Pages

05 January 2015

Membaca Realitas Lewat Jalanan

Foto: Dok. Kaphac 32
SUASANA muram. Puluhan lampu 60 watt menyinari foto-foto yang tergantung rapi pada benang pancing dalam sebuah ruangan lembab. Atap plafon yang bolong sesekali membuat ruang pameran becek ketika hujan, semakin menambah dimensi kemuramam yang sudah tercipta. Sepetik kata-kata pada prolog yang ditulis oleh kurator pameran, Arbain Rambey, masih berputar-putar di kepala saya, ”...Inilah Jakarta, inilah Indonesia akhir-akhir ini.

Adalah Ruang IV-6, ruang yang biasa digunakan untuk beristirahatnya mahasiswa Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta saat menunggu jam kuliah, yang diubah menjadi galeri pameran oleh Kampus Tercinta Photography Club (Kaphac) 32 dari 11-15 November lalu. Sebanyak 133 foto bertema “Jalanan” dipamerkan oleh 44 pameris, yang seluruhnya merupakan mahasiswa IISIP.

Sesuai yang dijadwalkan, Selasa (11/11), pukul satu siang, Kreasi Musik Sampah membuka pameran dengan tradisi woro-woro di depan ruang pameran. Namun, pameran yang seharusnya diberi sambutan oleh rektor IISIP, harus batal karena kendala teknis. Sebagai gantinya, Omar Abidin Gilang, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan, dan Rachman Achdiat, dosen komunikasi IISIP, membuka pameran ‘See the Street’ yang diselenggarakan oleh Kaphac 32.

Pameran Kaphac 32 kali ini memang berbeda dengan pameran-pameran terdahulunya. Dalam pameran ‘See the Street’, Kaphac 32 yang merupakan unit kegiatan mahasiswa (UKM) hanya bertindak sebagai fasilitator bagi mahasiswa IISIP untuk melakukan pameran. Mereka mengumpulkan karya-karya mahasiswa IISIP untuk dikurasi oleh Fotografer Senior Harian Kompas Arbain Rambey.

Hal ini merupakan suatu terobosan baru bagi kampus IISIP, untuk mengundang kurator dari luar lingkungan kampus. Biasanya setiap pameran yang diselenggarakan oleh organisasi atau komunitas di IISIP, baik foto atau seni rupa, melulu dikurasi oleh senior mereka.

Ahmad Harits sebagai ketua pelaksana pameran mengatakan bahwa kegiatan ini adalah bentuk tanggung jawab Kaphac 32 sebagai UKM untuk membantu mahasiswa agar dapat berkarya dan mengapresiasi karya mereka sendiri.

“Di sini, kita juga memberi pendidikan tentang fotografi kepada mahasiswa IISIP. Dan yang paling penting, foto itu bisa dinikmati oleh semua orang dan semua orang berhak untuk melakukan pameran, terlepas mereka anggota Kaphac atau bukan,” ungkap Harits.

Senada dengan Harits, ketua umum Kaphac 32 Fachrul Irwinsyah juga mengatakan hal yang sama. “Banyak mahasiswa di IISIP banyak yang punya kamera bagus, dan fotonya juga bagus. Tapi tidak punya wadah. Akhirnya muncul ide untuk membuat pameran yang bisa mewadahi karya foto mahasiswa IISIP.”

Tema ‘See the Street’ dipilih karena jalanan adalah tempat sederhana dan ada di sekitar kita sehari-hari. “Apapun yang ditemui di jalanan bisa dijadikan objek foto. Dan ia dekat dengan keseharian kita. Terus melihat penggunaan kamera handphone sudah sedemikian berkembang. Akhirnya kita memilih Street Photography sebagai tema besarnya, yang mereka tidak perlu hunting ke tempat-tempat yang jauh untuk mendapatkan foto,” terang Fachrul.

Untuk pemilihan kurator sendiri, Harits dan Fachrul sepakat bahwa Arbain Rambey dipilih karena pengalaman dan nama besarnya di dunia fotografi Indonesia. Memilih nama Arbain Rambey sejatinya adalah untuk menarik minat mahasiswa IISIP berpartisipasi dalam pameran ini.

“Rambey adalah sosok yang tak hanya dikenal di kalangan fotografer, namun juga di masyarakat umum. Dan kemampuan fotografinya pun sudah teruji. Orang awam pun tahu Arbain Rambey,” jelas Fachrul.

Antusias Mahasiswa
DARI ribuan mahasiswa IISIP Jakarta, hanya ada sekitar 60 orang yang mengirimkan karya fotonya kepada panitia untuk dikurasi. Entah tidak suka pamer atau apa. Dilihat dari kuantitas, hal tersebut memang ironis untuk kampus yang dijuluki sebagai ‘Gudang Wartawan’.

Bila dibandingan dengan pameran tunggal Kaphac 32, tentu 133 foto dari 44 orang adalah angka yang cukup besar. Namun sangat sedikit bila dibandingkan dengan mahasiswa IISIP yang jumlahnya ribuan. Harits pun mengakui bahwa antusias mahasiswa dalam pemeran terbuka ini masih sangat minim.

“Mungkin karena publikasi kita lebih bersifat personal, dan budaya minder mahasiswa itu masih sangat tinggi,” ungkapnya.

Tiga hari pertama pameran ini selalu diisi oleh berbagai kegiatan, seperti live painting dari Kampung Segart dan musik oleh Kreasi Musik Sampah di hari pertama, seminar oleh Arbain Rambey di hari kedua, dan happening art dan pembacaan puisi dari Teater Kinasih dan mahasiswa IISIP di hari ketiga. Namun di sisa hari berikutnya, pameran kembali sepi.

“Euforia kampus ini masih kurang untuk pameran,” keluh Harits.

Pendidikan Fotografi
DALAM prolog pameran ini, Arbain Rambey menjelaskan tentang perbedaan antara ‘Human Interest’ dan ‘Street Photography’. Jika ‘Human Interest’ itu foto yang bisa membuat orang yang melihatnya merasa simpati atau empati. Sementara ‘Street Photography’ itu lebih kepada lokasi. Jadi apapun yang bisa kita temukan di jalanan, dan mungkin di dalamnya ada foto yang bersifat human interest.

Selain itu, Rambey juga menuliskan tentang etika dalam memotret, “Ada cacatan penting yang tak boleh dilupakan, yaitu yang dipotret tidak boleh dalam keadaan memalukan atau tidak menyenangkan.”

Pameran ‘See the Street’ ini merupakan agenda Kaphac 32 untuk memberikan pendidikan bagi mahasiswa di Kampus Tercinta. Sebelumnya, Kaphac 32 juga pernah menyelenggarakan Workshop Lubang Jarum dan seminar ‘Bola Goes to Campus’. Bedanya, kali ini mahasiswa mempunyai wadah langsung untuk memamerkan karyanya.

Untuk pameran tunggal bagi anggota Kaphac 32 sendiri tahun ini tidak mereka adakan. Pasalnya, sang ketua umum memang sengaja tidak memrogramkan pameran tunggal yang besar seperti tahun-tahun sebelumnya.

“Karena kita juga belum menemukan tema yang asyik dan ingin istirahat dulu untuk pameran tunggal. Sebagian besar anggota pun sedang sibuk skripsi dan seminar. Kalaupun mau maksa pameran tunggal, sumber daya kita sepertinya tidak kuat. Akhirnya kita mencoba sesuatu yang baru: memberikan pendidikan langsung kepada teman-teman mahasiswa,” jelas Fachrul.
***

Nampaknya, kerinduan akan pameran tunggal Kaphac 32 bisa sedikit terobati. Namun obat memang selalu pahit, seperti juga foto-foto yang dipamerkan: pahit. Saya ingin kembali mengutip kalimat Rambey yang tertuang pada prolog pameran, “Foto-foto yang ditampilkan sangat lengkap untuk menjabarkan sebuah realitas zaman: Inilah Jakarta, inilah Indonesia akhir-akhir ini.

Dan, pada saat seminar, Arbain Rambey diminta untuk memilih foto terbaik dari ratusan foto yang dipamerkan. Adalah foto dua orang ibu-ibu berhimpitan dengan barang-barang di bagian belakang mobil pick up berjudul “Berjibaku dengan Teriak di antara Muatan Barang” karya Rara Peni Asih yang terpilih oleh Rambey.

Realitas jalanan kita memang masih pahit.


NB: Naskah ini terbit untuk Buletin Kinasih.

No comments:

Post a Comment