Pages

07 January 2015

Apa yang Salah dengan Upacara Bendera Hari Ini?


GEDUNG tiga lantai itu nampak megah. Lonceng tanda upacara bendera secara otomatis membuat siswa-siswi berseragam putih-merah, lengkap dengan atribut dasi dan topi, berhamburan dari kelasnya menuju lapangan untuk berbaris. Bendera merah putih sudah berkibar. Upacara hari ini tidak seperti kegiatan rutin menaikkan bendera di setiap Senin pagi. Ada hal penting yang patut dirayakan dengan upacara.

Alih-alih menyanyikan lagu “Indonesia Raya”, guru mereka datang bak dirigen handal memainkan kedua tangannya dan siswa-siswi bernyanyi lagu “TV, Jasamu Tiada...”

Kita jadi bisa pacaran dan ciuman karena siapa?
Kita jadi tahu masalah artis cerai karena siapa?
Kita pintar dandan dibimbing TV
Kita jadi lebay dididik TV
TV bak pelita, pembuat gelap gulita
Jasamu tiada...

Guru mereka bukanlah sosok guru yang biasa ditemui di sekolah dasar dengan kopiah hitam sedikit miring ke kanan. Guru mereka adalah sesosok makhluk menyeramkan yang berlindung di balik topeng televisi, dengan segala jargon yang dimilikinya.

Sang guru terlihat perkasa. Wajah-wajah lugu itu nampak menyanyikan lagu “TV, Jasamu Tiada...” dengan terpaksa. Mata mereka kosong seperti terhipnosis. Tak ada pilihan lain selain ikut bernyanyi.
***

BUKAN hal yang baru bila televisi dapat dijadikan alat propaganda paling efektif bagi penguasa untuk membentuk mental sebuah bangsa. Enam belas tahun yang lalu, setiap tahun per tanggal 30 September, televisi secara serentak menayangkan film Pengkhianatan G 30 S PKI. Doktrin yang diberikan melalui televisi itu berhasil membuat bangsa ini menghukum komunis secara keji. Mental bangsa ini pun menjadi anti-komunis, tanpa alasan yang jelas.

Lebih dari 30 tahun –mungkin sampai hari ini- komunis dianggap sebagai ideologi yang ateis. Kita lupa, kalau tak mau dibilang malas baca, bahwa komunis di Indonesia lahir dari Sarekat Dagang Islam, organisasi pertama yang dapat melahirkan surat kabar yang dikelola oleh pribumi pada masa penjajahan Belanda. Surat kabar yang menjadi tonggak perlawanan terhadap kesewenangan kolonial.

Dus, televisi memperoleh angin kebebasannya saat reformasi bergulir. Pemerintah tak bisa mencampuri ruang redaksi, apalagi memaksakan penayangan film propagandis di televisi. Namun, alih-alih memberikan program yang bertanggungjawab terhadap rakyat, televisi malah menjadi sarang program yang bukan lagi tidak mendidik, melainkan sudah merusak mental dan psikologi rakyat, khusunya anak-anak.

Tak perlu disebutkan data pasti program anak-anak di televisi. Kita cukup melihat sekilas, di mana seorang anak musisi kondang dieksploitasi televisi. Dalam reality show tersebut, segala keinginan sang anak dikabulkan. Dan, kita tahu mental apa yang akan tertanam di benak anak Indonesia: mental meminta.

Teguran dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sempat mendarat kepada program tersebut. KPAI menganggap reality show tersebut mengeksploitasi anak di bawah umur. Namun tak ada tidakan lanjutan. Program tersebut masih tayang hingga hari ini.

Masalah yang lebih penting adalah nilai edukasi yang diberikan sebuah program anak kepada masyarakat. Saat ini, hampir tak ada program anak yang dibuat berdasarkan dari sudut pandang anak. Televisi, seperti yang digambarkan dalam lirik “TV, Jasamu Tiada...” telah membimbing anak-anak menuju gelap gulita.

Televisi seharusnya memberikan program mendidik yang dibutuhkan masyarakat. Karena frekuensi yang digunakan oleh televisi adalah sumber daya alam yang terbatas. Sebagaimana sumber daya alam lainnya, penggunaan frekuensi juga mesti berdasarkan kepentingan rakyat. Ia tidak seperti surat kabar atau majalah, yang bila tidak suka, kita dapat membuangnya ke tempat sampah. Frekuensi televisi telah masuk ke ruang-ruang privasi di antara keluarga kita.

Televisi semestinya dimiliki oleh rakyat, bukan pengusaha loyo cum anggota partai politik yang sarat kepentingan.

Kita sebagai seseorang yang juga memiliki hak atas penggunaan frekuensi, harus sadar bahwa wacana frekuensi milik publik perlu disosialisasikan. Dan dengan begitu, tak ada lagi saat sumber daya alam Indonesia yang digunakan untuk menayangkan pernikahan artis, atau proses persalinan istri seorang rocker mantan penghuni Potlot.
***

PADA akhirnya, pertanyaan pada judul di atas harus dijawab dengan sesingkat mungkin. Tak ada yang salah dalam upacara bendera hari ini, selain televisi.


NB: Naskah ini terbit untuk Buletin Kinasih.

No comments:

Post a Comment