Pages

25 March 2013

Bertamasya Entah Kemana

Sore itu, di sebuah kafe, yang tak selayaknya kafe, beratapkan ranting bambu, lagu itu terdengar lagi. entah berapa lama saya tak pernah mendengarkan lagu tersebut. Sontak pikiran saya langsung melanglang buana, seperti efek dedaunan kering yang mulai terbakar, kembali ke masa berseragam.

15 March 2013

Reportase Investigasi


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, reportase berarti pemberitaan atau pelaporan. Sedangkan investigasi adalah penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta melakukan peninjauan, percobaan, dan sebagainya, dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan (tentang peristiwa, sifat atau khasiat suatu zat, dan sebagainya); penyelidikan. Dengan kata lain reportase investigasi adalah pemberitaan mendalam tentang suatu hal atau peristiwa untuk mengungkapkan fakta-fakta yang ada. Dalam dunia jurnalistik, adalah wajib bagi para pegiatnya untuk mengetahui apa itu reportase investigasi. 

Sebelum memasuki lingkup berita yang mendalam, ada baiknya kita mengenal atau mengingat kembali definisi berita. A.M. Hoeta Soehoet membagi definisi berita menjadi tiga, yaitu: 
  • Berita adalah keterangan mengenai peristiwa atau isi pernyataan manusia
  • Berita bagi seseorang adalah keterangan mengenai peristiwa atau isi pernyataan manusia yang perlu baginya untuk mewujudkan filsafat hidupnya
  • Berita bagi suatu surat kabar adalah keterangan mengenai peristiwa atau isi pernyataan yang perlu bagi pembacanya untuk mewujudkan filsafat hidupnya 
 
Dalam dua poin terakhir yang disebutkan oleh Hoeta Sohoet, ada keharusan sebuah berita untuk mewujudkan filsafat hidup seseorang dalam sebuah pelaporan informasi atau peristiwa. Dan, tentu hal demikian tak akan terangkum dalam sebuah berita lempang, tak tak memiliki kedalaman informasi. 

Untuk memeroleh kedalaman informasi tersebut, seorang pewarta harus meliput sebuah berita secara mendalam pula. Untuk itu, tak cukup hanya mengandalkan apa yang terjadi di lapangan. Wartawan harus mempersiapkan akal dan budinya untuk melihat peristiwa yang akan diliput secara skeptis, mempertanyakan segala yang tak kasat mata. Seorang pewarta juga harus dapan mengkonstruksi peristiwa atau realitas yang akan diliput menjadi sebuah kesatuan berita. 

Mark Fishman mengungkapkan bahwa ada dua pandangan dalam proses produksi berita. Pertama adalah pandangan seleksi berita (selectivity of news), yang menjelaskan bahwa seorang wartawan menyeleksi peristiwa yang terjadi di lapangan dan memilih mana fakta yang penting dan mana yang tidak untuk dimasukkan dalam sebuah kesatuan berita. Kedua adalah pandangan pembentukan berita (creation of news). Dalam pandangan ini, berita bukanlah deseleksi melainkan dibentuk oleh wartawan dalam melihat sebuah peristiwa: mana yang disebut yang disebut berita dan mana yang tidak. Peristiwa dan realitas bukanlah diseleksi, melainkan dikonstruksi oleh wartawan. 

Tahap paling awal dari produksi berita adalah bagaimana wartawan mempersepsi peristiwa/fakta yang akan diliput. Kenapa seuatu peristiwa disebut sebagai berita sementara peristiwa yang lain tidak? Ini semua melibatkan konsepsi wartawan yang menentukan batasan-batasan mana yang dianggap berita dan mana yang tidak. 

Soeorang wartawan sudah dilatih dan dibekali dengan akal dan budinya sehingga meiliki rasa (sense) untuk menentukan peristiwa yang dianggap penting. Dalam buku Dasar-dasar Ilmu Jurnalistik, Hoeta Soehoet mengatakan bahwa ada empat faktor yang menentukan nilai berita bagi khalayak: 

a. Kegunaan Berita
Kegunaan berita adalah faktor yang paling menentukan nilai berita. Kegunaan berita haruslah menyampaikan sebuah informasi kepada khalayak dengan sangat jelas. 

b. Aktualitas 
Informasi yang dimuat dalam media massa haruslah aktual. Dengan kata lain, informasi yang disajikan benar-benar baru. 

c. Hubungan pembaca dengan peristiwa 
Khalayak merasa dekat dengat peristiwa yang disajikan, baik tempat, unsur-unsur yang ada dalam peristiwa, dan lain sebagainya.

d. Kelengkapan berita 
Kelengkapan berita sangat berpengaruh terhadap nilai berita. Karena, semakin lengkap berita disajikan akan semakin besar pula kegunaannya bagi khalayak. 

Seiring dengan perkembangan zaman, terutama semakin pesatnya kemajuan teknologi internet, informasi semakin gencar menyerang khalayak mengenai segala peristiwa yang terjadi. Namun di sisi lain, kedalaman informasi tersebut terabaikan. Hal tersebut sejalan dengan judul otobiografi Rosihan Anwar, Menulis dalam Air: Di Sini Sekarang Esok Hilang

Namun alih-alih memburu keaktualitasan, praktik jurnalisme yang demikian justru membuat hasil informasi liputannya menjadi selintas dan tidak mendalam. Padahal masyarakat juga mengalami perkembangan kritis dalam memandang realitas di sekitarnya. Walhasil, kompleksitas masyarakat yang demikian, membutuhkan sajian jurnalisme yang tak lagi sekedar informatif, aktual, cepat dan selintas. 

Dalam segala serangan dari media massa online, nilai dari sebuah reportase investigasi sangat dibutuhkan untuk menjawab kekritisan masyarakat dalam menanggapi segala informasi yang masuk. Maka dari itu, dibutuhkan peran wartawan sebagai sesne maker, yang menyeleksi dan/atau membentuk berita untuk disajikan dalam liputan yang mendalam. 

Pada dasarnya, sebuah reportase investigasi memerlukan waktu yang lama untuk melakukan peliputan, bisa sampai berbulan-bulan atau lebih. Oleh karena itu, sebuah investigasi tak bisa hanya mengandalkan kecepatan berita. Namun juga harus memiliki susuatu yang baru –yang belum terungkap oleh berita lempang- dan mengenai sisi kemanusiaan (human interest). 

Menurut Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W 1H adalah singkatan dari who (siapa), what (apa), where (dimana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana). Pada narasi, menurut Clark dalam sebuah esei Nieman Reports, “who” berubah menjadi karakter, “what” menjadi plot atau alur, “where” menjadi latar, “when” menjadi kronologi, “why” menjadi motivasi, dan “how” menjadi narasi. Sehingga sebuah reportase investigasi dapat lebih enak dibaca dan memiliki alur, konflik dan efek kejutan, layaknya sebuah drama. 

Dalam pandangan konstruksionis, berita itu ibaratnya seperti sebuah drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa.

Menjadikan sebuah laporan layaknya sebuah drama bukan berarti memasukkan pandangan pribadi tanpa adanya verifikasi. Seorang wartawan harus rajin melakukan verifikasi. Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Maka apa yang disebut sebagai jurnalisme mendasarkan diri pada verifikasi. Untuk membuat liputan yang mendalam, seorang wartawan haruslah memiliki kewajiban untuk melakukan verifikasi terhadap pihak-pihak terkait.

Dengan berbagai hal tersebut, kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya seorang wartawan haruslah memiliki pengetahuan tentang apa yang diliputnya secara mendalam. Dengan pengetahuan yang cukup, barulah seorang wartawan dapat melakukan liputan secara mendalam. Pada dasarnya, mengutip Farid Gaban, wartawan bukanlah saluran telepun yang hanya menyampaikan pernyataan/informasi yang masuk. Namun wartawan dilatih untuk peka untuk memaksimalkan perangkat akal dan budi untuk menentukan mana informasi yang layak diangkat dan dicari faktanya lebih lanjut, tentunya dengan melakukan verifikasi terhadap pihak-pihak terkait. Dengan demikian, seorang wartawan dapat menjadi sense maker yang peka dalam mendefinisikan realitas dan mekonstruksikannya dalam sebuah laporan/berita. 

Referensi:

A.M. Hoeta Soehoet, Dasar Dasar Jurnalistik, Yayasan Kampus Tercinta–IISIP Jakarta, Jakarta
Eriyanto
, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKIS Yogyakata, Yogyakarta, 2009
Priyono Santosa, Jurnalisme Sastra MBM Tempo Sebagai Praktik Estetik Danpolitik Bahasa Media Pada Pemberitaan Kasus Dugaan Korupsi Yang Melibatkan Pejabat Negara Kabinet Indonesia Bersatu, Skripsi IISIP Jakarta, 2008
Andreas Harsono, Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau, Jakarta, 2005

03 March 2013

RahwanaSinta: Antitesis Kemutlakan Ramayana


Foto: Gilang Ramadhan

Ken Zuraida Project dari Bengkel Teater Rendra menampilkan lakon RahwanaSinta di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) pada tanggal 24 dab 25 November 2012. Dalam lakon tersebut, Ocky Sendilemon, sebagai sutradara, mencoba menafsirkan mitos Ramayana dari sudut pandang berbeda, dalam lakon RahwanaSinta.