Pages

25 May 2015

Kabar

Demi bunyi gelas yang bertemu sendok tukang es campur.
Dan suara botol-botol hijau pedagang mpempek.
Melalui kipas angin listrik yang selalu bolak-balik.
Ingin kutitipkan untukmu segenggam rindu.

Demi Riko yang agak murung melihat rencana nikahnya saat SMK kandas sudah.
Dan keponakannya yang menangis melihat bapaknya pergi beli makan.
Bak hitam plastik telah direbahkan agar bisa mandi di pukul setengah lima.

Demi suara latar lagu The Adams.
Dan suara gelisah menunggu balasan.
Juni semakin dekat,
meskipun tak harus hujan seperti sajak Sapardi.

Demi para pemancing yang tak membawa ikan pulang.
Dan nyanyian burung kenari berwarna kuning di dalam kandang.
Mobil-mobil melulu bising berlalu-lalang.

Demi Beni yang tak lagi menyapa dengan halo.
Dan kakak-beradik kecil terus memegang botol mineral.
Lewat daun melinjo muda, semoga kabarmu selalu tak jumawa.

Mei,  2015

16 May 2015

Menulis


Sejak sebelum saya memutuskan untuk kuliah jurusan ilmu jurnalistik, saya meyakinkan diri untuk bisa menulis. Koran yang belum terbit jadi bahan bacaan saya setiap malam. Ini adalah amunisi, pikir saya.

Setelah masuk, saya sengaja ikut kegiatan teater. Bukan untuk jadi aktor. Tapi penulis. Adalah angan-angan Nano Riantiarno tentang Soe Hok Gie, yang membawa saya ke dalam teater.

Hebat benar imaji pendiri Teater Koma itu. Hanya dengan tulisannya, saya berteater. Demi bisa menulis.

Saya belajar menulis dari sebelum menduduki bangku di taman kanak-kanak, yang dulu dibayar dengan iuran kurang dari Rp 10.000 setiap bulan. Menulis bukan hal yang baru bagi saya, juga manusia. Menulis telah dilakukan jauh sebelum Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak.

Menulis adalah bekerja untuk keabadian, kalau kata Pramodya Ananta Toer. Oleh karena itu saya tetap meyakinkan diri untuk menulis.

Kritik adalah teman. Pandangan sinis merupakan anjing yang mesti dibiarkan oleh kafilah.

Tapi, menulis bukanlah proses yang mudah. Andreas Harsono berkata, menulis butuh tahu dan berani. Tahu tentang apa yang ingin kita tulis, dan berani menulis.

Kedua hal di atas adalah hal yang sangat memuakkan untuk memulai sebuah tulisan. Saya belum tahu banyak, namun cukup berani untuk menulis.

Tiga tahun lalu, sebelum menonton sebuah festival teater di Bulungan, kawan saya mengajak membuat proyek menulis. Setiap hari, sebulan tanpa henti. Saya setujui idenya.

Namun menulis berdua rasanya kurang mengasyikan. Kami mengajak seorang lagi. Berhasil.

Saya membuat blog, untuk arsip dan publikasi proyek kami.

Tujuannya, menafsirkan kebenaran. Aturan mainnya, tidak menulis dengan alasan apapun, wajib membayar denda yang tak sampai harga setengah bungkus rokok.

Tiga tahun sudah proyek itu berjalan. Setiap tahun kami menyisihkan 30 hari untuk menulis. Tentu dengan serba sok tahu dan sok berani.

Entah karena tujuannya yang teramat banal atau memang pengguna internet yang melulu syahwat, dari ratusan tulisan, setengah dari pengunjung blog kami hanya ingin tahu arti ngentot.

Betapa indahnya segala proses untuk keabadian ini.