Pages

09 January 2015

Perempuan dalam Kepala

Ilustrasi karya Popo, yang pernah jadi ilustrasi cerpen "Perempuan Tua dalam Rashomon"Kompas (5/12/2011).
Entah kapan petama kali ia datang dalam kepalaku. Pagi itu, saat matahari belum sempat menyapa embun yang hinggap dalam rentangnya hijau daun, aku termenung lagi. Di dalam cangkir masih ada sisa-sisa ampas pengembaraanku tadi malam, saat pikiranku menjelajah setiap kemungkinan adanya kenangan tentang sosok perempuan dalam kepalaku ini.

Aku tahu namanya Siti. Semalam ia keluar dari dalam kepalaku melalui saluran eustachius, dan menjelma menjadi sosok perempuan bersama dengan napasku yang memburu. Aku tak tahu wajahnya, namun aku pernah mengenalnya. Ia memperkenalkan dirinya, hanya sebatas nama. Aku yang terbengong-bengong melihat kejadian itu tak sempat berkata-apa-apa, sebelum ia akhirnya masuk kembali ke dalam kepalaku bersama dengan tarikan napas untuk memenuhi kesadaranku.

Pikiranku tak karuan. Dari mana munculnya perempuan bernama Siti ini?

Mungkin saat guru tingkat pertama di sekolah dasar berbilik bambu dulu selalu menggunakan nama itu ketika ia mengajarkan cara membaca kepadaku. Para guru itu menanamkan imajinasi dalam kepalaku tentang nama itu, bersama dua rekannya, Ani dan Budi. Namun bukan Ani dan Budi yang kini menggelayut di kepalaku. Hanya Siti.

Tiga nama yang selama itu tak memiliki cukup ruang untuk hidup di kepalaku. Nama-nama itu terlalu mudah untuk dilupakan sebagai konsep yang rumit.

Aku ingat temanku saat di kampung dulu. Namanya juga Siti. Kakak kandung teman sebayaku, Wati. Ia menikah dengan pacarnya setelah di dalam perutnya terkandung nyawa yang baru berumur kurang dari tiga bulan. Perayaan pernikahannya biasa saja. Seingatku, aku tak sempat membantu hajatannya, seperti hajatan-hajatan lain di kampung yang selalu butuh bantuanku sebagai tukang cuci piring panggilan. Atau memang tak dilangsungkan hajatan, aku lupa. Namun setelah menikah, Siti menghilang bersama suaminya. Entah kemana. Aku tak lagi mendengar kabarnya.

Bukan. Bukan, Siti kakak kandung dari teman kecilku yang hidup dalam kepalaku. Ada Siti lain yang menggangu.

Setelah Siti, kakak kandung Wati, menghilang dan guru-guru di sekolah dasar itu tak lagi menggunakan nama Siti sebagai bahan pelajaran, praktis ingatan tentang nama itu pun menguap. Layaknya air yang diam-diam menjadi udara. Sampai akhirnya, udara-udara itu mengadakan rapat tertutup di langit untuk memulangkan air ke tempat asalnya melalui awan. Seperti itu juga perempuan yang muncul dan hidup dalam kepalaku.

Aku mengenalnya, namun tak mengingatnya.

Pikiranku kembali melayang. Entah berapa juta waktu berhenti malam itu. Waktu selalu menurut pada kemauan hatiku. Konsep waktu memang selalu absurd untuk sebuah lamunan.

Tak usah buru-buru, bisikku kepada waktu. Biarlah malam ini menjadi malam untuk menenukan kembali.

Waktu mengangguk setuju. Aku lega melihat waktu yang mau bekerja sama malam itu.

Siti di kepalaku belum juga menemukan jawaban. Dia hadir seperti air yang jatuh dari awan, aku mengenal sosoknya namun tak bisa mengingat dari mana asalnya. Di dalam kepalaku, perempuan itu sangat keras kepala. Ia ingin aku dengan segera dapat menjawab seonggok kegelisahannya; Untuk apa ia diciptakan dalam kepalaku.

Aku memukul kepalaku. Berharap, di dalam sana ia akan terguncang dan mau untuk keluar. Namun Siti nekat. Ia malah mulai mengeksploitasi segala sudut akal yang terbentang dalam otakku. Aku seperti dikendalikan. Menurut saja untuk mencari tahu eksistentinya dalam kepalaku.

Siti macam apa yang mampu mematikan segala fungsi dalam otakku? 

Aku tak mampu menjawab. Bukan karena tak bisa. Melainkan aku tak pernah bisa mengingat nama itu, selain nama temanku yang menghilang setelah menikah dan nama dalam papan tulis muram yang selalu menjadi bahan ajar guru-guru sekolah dasar.

Sejak malam itu, Siti tetap hidup di kepalaku.

NB: Naskah ini terbit juga terbit di Buletin Kinasih.

2 comments: