musik juga menulis menulis tentang kehidupan (setidaknya itu yang dikatakan oleh Taufiq Rahman sebagai pembicara). Kita bisa mempelajari dan menuliskan tentang kehidupan sekaligus, melalui proses berteater dan menulis.

Saya pribadi cukup puas dengan terselengaranya acara "Bincang Musik Bersama Teater Kinasih: Jurnalisme Musik Dulu & Sekarang", dan respon para peserta diskusi pun sama, puas. Semua senang dan mendapatkan sesuatu yang baru untuk dibawa pulang. Jadi, bila anda yang merasa kenal maupun awam dengan teater, mungkin perlu untuk menuliskan kehidupan.

19 December 2012

Separator Busway Semakin Tinggi



Jakarta Pemandangan berbeda terlihat di sepanjang jalan raya Warung Buncit – Mampang, Jakarta, Jumat (5/12). Di koridor Mampang-Warung Buncit, separator busway ditinggikan hingga 30 – 40 centimeter menggantikan separator lama yang hanya setinggi kurang dari 20 centimeter.

Pembenahan sarana dan prasarana Transjakarta terus dilakukan pemerintah provinsi (pemprov) DKI Jakarta. Proyek ini semata-mata untuk mengajak masyarakat mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan beralih menggunakan jasa angkutan umum.

Selain untuk mengajak menggunakan moda angkutan umum, pemerintah juga ingin meminimalisir angka kecelakaan yang sering terjadi di daerah tersebut.

“Bermanfaat banget. Terutama masalah jalan dipagerin, bagus banget karena beberapa kali ada kecelakaan karena menyebrang sembarangan,” tutur Ridwan, warga Mampang yang setiap hari melewati jalur itu.


Mediaku Agamaku, Agamamu Urusanmu



Agama, di bangsa yang ketimuran seperti Indonesia, memang sangat sensitif untuk direkonsrtuksi. Setiap agama mengajari dan mempercayai kebenarannya masing-masing. Sampai akhirnya bersinggunganlah kebenaran yang satu dengan yang lainnya.

Media massa memiliki peranan yang besar dalam meredakan atau menciptakan konflik antar agama tersebut. Tentu, tak semua media massa bisa meredakan konflik antar agama yang terjadi, bahkan lebih banyak media sebagai pemicu konflik. Namun, ketika media massa bersikap independen dan tidak berpihak pada kepentingan apapun, sikap bias media massa terhadap agama tak mungkin terjadi.

Peranan media massa dalam negara yang menganut paham demokrasi adalah sebagai pilar ke-empat demokrasi, seharusnya bisa menyelesaikan perselisihan sosial. Namun, yang terjadi justru semakin memperkeruh suasana melalui isu-isu yang tidak jelas asal-usulnya. Untuk mengatasinya, pihak yang terlibat langsung dengan dunia pers harus memegang teguh etika dan kode etik jurnalistik yang berlaku dalam setiap menjalankan tugasnya.

Sebagai masyarakat, kita juga harus memiliki sikap kritis terhadap setiap informasi yang diberikan oleh media massa, tidak langsung menerimanya. Media massa hanya menciptakan tanda-tanda, sementara khalayaknya yang memaknai tanda-tanda yang diberikan oleh media. Dan masyarakat yang tidak kritis akan hidup dalam kepalsuan simbol-simbol yang diciptakan oleh media. Tentu, sebagai masyarakat, sudah menjadi pilihan untuk tetap hidup dalam simbol-simbol yang diberikan media atau bersikap kritis untuk membongkar simbol-simbol tersebut.

papernoise: Teater Kan Gak Melulu Harus Pentas


Ketika sebuah diskusi diulas, apa yang anda harapkan didalamnya? Jika konsep 5W + 1H anda rasa sudah cukup, maka diujung flyer lah rasa keingintahuan anda berhulu. Jika tidak, berarti saya yang kemudian kelimpungan harus menariknya ke lingkup yang lebih personal.
Industri musik butuh narasi, media memiliki peranan penting dalam hal ini. Maka tulisan-tulisan yang dihadirkan diharapkan memiliki skala persuasi yang kental untuk mengubah konstruksi realitas sosial. Skema ke-sok-tahu-an saya membawa saya mereka-reka alasan tadi, alasan mengapa Teater Kinasih memilih jurnalisme musik sebagai sarana mempelajari kehidupan — manusia khususnya. Semacam mencari legalisir akan alasan tadi, saya coba berbincang dengan Bayu.
Terhitung 4 hari setelah talkshow "Jurnalisme Musik Dulu Dan Sekarang", 17 Desember 2012, saya berbincang dengan Bayu Adji Prihammanda, selaku anggota Teater Kinasih, sekaligus ketua pelaksana diskusi tersebut.

Kenapa Teater Kinasih pilih tema "Jurnalisme Musik" buat acara diskusi kemarin?
Karena semua orang suka musik dan musik bagian dari unsur teater. Kalo jurnalisme, karena kinasih punya media juga yang membahas tentang seni budaya, Buletin Kinasih (BuKin) yang lu juga jadi pelanggannya, mangkanya diambil tema jurnalisme musik.
Dan, setelah gw baca buku LTD (Lokasi Tidak Ditemukan), ternyata menulis musik itu gak segampang menulis blablabla... Menulis musik adalah menulis tentang manusia, sedangkan teater adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan, manusia juga.
 Oh jadi si teater sama musik ada hubungan gitu ya..
iyalah
Hubungan Teater Kinasih sama Jurnalisme, sedekat apa sih Bay?
Iya dibilang deket pasti sih..
IISIP itu kan bisa dibilang 60% isinya mahasiswa jurnalistik, jadi tradisi setiap HIMA/UKM/tongkrongan punya media itu udah turun-temurun. Ini sih sebagai bentuk persembahan buat anak2 kampus yang minat jurnalisme.
Terus ya kita sebagai salah satu yang ngeramein kehidupan media di kampus mencoba membuat sebuah diskusi jurnalisme. Mencoba membuat media kampus khususnya, yang menuliskan tentang musik itu tau bagaimana sih seharusnya menulis musik yang asyik. Ya itu tadi, biar kehidupan media di kampus itu hidup, gak sepi.
Bisa dibilang tema 'musik' yang diambil disini kaya gula buat semut2 lah ya?
Nah! Coba lu bayangin kalo gw bikin workshop/diskusi tentang teater. Itu mah sama aja onani, cuma pegiat teater aja yang seneng.
Bay, terus efek diskusinya buat Teater Kinasihsnya sendiri gimana Bay? Diluar BuKin
Teater Kinasih jadi lebih seger, dinamis dan gak ngebosenin, out of the box lah. Teater kan gak melulu harus pentas dan acara kemaren itu lebih nyuri ilmu & bikin relasi sama orang2 di luar lingkup teater.

(Bahkan tanpa harus dibilang 'out of the box' pun saya belum pernah lihat UKM serupa mengadakan diskusi tentang jurnalisme.)

oleh:

Resqi Utomo
Redaksi

04 December 2012

Peran Mahasiswa dalam Menciptakan Jurnalisme Warga


Jurnalisme warga, menurut wikipedia, adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita. Sebagai mahasiswa komunikasi, tentu, jurnalisme warga sudah tak asing lagi di telinga kita. Saat ini semua sudah bisa menjadi wartawan.

Dalam sebuah esai di harian Kompas (13/10/2012), Agus Sudibyo, seorang anggota Dewan Pers, mengatakan, “Hampir semua kalangan masyarakat dapat menjalankan laku jurnalistik; mencari, merekam, mengolah, dan menyebarkan informasi dalam pelbagai bentuk. ..... Dalam berbagai kasus, jurnalisme warga memiliki pengaruh lebih besar dari jurnalisme konvensional,”[1] –dalam hal ini, media mainstream.

Jurnalisme warga, yang saat ini menjadi fenomena di Indonesia, lahir dari ketidakpuasan masyarakat dengan media massa yang ada. Media-media besar semakin hari semakin berpihak kepada kepentingan penguasa. Informasi yang dihadirkan sering kali tidak berimbang. Hal ini yang menyebabkan masyarakat tidak puas dengan berita-berita yang disajikan di media mainstream.

Banyak kepentingan yang terdapat di dalam informasi yang disajikan media massa. Mulai dari kepentingan politik, ekonomi, dan lain sebagainya, yang semakin membuat media massa tidak seimbang (cover both side) lagi dalam menyampaikan isi pernyataan. Yang dirugikan adalah masyarakat, yang mengkonsumsi media tersebut. Masyarakat diberikan mitos melalui tanda (bahasa) oleh media, kemudian media mengemas mitos itu dengan rapi, sehingga mitos itu dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh khalayak. Mitos-mitos yang diciptakan media mainstream membuat masyarakat terperangkap dalam tanda-tanda yang diberikan tanpa tahu kebenarannya, bagaikan seekor katak dalam tempurung. Dalam kepalsuan mitos itu pula, kualitas pikiran masyarakat terus menurun. Oleh karena itu, mitos yang dihasilkan oleh media perlu untuk dibongkar, diketahui asal-usul kebenarannya.

Pry S Pry dalam esainya di situs Jakartabeat.net mengatakan:

Tapi seiring waktu, kebutuhan masyarakat untuk lebih dari sekedar memahami kompleksitas zaman macam apa yang tengah terjadi di lingkungannya makin menguat. Media massa sebagai sumber pengetahuan publik dalam konteks kebudayaan populer paling strategis, dituntut untuk berperan menuntun publik lebih dari sekedar menyajikan berita-berita kering nan kaku. Independensi, objektivitas, dan universalitas tadi pun ramai-ramai digugat. Sebab seterang apapun fakta disucikan, bukankah rumus 5W+1H itu adalah buah pikir subjektif sang jurnalis ketika menentukan bagian mana yang harus dijadikan lead dan peristiwa apa yang dipilih untuk jadi headline.[2]

Seorang jurnalis tak mungkin lepas dari subjektifitasnya dalam menyampaikan informasi kepada khalayak. Jurnalis bukan seorang Nabi atau Rasul yang membawa kebenaran mutlak, karena kebenaran itu relatif. Oleh karena itu, masyarakat sendiri yang harus aktif untuk mencari kebenaran tersebut.

Kerja jurnalis sebagai profesi hari ini bukan lagi bagaimana memperjuangkan idealisme tunggal dari pribadi yang narsistik dan mungkin juga sedikit nyeni yang menjual mimpi-mimpi palsu akan independensi, objektivitas, dan universalitas, tapi sebagai kerja kreatif tim yang juga mengandung praktik kelas di dalamnya; reporter bergaji murah sebagai buruh middle class yang bekerja mengumpulkan fakta, redaktur sebagai elit kecil yang memegang kemudi dari balik mejanya menjelang deadline hingga tengah malam buta, dan pemimpin redaksi yang merancang strategi dan menyusun bagaimana komposisi idealisme dan komersial di tengah ketidakpastian konteks politik ekonomi yang selalu tarik menarik.[3]

Masyarakat yang memiliki sikap kritis, tentu, tidak begitu saja percaya dengan apa yang disaksikan melalui media massa. Mereka, yang masih bisa sedikit kritis, akan berusaha membongkar fakta yang diberikan oleh media mainstream. Namun, mitos yang dihasilkan oleh media massa, tidak lantas menjadi alasan untuk membenci media yang notabene-nya memberi informasi. Media hanyalah alat menyampaikan informasi. Jika ada yang harus disalahkan, tentu bukan medianya, namun kepentingan di balik media tersebut.

Salah satu cara untuk membongkar mitos tersebut adalah dengan bersikap independen. Dan, berusahan untuk menciptakan media yang dinilai lebih jujur, obyektif, tanpa adanya kepentingan para penguasa. Mahasiswa tentu memiliki peranan yang penting dalam upaya membongkar mitos-mitos yang ditampilkan oleh media massa dengan membuat sebuah wadah informasi yang independen. Sebagai pelaku intelektual, mahasiswa berkewajiban untuk mengarahkan lingkungan sekitarnya agar menjadi cerdas dalam memilih dan menerima informasi dari berbagai gempuran media. Dan, tidak hanya sekedar menerima, tetapi juga bisa menghasilkan informasi, yang bebas dari kepentingan penguasa, kepada khalayak luas. Dari hal tersebut munculah jurnalisme warga, sebagai media dari dan untuk untuk masyarakat.

Jurnalisme warga lahir dari masyarakat yang muak dengan media massa mainstream, yang seragam. Mereka, masyarakat yang muak dengan media mainstream, lantas mencari media alternatif, mengamati dan mulai menirukannya. Sadar atau tidak, mereka telah menjadi media –setidaknya media untuk menyalurkan pemikirannya sendiri. Saat ini masyarakat dapat dengan sangat mudah menjadi media yang memnyampaikan pikiran-pikirannya tentang isu atau kondisi yang sedang terjadi melalui situs jejaring sosial yang ada. Jika antusias seperti ini dikelola dengan baik, seperti jurnalisme profesional, tentu akan menjadi alternatif bagi masyarakat untuk menemukan informasi yang berbeda dari berbagai perspektif.

Namun, terjadi sesuatu yang ironis dalam kehidupan media di Kampus Tercinta. Ketika jurnalisme warga sedang mengalami masa keemasannya, kehidupan media di Kampus Tercinta justru mandeg di situ-situ saja. Lihat saja, Epicentrum, yang memiliki sejarah panjang dan terkenal “doyan” mengritisi kebikajan di Kampus Tercinta, sudah susah untuk ditemui saat ini. Eleven, produk resmi Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (Himajur) IISIP, yang tak jelas ditribusi penerbitannya. Dan, masih banyak lagi media kampus yang “hidup segan, mati pun tak mau”. Kampus yang terkenal dengan sebutan Kampus Jurnalistik, justru kehidupan medianya seperti mengalami “mati suri”.

Kampus, yang katanya, dulu forum-forum diskusi berbau paham ke kiri-kirian atau lebih demokratis banyak ditemui di setiap kumpulan. Namun saat ini, semua hanya kenangan. Kita, sebagai mahasiswa generasi yang sedang melakoninya, tak bisa lagi merasakan aroma pertempuran melalui media kampus. Semua hanya tergambarkan dari cerita-cerita senior yang mesih tersisa.

Don’t hate the media, just be the media,” begitulah salah seorang kawan saya, salah satu alumni IISIP Jakarta yang sempat merasakan ramainya kehidupan media di Kampus Tercinta, berucap. Jangan pernah menyalahkan media bila kita tak dapat berbuat apa-apa. Setidaknya, bertindaklah sebagai media. Media yang menghasilkan pikiran-pikiran segar, yang telah lama hilang dari media-media besar dan juga telah terbenam dalam lingkungan kampus kita. Yang pasti, mahasiswa, seperti kita, adalah masyarakat yang berkesempatan untuk menjadi intelektual yang bertindak secara independen.

Sudah jelas tugas kita sabagai mahasiswa, sebagai masyarakat yang berkesempatan menjadi kaum intelektual, haruslah mencari alternatif untuk masyarakat banyak –minimal dalam lingkungan kampus. Ketika media massa mulai mandeg, berisi berbagai kepentingan ekonomi politik, saatnya bagi media kampus bersikap independen dalam memberikan informasi. Karena hanya mahasiswa yang memiliki kesempatan itu dengan sangat besar dan mampu bersikap independen tanpa kepentingan yang muluk-muluk. Pun ada kepentingan, itu hanyalah pencarian eksistensi kehidupan yang alami.




[1]Agus Sudibyo, “Jurnalisme Warga”, Esai dalam Harian Kompas, Edisi 16 Oktober 2012
[2] Pry S Pry, “Jurnalis Belum Mati: Tanggapan Untuk Esai Kompas Minggu Edy Effendi”, esai dalam Jakartabeat.net, 12 Oktober 2012
[3] Ibid.