Pages

23 December 2012

Lebam Telak di Otak Sungsang




Kalo lu bisa nge-review albumnya, gue kasih ceban deh,” begitulah Mawar (nama disamarkan), yang memiliki badan “sedikit” lebih besar bentuk dari saya, berkata kepada saya malam itu. Setalah dua botol minuman produk kapitalis habis, rasa kantuk mulai datang, membawa saya pada mimpi panjang tentang waria. Lalu, setelah matahari kembali, langsung saya unduh album Sapuan Feses Waria Meledak yang dimaksud Mawar di situs netlabel terkemuka asal Jogja, yesnowave.com.

Sungsang Lebam Telak, begitulah nama band pesanan Mawar yang minta diulas. Track ‘Kejatuhan Rona Jiwa Yang Meronta-Ronta Dalam Estetika Psikedelis’ saya dengarkan, teriakan terdengar, improv-improv super jazz –klaim dari mereka mengenai genre musik mereka- menghancurkan daras-dasar pemikiran tentang musik yang sudah ada. Tiba-tiba, saya tak tahu harus menulis apa. “Ini band mau ngapain sih?” Album yang berisi sembilan lagu, yang judulnya lebih enak untuk dibaca daripada harus didengarkan.

1  –Tertangkapnya Kecepatan Wal Afiat yang Mampu Diramalkan Setiap Kancah
2  –Pengharapan semu dapat dirasakan asap-asap alumnus terjerembab lompat
3  –Kapan Lagi Membakar Aroma Bolpoin di Balik Karpet Musim Panas Terus
4  –Sebesar Usaha Kami Mencuci Kaus Ternoda Bersama Gemericik Gledek Cemerlang
5  –Kejatuhan Rona Jiwa yang Meronta-Ronta dalam Estetika Psikedelis
6  –Endapan Kesalahpahaman Bobroknya Birokrasi Tato Rusak
7 –Menyongsong Area Lampu Merah saat Anus Kembali Menyempit per Dua Detik dalam Penasaran Mabrur
8 –Usurlah Partikel Cakupan Melejitnya Adidaya Kerupuk dan Asam Garam Politik
9 –Semburan Diare Langsung ke Lidah yang Telah Terpatahkan oleh Teori Usang Tata-Titi Bersepeda

Track demi track saya putar terus menerus, tetap saja tak ada yang bisa saya tangkap maknanya. Apakah ini yang namanya komunikasi tanpa makna, yang menghancurkan makna palsu dalam komunikasi? Akhirnya dengan berat hati dan kondisi kepala pusing, saya putuskan untuk mendengarkan Wezeer –berbubung Wezzer sebentar lagi akan konser di Jakarta, pun tak mungkin nonton pula, yang penting mendengarkan untuk menghilangkan kepenatan Sungsang Lebam Telak.

Mungkin sesuai dengan namanya, Sungsang Lebam Telak ingin menghancurkan pandangan tentang nilai-nilai moral yang sudah ada. Mendekonstruksi nilai-nilai yang telah tersusun rapih dengan super jazz yang dibawakannya. Satu saran saya, janganlah Anda dengarkan lagu-lagu di atas, cukup baca saja judul lagunya. Anda hanya akan menghabiskan waktu, quota internet, pikiran, bahkan sampai persaan saat Anda memutuskan untuk mendengarkan album Sapuan Feses Waria Meledak. Saya pun menuliskan review ini hanya untuk mendapatkan uang cebanan, yang entah akan dibayarkan atau diangga[ sebagai pemotongan hutang yang kian tak tertahan.

Sampai saat ini, saat sedikit memperbaiki tulisan ini, saya tak tahan mendengarkannya dan memilih mendengarkan lagu-lagu absurd Zeke Khaseli.

22 December 2012

Tentang Teater, Hidup dan Menulis Kehidupan




Saya adalah orang yang tergabung dalam sebuah kelompok teater, Teater Kinasih. Baru-baru ini, kelompok teater tempat saya tergabung mengadakan sebuah diskusi tentang jurnalisme musik. Ada pro, ada kontra.

Kenapa musik? Karena semua orang suka musik, semua orang menikmati musik, dan semua orang hidup berdampingan dengan musik. Musik juga merupakan elemen penting dalam teater. Menulis tentang musik berarti berusaha untuk mengetahui tentang latar belakang teriptanya musik tersebut.

Bila memutuskan untuk mengundang pembicara yang notabennya adalah seorang teaterawan/ti, tentu yang akan senang adalah kita sepihak, sebagai kelompok teater. Animo masyarakat kampus pun tak akan besar dan akhirnya, hanya kelompok teater tersebut yang bertambah ilmunya. Teater Kinasih mencoba untuk tidak memuaskan diri sendiri.

Ada yang bilang, jika sebuah kelompok teater hanya bergaul dengan sesama orang teater, setiap nonton, nonton teater, mengadakan acara, acara teater, kita hanya akan mendapatkan teknik berteater yang baik dan benar (dan kami tentu sadar bahwa kami belum menguasai teknik itu dengan benar), dan sebagai bonus, kita hafal nama-nama pembesar teater dan dikenal dikalangan orang-orang teater.

Teater Kinasih mencoba untuk tidak terperangkap dalam arti teater yang sempit di atas, yang hanya memikirkan tentang pementasan, aktor, panggung, dll. Kemarin, Kinasih mengadakan sesuatu yang berbeda, "Bincang Musik Teater Kinasih: Jurnalisme Musik Dulu & Sekarang". Di acara yang diaselenggarakan oleh Teater Kinasih yang bekerja sama dengan webzine lokal Jakartabeat.net, juga tidak serta merta lepas dari pelajaran, yang telah didapatan dari latihan maupun masukan yang diberikan para senior (orang-orang yang lebih dahulu bernaung di Kinasih) yang hadir, tentang bagaimana mengaplikaskan ilmu teater dalam kehidupan, tentang cara membangun relasi dengan mereka yang dibilang awam dalam dunia teater, tentang mengajak masyarakat kampus mengenal Teater Kinasih yang terbuka.

Ada benang merah yang masih berkesinambungan antara teater dan menulis musik. Kalau teater itu adalah ilmu tentang kehidupan, menulis musik juga menulis menulis tentang kehidupan (setidaknya itu yang dikatakan oleh Taufiq Rahman sebagai pembicara). Kita bisa mempelajari dan menuliskan tentang kehidupan sekaligus, melalui proses berteater dan menulis.

Saya pribadi cukup puas dengan terselengaranya acara "Bincang Musik Bersama Teater Kinasih: Jurnalisme Musik Dulu & Sekarang", dan respon para peserta diskusi pun sama, puas. Semua senang dan mendapatkan sesuatu yang baru untuk dibawa pulang. Jadi, bila anda yang merasa kenal maupun awam dengan teater, mungkin perlu untuk menuliskan kehidupan.

19 December 2012

Separator Busway Semakin Tinggi



Jakarta Pemandangan berbeda terlihat di sepanjang jalan raya Warung Buncit – Mampang, Jakarta, Jumat (5/12). Di koridor Mampang-Warung Buncit, separator busway ditinggikan hingga 30 – 40 centimeter menggantikan separator lama yang hanya setinggi kurang dari 20 centimeter.

Pembenahan sarana dan prasarana Transjakarta terus dilakukan pemerintah provinsi (pemprov) DKI Jakarta. Proyek ini semata-mata untuk mengajak masyarakat mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan beralih menggunakan jasa angkutan umum.

Selain untuk mengajak menggunakan moda angkutan umum, pemerintah juga ingin meminimalisir angka kecelakaan yang sering terjadi di daerah tersebut.

“Bermanfaat banget. Terutama masalah jalan dipagerin, bagus banget karena beberapa kali ada kecelakaan karena menyebrang sembarangan,” tutur Ridwan, warga Mampang yang setiap hari melewati jalur itu.


Mediaku Agamaku, Agamamu Urusanmu



Agama, di bangsa yang ketimuran seperti Indonesia, memang sangat sensitif untuk direkonsrtuksi. Setiap agama mengajari dan mempercayai kebenarannya masing-masing. Sampai akhirnya bersinggunganlah kebenaran yang satu dengan yang lainnya.

Media massa memiliki peranan yang besar dalam meredakan atau menciptakan konflik antar agama tersebut. Tentu, tak semua media massa bisa meredakan konflik antar agama yang terjadi, bahkan lebih banyak media sebagai pemicu konflik. Namun, ketika media massa bersikap independen dan tidak berpihak pada kepentingan apapun, sikap bias media massa terhadap agama tak mungkin terjadi.

Peranan media massa dalam negara yang menganut paham demokrasi adalah sebagai pilar ke-empat demokrasi, seharusnya bisa menyelesaikan perselisihan sosial. Namun, yang terjadi justru semakin memperkeruh suasana melalui isu-isu yang tidak jelas asal-usulnya. Untuk mengatasinya, pihak yang terlibat langsung dengan dunia pers harus memegang teguh etika dan kode etik jurnalistik yang berlaku dalam setiap menjalankan tugasnya.

Sebagai masyarakat, kita juga harus memiliki sikap kritis terhadap setiap informasi yang diberikan oleh media massa, tidak langsung menerimanya. Media massa hanya menciptakan tanda-tanda, sementara khalayaknya yang memaknai tanda-tanda yang diberikan oleh media. Dan masyarakat yang tidak kritis akan hidup dalam kepalsuan simbol-simbol yang diciptakan oleh media. Tentu, sebagai masyarakat, sudah menjadi pilihan untuk tetap hidup dalam simbol-simbol yang diberikan media atau bersikap kritis untuk membongkar simbol-simbol tersebut.

papernoise: Teater Kan Gak Melulu Harus Pentas


Ketika sebuah diskusi diulas, apa yang anda harapkan didalamnya? Jika konsep 5W + 1H anda rasa sudah cukup, maka diujung flyer lah rasa keingintahuan anda berhulu. Jika tidak, berarti saya yang kemudian kelimpungan harus menariknya ke lingkup yang lebih personal.
Industri musik butuh narasi, media memiliki peranan penting dalam hal ini. Maka tulisan-tulisan yang dihadirkan diharapkan memiliki skala persuasi yang kental untuk mengubah konstruksi realitas sosial. Skema ke-sok-tahu-an saya membawa saya mereka-reka alasan tadi, alasan mengapa Teater Kinasih memilih jurnalisme musik sebagai sarana mempelajari kehidupan — manusia khususnya. Semacam mencari legalisir akan alasan tadi, saya coba berbincang dengan Bayu.
Terhitung 4 hari setelah talkshow "Jurnalisme Musik Dulu Dan Sekarang", 17 Desember 2012, saya berbincang dengan Bayu Adji Prihammanda, selaku anggota Teater Kinasih, sekaligus ketua pelaksana diskusi tersebut.

Kenapa Teater Kinasih pilih tema "Jurnalisme Musik" buat acara diskusi kemarin?
Karena semua orang suka musik dan musik bagian dari unsur teater. Kalo jurnalisme, karena kinasih punya media juga yang membahas tentang seni budaya, Buletin Kinasih (BuKin) yang lu juga jadi pelanggannya, mangkanya diambil tema jurnalisme musik.
Dan, setelah gw baca buku LTD (Lokasi Tidak Ditemukan), ternyata menulis musik itu gak segampang menulis blablabla... Menulis musik adalah menulis tentang manusia, sedangkan teater adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan, manusia juga.
 Oh jadi si teater sama musik ada hubungan gitu ya..
iyalah
Hubungan Teater Kinasih sama Jurnalisme, sedekat apa sih Bay?
Iya dibilang deket pasti sih..
IISIP itu kan bisa dibilang 60% isinya mahasiswa jurnalistik, jadi tradisi setiap HIMA/UKM/tongkrongan punya media itu udah turun-temurun. Ini sih sebagai bentuk persembahan buat anak2 kampus yang minat jurnalisme.
Terus ya kita sebagai salah satu yang ngeramein kehidupan media di kampus mencoba membuat sebuah diskusi jurnalisme. Mencoba membuat media kampus khususnya, yang menuliskan tentang musik itu tau bagaimana sih seharusnya menulis musik yang asyik. Ya itu tadi, biar kehidupan media di kampus itu hidup, gak sepi.
Bisa dibilang tema 'musik' yang diambil disini kaya gula buat semut2 lah ya?
Nah! Coba lu bayangin kalo gw bikin workshop/diskusi tentang teater. Itu mah sama aja onani, cuma pegiat teater aja yang seneng.
Bay, terus efek diskusinya buat Teater Kinasihsnya sendiri gimana Bay? Diluar BuKin
Teater Kinasih jadi lebih seger, dinamis dan gak ngebosenin, out of the box lah. Teater kan gak melulu harus pentas dan acara kemaren itu lebih nyuri ilmu & bikin relasi sama orang2 di luar lingkup teater.

(Bahkan tanpa harus dibilang 'out of the box' pun saya belum pernah lihat UKM serupa mengadakan diskusi tentang jurnalisme.)

oleh:

Resqi Utomo
Redaksi

04 December 2012

Peran Mahasiswa dalam Menciptakan Jurnalisme Warga


Jurnalisme warga, menurut wikipedia, adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita. Sebagai mahasiswa komunikasi, tentu, jurnalisme warga sudah tak asing lagi di telinga kita. Saat ini semua sudah bisa menjadi wartawan.

Dalam sebuah esai di harian Kompas (13/10/2012), Agus Sudibyo, seorang anggota Dewan Pers, mengatakan, “Hampir semua kalangan masyarakat dapat menjalankan laku jurnalistik; mencari, merekam, mengolah, dan menyebarkan informasi dalam pelbagai bentuk. ..... Dalam berbagai kasus, jurnalisme warga memiliki pengaruh lebih besar dari jurnalisme konvensional,”[1] –dalam hal ini, media mainstream.

Jurnalisme warga, yang saat ini menjadi fenomena di Indonesia, lahir dari ketidakpuasan masyarakat dengan media massa yang ada. Media-media besar semakin hari semakin berpihak kepada kepentingan penguasa. Informasi yang dihadirkan sering kali tidak berimbang. Hal ini yang menyebabkan masyarakat tidak puas dengan berita-berita yang disajikan di media mainstream.

Banyak kepentingan yang terdapat di dalam informasi yang disajikan media massa. Mulai dari kepentingan politik, ekonomi, dan lain sebagainya, yang semakin membuat media massa tidak seimbang (cover both side) lagi dalam menyampaikan isi pernyataan. Yang dirugikan adalah masyarakat, yang mengkonsumsi media tersebut. Masyarakat diberikan mitos melalui tanda (bahasa) oleh media, kemudian media mengemas mitos itu dengan rapi, sehingga mitos itu dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh khalayak. Mitos-mitos yang diciptakan media mainstream membuat masyarakat terperangkap dalam tanda-tanda yang diberikan tanpa tahu kebenarannya, bagaikan seekor katak dalam tempurung. Dalam kepalsuan mitos itu pula, kualitas pikiran masyarakat terus menurun. Oleh karena itu, mitos yang dihasilkan oleh media perlu untuk dibongkar, diketahui asal-usul kebenarannya.

Pry S Pry dalam esainya di situs Jakartabeat.net mengatakan:

Tapi seiring waktu, kebutuhan masyarakat untuk lebih dari sekedar memahami kompleksitas zaman macam apa yang tengah terjadi di lingkungannya makin menguat. Media massa sebagai sumber pengetahuan publik dalam konteks kebudayaan populer paling strategis, dituntut untuk berperan menuntun publik lebih dari sekedar menyajikan berita-berita kering nan kaku. Independensi, objektivitas, dan universalitas tadi pun ramai-ramai digugat. Sebab seterang apapun fakta disucikan, bukankah rumus 5W+1H itu adalah buah pikir subjektif sang jurnalis ketika menentukan bagian mana yang harus dijadikan lead dan peristiwa apa yang dipilih untuk jadi headline.[2]

Seorang jurnalis tak mungkin lepas dari subjektifitasnya dalam menyampaikan informasi kepada khalayak. Jurnalis bukan seorang Nabi atau Rasul yang membawa kebenaran mutlak, karena kebenaran itu relatif. Oleh karena itu, masyarakat sendiri yang harus aktif untuk mencari kebenaran tersebut.

Kerja jurnalis sebagai profesi hari ini bukan lagi bagaimana memperjuangkan idealisme tunggal dari pribadi yang narsistik dan mungkin juga sedikit nyeni yang menjual mimpi-mimpi palsu akan independensi, objektivitas, dan universalitas, tapi sebagai kerja kreatif tim yang juga mengandung praktik kelas di dalamnya; reporter bergaji murah sebagai buruh middle class yang bekerja mengumpulkan fakta, redaktur sebagai elit kecil yang memegang kemudi dari balik mejanya menjelang deadline hingga tengah malam buta, dan pemimpin redaksi yang merancang strategi dan menyusun bagaimana komposisi idealisme dan komersial di tengah ketidakpastian konteks politik ekonomi yang selalu tarik menarik.[3]

Masyarakat yang memiliki sikap kritis, tentu, tidak begitu saja percaya dengan apa yang disaksikan melalui media massa. Mereka, yang masih bisa sedikit kritis, akan berusaha membongkar fakta yang diberikan oleh media mainstream. Namun, mitos yang dihasilkan oleh media massa, tidak lantas menjadi alasan untuk membenci media yang notabene-nya memberi informasi. Media hanyalah alat menyampaikan informasi. Jika ada yang harus disalahkan, tentu bukan medianya, namun kepentingan di balik media tersebut.

Salah satu cara untuk membongkar mitos tersebut adalah dengan bersikap independen. Dan, berusahan untuk menciptakan media yang dinilai lebih jujur, obyektif, tanpa adanya kepentingan para penguasa. Mahasiswa tentu memiliki peranan yang penting dalam upaya membongkar mitos-mitos yang ditampilkan oleh media massa dengan membuat sebuah wadah informasi yang independen. Sebagai pelaku intelektual, mahasiswa berkewajiban untuk mengarahkan lingkungan sekitarnya agar menjadi cerdas dalam memilih dan menerima informasi dari berbagai gempuran media. Dan, tidak hanya sekedar menerima, tetapi juga bisa menghasilkan informasi, yang bebas dari kepentingan penguasa, kepada khalayak luas. Dari hal tersebut munculah jurnalisme warga, sebagai media dari dan untuk untuk masyarakat.

Jurnalisme warga lahir dari masyarakat yang muak dengan media massa mainstream, yang seragam. Mereka, masyarakat yang muak dengan media mainstream, lantas mencari media alternatif, mengamati dan mulai menirukannya. Sadar atau tidak, mereka telah menjadi media –setidaknya media untuk menyalurkan pemikirannya sendiri. Saat ini masyarakat dapat dengan sangat mudah menjadi media yang memnyampaikan pikiran-pikirannya tentang isu atau kondisi yang sedang terjadi melalui situs jejaring sosial yang ada. Jika antusias seperti ini dikelola dengan baik, seperti jurnalisme profesional, tentu akan menjadi alternatif bagi masyarakat untuk menemukan informasi yang berbeda dari berbagai perspektif.

Namun, terjadi sesuatu yang ironis dalam kehidupan media di Kampus Tercinta. Ketika jurnalisme warga sedang mengalami masa keemasannya, kehidupan media di Kampus Tercinta justru mandeg di situ-situ saja. Lihat saja, Epicentrum, yang memiliki sejarah panjang dan terkenal “doyan” mengritisi kebikajan di Kampus Tercinta, sudah susah untuk ditemui saat ini. Eleven, produk resmi Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (Himajur) IISIP, yang tak jelas ditribusi penerbitannya. Dan, masih banyak lagi media kampus yang “hidup segan, mati pun tak mau”. Kampus yang terkenal dengan sebutan Kampus Jurnalistik, justru kehidupan medianya seperti mengalami “mati suri”.

Kampus, yang katanya, dulu forum-forum diskusi berbau paham ke kiri-kirian atau lebih demokratis banyak ditemui di setiap kumpulan. Namun saat ini, semua hanya kenangan. Kita, sebagai mahasiswa generasi yang sedang melakoninya, tak bisa lagi merasakan aroma pertempuran melalui media kampus. Semua hanya tergambarkan dari cerita-cerita senior yang mesih tersisa.

Don’t hate the media, just be the media,” begitulah salah seorang kawan saya, salah satu alumni IISIP Jakarta yang sempat merasakan ramainya kehidupan media di Kampus Tercinta, berucap. Jangan pernah menyalahkan media bila kita tak dapat berbuat apa-apa. Setidaknya, bertindaklah sebagai media. Media yang menghasilkan pikiran-pikiran segar, yang telah lama hilang dari media-media besar dan juga telah terbenam dalam lingkungan kampus kita. Yang pasti, mahasiswa, seperti kita, adalah masyarakat yang berkesempatan untuk menjadi intelektual yang bertindak secara independen.

Sudah jelas tugas kita sabagai mahasiswa, sebagai masyarakat yang berkesempatan menjadi kaum intelektual, haruslah mencari alternatif untuk masyarakat banyak –minimal dalam lingkungan kampus. Ketika media massa mulai mandeg, berisi berbagai kepentingan ekonomi politik, saatnya bagi media kampus bersikap independen dalam memberikan informasi. Karena hanya mahasiswa yang memiliki kesempatan itu dengan sangat besar dan mampu bersikap independen tanpa kepentingan yang muluk-muluk. Pun ada kepentingan, itu hanyalah pencarian eksistensi kehidupan yang alami.




[1]Agus Sudibyo, “Jurnalisme Warga”, Esai dalam Harian Kompas, Edisi 16 Oktober 2012
[2] Pry S Pry, “Jurnalis Belum Mati: Tanggapan Untuk Esai Kompas Minggu Edy Effendi”, esai dalam Jakartabeat.net, 12 Oktober 2012
[3] Ibid.

05 November 2012

Menulis Hanya Menjadi Beban




Menulis, seperti halnya bermain dan belajar, adalah sebuah kegiatan yang biasa dilakukan oleh manusia modern. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi menulis adalah membuat huruf (angka dsb); 2 melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan; 3 menggambar; melukis; 4 membatik (kain). Hampir setiap orang dapat menulis dengan bebas dan tentu disertai dengan tanggung jawab.

Orang-orang biasa menulis untuk mencurahkan perasaan, pemikiran, persepsi dan banyak hal lain yang perlu dituangkan melalui rangkaian diksi yang asyik. Ketika seorang penulis telah menyelesaikan tulisannya, ia akan merasa senang. Menulis menjadi sebuah permainan –yang tentu tidak paksaan dari pihak manapun- yang mengasyikkan. Ini tentu menjadi motivasi tersendiri bagi sang penulis. Dalam situasi seperti ini, menulis menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi seorang penulis, layaknya seseorang yang sedang menikmati sebuah permainan.

Dengan menikmati menulis, sadar atau tidak, seorang penulis akan melahirkan tulisan-tulisan yang berisi pemahaman dan pemikirannya. Tulisan yang dihasilkan akan memiliki makna yang dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi orang-orang yang membacanya. Dan, ketika para pembacanya tidak sepaham dengan makna dan pemahaman sang penulis, maka pembacanya itu akan  mengkritisi atau memberikan komentar tentang isi dari tulisan tersebut. Seperti proses untuk melahirkan sintesis, yang dimulai dari sebuah tesis, hadirnya kritikkan berupa anti-tesis dan akhirnya menjadi sebuah sintesis. Tentu hal ini akan melahirkan ide-ide baru dan segar, baik untuk pembaca maupun penulisnya.

Namun, menulis hanya akan menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi seorang penulis ketika mengerjakannya dengan perasaan terpaksa. Orang-orang yang menulis karena sebuah paksaan, secara tidak langsung jiwanya akan tertekan. Ketika jiwa telah tertekan, tulisan yang dikerjakannya pun cenderung akan menjadi kosong, tanpa adanya makna atau pesan yang kuat di dalamnya. Proses pemikiran dalam tulisan itu menjadi tersendat. Besar kemungkinan dalam tulisan yang dikerjakan secara terpakasa, nilai-nilai edukasi yang bersifat kritis dan informasi dari tulisan itu menjadi kabur dan menghilang. Tulisan tersebut hanya akan memenuhi kewajiban sang penulis dari tugasnya, that’s all.

Sebuah tulisan menjadi berguna atau tidak, tergantung pada niat seorang penulis dalam membuat tulisannya. Ketika seorang penulis belum bisa untuk membuat tulisannya berguna, ia masih dapat belajar dengan tekun untuk dapat membuat tulisannya menjadi berguna. Tentu, dengan referensi dari berbagai macam bahan bacaan dan keikhlasan untuk menerima saran dari para pembacanya. Tapi, apabila seorang penulis sudah tak memiliki niat, jangankan untuk tulisannya menjadi berguna bagi pembaca, untuk menyelesaikan tulisannya saja akan menjadi sulit.

Ketika untuk manusia modern menulis telah menjadi fashion, sangat disayangkan bila masih banyak tulisan yang lahir dari sebuah tuntutan. Menulis hanya sekedar menjadi fashion. Dan, hanya apresiasi semu belaka dari para pembaca yang akan didapatkan untuk penulisnya, yang sudah capek-capek membuatnya.

Kegiatan menulis hanya untuk mendapatkan apresiasi memang sangat mudah untuk dilakukan. Kegiatan menulis menjadi sulit ketika dalam tulisan tersebut ada sesuatu yang jujur dan memiliki makna yang jelas, serta dapat memberi efek pada kehidupan sosial –paling tidak kepada orang yang membacaya.

Menulis, dengan kejujuran dan pemahaman yang kuat, tentu akan menyenangkan sekaligus mencerdaskan.

13 October 2012

Mitos Sebagai Budaya (Kebiasaan?) Bangsa


Mitos. Kata yang sering timbul di kepala ketika mendengarkan orang tua –yang dianggap kuno- sedang bercerita tentang hal-hal yang tidak masuk akal. Mitos erat kaitannya dengan legenda atau cerita rakyat yang tidak selalu jelas asal-usulnya. Sebagai bagian dari bangsa timur, nusantara memiliki beragam mitos yang populer di masyarakat. Mitos, yang terus ditanamkan oleh orang tua kepada anaknya sejak balita, akan menjadi sebuah aturan, bahkan kepercayaan. Mitos yang disampaikan dalam masyarakat tidak melulu tentang perilaku manusia, tapi juga tentang obat-obatan tradisional, dari yang herbal sampai yang berbau klenik.


Untuk menemukan solusi untuk sebuah masalah, nenek moyang kita tak pernah melakukan pengujian ilmiah. Insting, pengetahuan implisit dan keyakinan, cukup untuk membuat sesuatu yang tidak masuk akal menjadi solusi sebuah masalah. Contoh yang saat ini masih tersisa adalah mengerok punggung (kerokan) pada saat masuk angin. Ketika diuji secara ilmiah, kerokan tidak membuat angin keluar dari tubuh. Kerokan akan membuat rangsangan nyeri di punggung, sehingga nyeri yang lama akan berkurang, bahkan menghilang. Pun seperti itu faktanya, masyarakat masih menganggap kerokan sebagai salah satu pengobatan alternatif untuk membuat angin keluar atau sekedar membuat badan lebih ringan ketika masuk angin. Kerokan telah menjadi sesuatu yang wajar dilakukan ketika masuk angin.

Sesuatu yang dianggap sebagai kewajaran lahir dari kebiasaan-kebiasaan di lingkungan sosial. Sebuah kewajaran pula bila, pada zaman dahulu, seseorang sedang sakit pergi ke dukun atau paranormal untuk berobat. Dan mereka pun sembuh, seperti masyarakat modern sehabis berobat dari dokter. Sesuatu yang tidak bisa diterima akal sehat, tentunya. Seorang dukun yang dapat menyembuhkan pasiennya tidak dapat dibuktikan dengan fakta-fakta ilmiah, yang oleh bangsa barat terus diagung-agungkan untuk menemukan kebenaran. Namun dalam ketidakilmiahan tersebut terdapat sebuah keyakinan untuk sembuh dari dalam diri pasien ketika pergi ke dukun. Mitos menjadi sebuah keyakinan dan melahirkan sugesti yang akan menghasilkan energi. Ketika “sesuatu” diberikan sugesti positif, maka “sesuatu” tersebut menghasihkan energi positif. Kerokan dan berobat ke dukun merupakan contoh nyatanya.

Mitos yang diberikan oleh para orang tua secara tidak langsung mengajarkan bangsa ini untuk tetap memberikan sugesti positif terhadap segala sesuatu. Namun, dengan menjamurnya modernisme di berbagai tempat, mitos para orang tua mulai tergusur layaknya kebudayaan lokal yang mulai luntur. Budaya kritis mulai terbenuk untuk merekonstruksi nilai-nilai yang telah ada. Sikap kritis masyarakat modern melulu menuntut fakta ilmiah untuk menjelaskan segala sesuatu dan mencari kebenaran, tak terkecuali untuk menjelaskan dan mencari kebenaran tentang Tuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan terhadap sesama kian memudar.

Saat ini, mitos diasosiasikan sebagai sebuah kepalsuan atau kebohongan para leluhur yang hanya dapat dipercayai oleh anak kecil. Kepercayaan terhadap sebuah mitos dianggap kebodohan, menipu diri sendiri. Namun sejarah mengatakan bahwa manusia akan selalu memerlukan mitos untuk memuaskan dirinya sendiri, layaknya onani.

25 September 2012

Durhaka Senja

Senja tak terlihat keemasan pada hari itu. Kampus yang lama kemarau menjadi semakin panas walaupun senja sudah datang. Gegap-gempita ratusan mahasiswa baru terdengar di sekitar. Seluruh kegiatan mulai dilakukan.

Seorang mahasiswa, Acong namanya, ingin memberikan surat perizinan ruangan kepada dosen, yang berusuran dengan kemahasiswaan, di kampusnya. Acong, pemuda berpenampilan kurang sopan, terpaksa harus membeli map –agar kelihatan formal-untuk menaruh suratnya itu. Dia menyulut sebatang rokok kretek lalu berjalan menuju gedung rektorat, ruangan dosen yang bersangkutan. Sebelum masuk, Acong, yang mesih menyimpan sedikit rasa sopan santun, menaruh rokoknya di bebatuan sebelum masuk ke gedung rektorat. Di meja resepsionis, seorang perempuan berparas manis yang sedang bertugas bertanya, “mau ngapain lu?”

“Mau ngasih ini(menunjukkan surat yang dibawanya, Mbak.”

“Surat apaan tuh?”

“Surat buat minjem ruangan, buat latihan UKM.”

“Oh... itu mah di kasih ke BAU (Badan Administrasi Umum) aja, nanti dari BAU langsung dikasih ke dosen. Yah, paling dua hari lu balik lagi!”

“Oh.. gitu, Mbak? Oke deh.”

Acong pergi ke BAU yang jaraknya beberapa meter dari meja resepsionis sambil melanjutkan menghisap rokoknya yang masih menyala. Jalan terasa panjang dengan kekesalan yang belum sempat memuncak. Langkah gontai terus dipaksa untuk sampai ke muka. Tiba saatnya berbicara.

“Mas, saya mau ngasih surat peminjaman ruangan, tapi katanya suruh ditaruh di BAU.” kata Acong kepada petugas BAU yang wajahnya berbanding terbalik dengan resepsionis yang sebelumnya ditemui.

“Sini coba saya lihat! Ini maha langsung kasih ke orangnya aja atau titip di meja resepsionis!”
“Lah, tadi kata resepsionis, ditaruh di BAU!!??”

“Enggaklah, BAU itu surat buat pimpinan doang.” Kilah penjaga BAU.

“Gitu ya? Yowes saya kasih ke resepsionis aja.” Tuntas Acong yang jadi jengkel.

Ia mencoba tetap tenang dengan menghisap kretek yang masih di tangannya dan kembali lagi ke meja resepsionis. Dihabiskan kreteknya itu sebelum sampai depan pintu masuk. Kemejanya yang lecek dibiarkan kancingya terbuka agar nampak layaknya seniman akademika yang tetap tenang meskipun kesal.

“Mbak, tadi saya disuruh orang BAU kasih langsung ke dosen”

“Masa sih? Sini suratnya, gue telepon dulu orangnya.”

Dua kali, resepsionis tersebut menelpon dengan sambungan pararel, namun tetap tak ada jawaban dari dosen yang bersangkutan.

“Gak diangkat terus... nih gue kasih nomernya aja.” Sambil dicatatkan nomer handphone dosen yang bersangkutan ke sobekan kertas yang baru saja dirobeknya.


Acong yang lelah dan jengkel karena sudah mondar-mandir namun tak juga dapat kepastian. Pikirannya tambah bingung ketika resepsionis tersebut memberikan nomer handphone kepadanya. “itu kan ada telepon, kenapa gak ditelepon sekalian?” gusar dalam hatinya. Ia lantas keluar meninggalkan meja resepsionis dan mencoba menelpon dengan handphone-nya sendiri. Tak lama kemudian teleponnya diangkat. Acong yang sudah lelah langsung menjelaskan maksudnya ingin menemui dosen itu. Setelah percakapan yang singkat dengan dosen yang bersangkutan lewat telepon, ia mendapat kepastian bahwa surat izinya itu tinggaharus ditaruh di BAU.

Acong yang semakin merasa dikerjai oleh sistem birokrasi ini bergegas ke BAU dan menyerahkan surat itu kepada petugasnya. “Mas, tadi dosennya sudah saya telepon. Katanya ditaru di BAU aja.”

“Oh, yaudah sini...” enteng petugas BAU itu menyaut.

Kekesalan berubah menjadi dendam yang membatu, berpotensi menghancurkan. Senja mulai hilang seraya mengakhiri seluruh kegiatan.

19 July 2012

Ilusi

Hidupku, kuserahkan padamu..
Pada alam yang terus berevolusi
Pada burung yang berkembang biak di sarangnya..
Di atas pohon yang perlahan berubah menjadi bangunan

Hidupku untuk sebuah kepalsuan
Kepalsuan yang terasa nyata
Nyata yang berbuah imaji
Yang menjadi tujuan..
Ilusi!

Angin membawa jatuh daun yang berguguran
Matahari tak mampu untuk melawan kuasa
Dan.. manusia pun hanya berjalan mengikuti aliran sungai..
Sungai yang semakin keruh..
Semakin menjijikan untuk menjadi panutan

Burung itu keluar dari sebuah tembok..
Tembok yang bersinar, yang menghancurkan harapan

Palsu!
Hidup ini adalah kepalsuan para manusia..
Manusia yang maha tahu..
Yang maha esa..

Sesuatu yang indah hanya dalam kata-kata
Tak pernah datang untuk menjawab keresahan
Diam, menerima pesan, lantas tak memberi penjelasan

Dimanakah kebenaran absolut?
Dimana?
Kapan engkau datang menjemput tubuhmu yang mulai menua?
Sampai kapan?
Sampai kapan kebenaran akan datang?

Manusia-manusia putus asa semakin merajalela
Diam tanpa kata..

Aku adalah ilusi..
Hanya sebuah imaji bintik kehidupan yang tak jadi
Sebuah mimpi untuk menjadi materi
Namun, pada akhirnya..
Aku tetap hanyalah ilusi..
Carian nafsu dalam onani

Jakarta, 19 Juli 2012

18 July 2012

Mencari Oase Di Padang Gersang

Rakyat Indonesia sedang mengalami krisis kepercayaan yang berkepanjangan. Krisis kepercayaan ini tidak datang secara tiba-tiba. Ini adalah akibat kepercayaan yang diberikan oleh rakyak tidak digunakan dengan baik. Sejak reformasi terjadi pada tahun 1998 seluruh aktivitas politik dapat dilakukan secara bebas dan terbuka. Namun, kebebasan telah membuat kita semakin tidak terarah seperti kehilangan pegangan.

Saat ini bangsa kita tidak memiliki sosok peminpin yang dapat dijadikan teladan oleh rakyatnya. Mereka hanya bisa menghamburkan uang tanpa memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Sementara, rakyat Indonesia semakin apatis bila berbicara tentang nasionalisme. Sikap ini disebabkan oleh para elite politik yang hanya mengandalkan slogan-slogan omong kosong, namun tidak pernah bergerak secara nyata.

Seperti contohnya salah satu calon gubernur (cagub) Jakarta, yang sedang melakukan kampanye pemilukada, memiliki slogan yang berbunyi ‘Ayo Beresin Jakarta’ namun pada kenyataannya pamflet dan poster wajah mereka banyak yang merusak estetika ruang publik kota Jakarta secara vandal. Kampanye para cagub yang ingin memimpin Jakarta dengan cara-cara yang merusak, apakah pantas mengajukan diri sebagai pemimpin?

Bila dilihat dari efisiensi biaya, jelas dana kampanye adalah hal yang sangat tidak penting. Sikap seperti itu hanya dilakukan oleh manusia-manusia hedon yang bisanya hanya menghambur-hamburkan uang tanpa ada sesuatu yang berguna. Berapa banyak uang yang dihabiskan untuk membuat poster-poster dan kaos-kaos bertuliskan slogan-slogan omong kosong para cagub? Bayangkan bila uang tersebut dialihkan untuk keperluan masyarakat tidak mampu, mungkin beberapa dari mereka bisa tertolong.

Rakyat  sudah muak dengan kata-kata indah para elite politik yang semakin lama bagaikan seorang penyair –mungkin jauh lebih mulia seorang penyair karena mereka merangkai kata-kata dengan kejujuran- namun hanya manis saat kampanye berlangsung. Rakyat perlu sosok yang dapat menjadi penyalur aspirasinya, sosok yang kehadirannya bagaikan oase di tengah padang gersang. Sosok pemimpin yang tegas, adil dan berbudaya sepertinya sudah cukup untuk membangun bangsa Indonesia yang semakin lama semakin kehilangan jati dirinya sendiri. Namun, di saat seperti ini kita, sebagai bagiain dari rakyat Indonesia, tidak bisa berdiam diri menunggu kedatangan sosok yang diimpikan tersebut. Akan lebuh baik bila kita dapat menjadi teladan bagi diri kita sendiri dan juga bagi lingkungan sehingga tercipta masyarakat yang memiliki rasa bangga akan Indonesia.

02 July 2012

Bumi Semakin Rusak

Bumi semakin rusak. Itu adalah kalimat yang menggambarkan keadan saat ini. Asap-asap industrialisasi membuat lapisan ozon semakin lama semakin terkikis. Hutan, sebagian besar telah menjadi perkebunan yang lebih menjanjikan uang, sisanya hilang menjadi lembaran kertas yang jumlahnya tak terbatas. Sungai mengecil menjelma menjadi pemukiman kumuh. 

Saat ini manusia tidak lagi membangun sisbiosis mutualisme dengan alam. Para pemilik modal yang serakah menghabisi hutan demi keberlangsungan hidup sebuah perusahaan. Akibatnya, para penduduk hutan, seperti harimau, gajah, dan lain sebagainya, memasuki dan menyerang pemukiman warga untuk meminta pertanggung-jawaban. Hukum alam menjadi salah sasaran. Penduduk lokal tidak hanya tersiksa melihat alam sekitarnya dirusak oleh para penguasa, melainkan mereka pun ketadangan hewan-hewan yang murka karena habitatnya dirusak. Alam terus dieksploitasi, sementara para penguasa menikmati hasilnya sendiri. Hutan yang rusak sudah tidak lagi dapat menampung air, sehingga muncul genangan-genangan menyerupai banjir di hampir setiap jalan, di berbagai kota besar. 

Para pemimpin dunia telah bertemu di Rio de Janeiro, Brazil, untuk mengadakan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Para pemimpin dunia mengajak kita untuk bergerak dari ekonomi yang serakah ke ekonomi hijau. Mereka tanpa henti menyuarakan pembangunan yang hijau demi masa depan yang lebih naik. Namun sayang, kepercayaan masyarakat sedang mengalami krisis, sehingga pertemuan ini dilihat dengan sikap skeptis dan apatis oleh banyak pihak. 

Bagaimanapun, upaya pertemuan para pemimpin dunia in harus diapresiasi sebagai langkah awal mewujudkan ekonomi yang hijau, yang tidak merusak alam. Masyarakat luas juga harus mendukung dan berupaya untuk melestarikan kegiatan tersebut, karena rencana sebaik apapun tidak akan dapat berjalan tanpa dukungan dari masyarakat luas. 

Setiap masyarakat memiliki peran untuk menjaga dan melestarikan lingkunagn. Alasan, yang paling sederhana, masyarakat memiliki kewajiban untuk melestarikan lingkungan adalah agar anak-cucu kita dapat merasakan alam yang saat ini kita rasakan, atau mungkin alam yang lebih baik lagi. Betapa egoisnya, bila kita hanya menguntungkan diri sendiri tanpa menyisakan hal yang berguna bagi generasi penerus kita. 

Bumi masih bisa diselamatkan. Tentu. Oleh karena itu, marilah kita membuat perubahan pada pola tingkah laku dalam diri sendiri. Perbuatan sekecil apapun dalam upaya melestarikan lingkungan tentu akan membawa efek yang positif bagi masyarakat banyak. Apa masih perlu menunggu korban lebih banyak lagi?

Fiksi-Fiksi (Mini) untuk Seorang Wanita

Sunarti | Tiba-tiba aku terbayang senyum manis Sunarti dengan kecilnya lesum yang hinggap di pipi. Mengapa harus pakai She kalau Su lebih manis?

Perkenalan Singkat | Aku berpapasan, melihat raut wajahnya yang merah dengan senyum terpaksa menyebrangi orang tua.

Bosan | Aku bosan menulis, tapi tak terasa kata-kata sudah berbentuk suara. Satu lagi alasannya, sentuhan virtual seperti memaksa untuk berkarya.

Senja Tanpa Jazz | Senja hari ini tidak keemasan, tidak pula seseorang mengajak nonton musik jazz. Sengaja kusiram membangunkannya, ternyata kertas itu basah.

Pagi yang Esa | Embun hinggap di daun yang hijau. Seorang anak gadis berjalan di rerumputan basah. Ia menghirup udara di sekelilingnya yang terasa padat. "Bau ini mengingatkanku pada seseorang," bisiknya dalam hati. Di beranda rumah, foto keluarganya yang terpajang rapi tiba-tiba jatuh pecah berantakan. Ayah dari gadis itu menangis melihat anaknya bermain sendiri di pagi hari. Ayah teringat pada istrinya yang sudah enam bulan menghilang tak menemani anak gadis bermain di rerumputan. Siang hari, seorang datang membawa pesan jauh dari negeri seberang. "Istri Anda sudah tiada. Ia disiksa majikannya di Arabia," perlahan seorang itu bicara menatap mata sang ayah. Ayah hanya diam menyimpan kepedihan melihat wajah anaknya yang semakin lama semakin mirip ibunya. Saat ini pagi tidak lagi gembira. Tidak lagi ada tawa. Hanya bau embun yang mampu mengingatkan gedis kecil itu akan kehadiran ibunya. "Ini seperti wangi ibu," bisik gadis kecil itu pelan, perlahan air mata keluar dari pipinya.

Diam | Suara-suara daun yang berguguran terasa ramai sekali di telinga. Seorang lelaki setengah baya sedang menanti kematiannya di ujung sungai yang sepi.

Monolog Sabtu Malam | Aku kehabisan kata-kata manis yang lebih manis dari cokelat, lebih berwarna dari bunga, lebih agung dari wanita. Memang ada?

Ternyata Masih ada Suara | Dalam petang, yang perlahan menjadi malam, terlihat seekor keledai yang menunggu majikannya datang. Sepi terdengar ramai di dalam naungan bising terlinga. Semak bergetar, terlihat sesosok wanita muda berlari seperti ketakutan. Lama berselang setelah sang wanita menghilang tertelan malam, tapi suara yang dinantikan tak kunjung datang.

Opini Mahasiswa Mengenai Pancasila


Menurut gue Pancasila itu adalah filosofi bagikehidupan bangsa, negara, peraturan, dan segala perilaku rakyatnya. karena disini, pancasila menjamin tentang keadilan bagi seluruh warga negaranya sebagaimana tertera dalam sila ke-5. sehingga pancasila harus dipertahankan untuk menjadikan Indonesia ini bangsa yang utuh dan makmur,Floria Zulvi, Jurnalistik 2011, IISIP Jakarta

Rangkuman berbagai ideologi yang seharusnya dijalani oleh bangsa Indonesia supaya hidupnya aman, tentram, dan bahagia,Sherly Peniman, Jurnalistik 2011, IISIP Jakarta

Pancasila itu asas negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang sudah terkandung sebelumnya. Bisa ditinjau dari sila satu sampai lima, yang isinya sudah jelas terlaksana sebelum Pancasila sendiri dibentuk dan disahkan oleh BPUPKI. Banyak warga berpendapat bahwasannya pancasila itu adalah ideologi bangsa Indonesia. Pancasila itu bukanlah ideologi melainkan nilai-nilai yang sudah terkandung dan tadi gue jabarkan. Memang sangatlah berkaitan antara ideologi dan pancasila itu sendiri. Karena ideologi merupakan olahan dan hasil pemikiran dari manusia. Sedangkan pancasila itu bukanlah saja olahan dan hasil pemikiran manusia. Dan pancasila sekarang sebenarnya sudah kurang tercermin di masyarakat pada umumnya karena di dalam sila-sila yang tersusun kurang begitu dipahami oleh masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Indonesia zaman dahulu menganut paham pancasilais. Indonesia sekarang menganut paham pluralisme. Bisa dibuktikan dari sila satu,Khalied Malvino, Jurnalistik 2011, IISIP Jakarta

Opini gue Pancasila ya lambang ideologi tentang kemerdekaan Indonesia dan dibuatlah Pancasila agar rakyat Indonesia mengenang para pahlawan Indonesia yang berjuang memperebutkan kemerdekaan dari bangsa penjajah,Djodi Setiawan, Hubungan Masyarakat 2011, IISIP Jakarta

Pancasila adalah salah satu dasar negara untuk mencapai kemakmuran bagi penduduk Indonesia maupun bangsa lain agar tidak ada lagi perpecahan atau perselisihan,Andri Pirdaus, Manajemen Komunikasi 2011, IISIP Jakarta

Pancasila adalah dasar negara atau ideologi yang bertujuan sebagai pandanagan setiap bangsa Indonesia Dan pemersatu bangsa dan negara Indonesia,” Angga Prasetyo, Hubungan Masyarakat 2011, IISIP Jakarta

Pancasila merupakan ideologi suatu negara khususnya Indonesia. Pancasila sebagai ideologi dijadikan sebagai dasar bagi seluruh warga negara Indonesia. Jadi, diharapkan pada kenyataannya Pancasila itu bisa dterapkan secara benar dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,Santi Putri Fitriyani, Teknik Arsitektur dan Perencanaan 2010, UGM

Pancasila adalah landasan negara, sama seperti Al-Quran, yang dapat mendaji panduan,Nursalim, Broadcast 2010, BSI

Pancasila itu landasan dasar dari negara Indonesia. Pancasila sebagai pedoman dan sifatnya sangat mendasar (fundamental),Nanda Dwi Rusmiyanti, 2010-Administrasi Bisnis, UI

Pancasila adalah prinsip yang dibuat orang-orang ajaib, untuk menciptakan hal ajaib, dan sedang mengalami pendinginan di Republik yang semakin membuktikan bahwa itu hanya untuk Republik mimpi! Alika Khanza, Jurnalistik 2011, IISIP Jakarta

Menurut gue Pancasila itu corak khas/kepribadian kita. Ia adalah sesuatu yang merangkul semua kebudayaan yang ada,Senja Ayudia, Manajemen Komunikasi 2010, IISIP Jakarta

Pancasila adalah dasar dasar negara, landasan/hukum yang digunakan sebagan acuan dari keseluruan hukum yang berlaku di Indonesia,Muhammad Irsyad, Teknik Grafika dan Penerbitan 2010, Politeknik Negeri Jakarta

Pancasila itu ya menurut gua dasar negara Indonesia,Bathara Anwar, Jurnalistik 2011, IISIP Jakarta

Pancasila? Ya.. Falsafah hidup warga negara Indonesia,Mutiara Safitri, Multimedia 2011, Politeknik Media Kreatif

Pancasila adalah dasar negara republik Indonesia dan juga sebagai falsafah hidup dalam berbangsa dan bernegara baik dalam membangun dan mengembangkan bangsa dalam pergaulan internasional. Tapi kini seiriing berjalannya waktu, nilai Pancasila mulai pudar terbawa arus perubahan dan globalisasi di mana dalam setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sudah tidak atau kurang berlandandaskan Pancasila,Amarilis Nurdita Pawestri, Gizi 2010, Uhamka

Sebuah ideologi pastinya, hahaha.. Pancasila adalah ideologi bangsa indonesia, yang mengatur jalannya pemerintahan di Indonesia,Indah Lestari, DKV 2011, Unindra

Seharusnya sih Pancasila itu dasar negara yang berarti Indonesia harus berdiri di atas dasar dasar tersebut. Namun pada kenyataannya banyak yang disalah gunakan, bahkan juga banyak yang dilupakan, sekarang Pancasila hanya sebagai formalitas dasar negara, sekarang hanya beberapa orang yang benar benar mengerti makna dari pancasila tersebut,Dyah Kusuma, Teknik Grafika dan Penerbitan 2011, Politeknik Negeri Jakarta

Menurut gue di jaman yang sekarang Pancasila cuma pajangan yang ada di depan kelas gak ada gunanya sama sekali. Sekarang udah pada lupa tentang apa sebenernya itu pancasila dan fungsinya yg sebenernya,Ayu Rizky, Teknik Gigi 2010, Politeknik Negeri Kesehatan

Pancasila adalah ideologi yang hanya dimiliki bangsa Indonesia, sesuatu yang amat berharga karena tak dimiliki negara lain. Seharusnya kita bangga dengan itu,namun generasi muda sekarang sudah banyak yang tak peduli, Heri Susanto, Jurnalistik 2011, IISIP Jakarta

Ideologi bangsa, Pancasila, udah jarang berkumandang jadi sebagian masyarakat udah lupa sama lima dasar ideologi negara itu,Dwinita Puspitasari, Teknologi Informatika 2010, Universitas Gunadarma

Pancasila kan dasar negara, dasar hukum, cerminan bangsa, sama falsafah masyarakat Indonesia, ya harusnya dijaga terus. Ya, bener-bener dimaknai artinya, gak cuma heboh digembor-gemborin pas hari lahirnya pancaila,Dewi Susanti, Teknik Telekomunikasi 2010, Politeknik Negeri Jakarta


Sebenernya ideologi Pancasila tuh terlalu idealis, kurang cocok buat diaplikasikan pada masyarakat Indonesia, contohnya aja sila pertama. Kalo kata gue sih, seharusnya bukan ketuhanan yang maha esa, tapi kebebasan berkeyakinan dan beragama. Gak semua masyarakat Indonesia tau kan tentang bahasa sanskerta, mereka taunya esa itu satu. Jad lebih baik pake bahasa yang umum aja biar semua masyarakat bisa nyerna,Khaulah Fauzia Hasan, Psikologi 2011, Universutas Gunadarma 


Pancasila itu dasar negara yang dijadiin landasan negara itu berdiri. Pancasila juga dijadiin pencerminan sebuah bangsa bangsa, Indonnesia maksudnya! Tapi, kayaknya Pancasila cuma dijadiin pajangan doang sama ini negara. Yaa, menurut gw ya.. abis udah banyak yang kagak dilaksanin keyak sila ke-4, yang didengerin cuma pendapat orang berduit aja kan? Yaa.. istilahnya gak dijalanin,Yvonne Marchelyn Yulius, Pendidikan Matematika 2010, Universitas Islam Riau



Menurut gue sih Pancasila harus lebih diperjelas lagi. Kayak sila pertama, ketuhanan yang maha esa, itu gak jelas maksudnya. mungkin kalo yang makan sekolah sih kenal, tapi kalo yang gak sekolah, ya.. gak ngerti dia,Sunarti, Keperawatan 2010, Akademi Keperawatan Pasar Rebo

21 June 2012

Kenang-Kenanglah


Burung bernyanyi riang di tangkai yang daunnya perlahan jatuh
Sayapnya merekah, mengingat masa ketika ribuan mayat tergeletak
Senapan panjang lengkap dengan bayonetnya, sekilas nampak pada paruhnya
Burung elang legenda itu pun terbang, menghilang bersama kenangan

Aku telah mencari tentang pembantaian…
Di riuhnya suara air yang menabrak pasir…
Di heningnya hutan, tempat mayat tak bertengkorak…
Sampai ke kuburan, selepas misa sebelum hingga rosario tertelan…
Buku sejarah, entah mengapa, seakan enggan menjelaskan tentang pembantaian

Burung elang legenda kembali datang
Pohon tempat ia merenung, kini telah berubah menjadi tiang
Burung itu seperti kesepian menatap cakrawala
Dalam kepalanya tersimpan pertanyaan tentang angka…
Angka yang hilang tak pernah sempat untuk dibicarakan

Senja datang seperti kilat menyambar dalam hujan
Datang untuk memisahkan siang dan malam
Membawa keriangan dalam ketenangan
Burung pun kini perlahan terbang, entah kapan akan kembali…
Mungkin kepergiannya bisa menghapuskan kenangan tentang pembantaian

Nasib Mayat yang Berlabuh di RSCM

Jakarta, 12 Juni 2012-Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) adalah salah satu pusat rumah sakit di Jakarta. Biasanya, korban dari suatu kejadian atau peristiwa di Jakarta langsung dibawa ke RSCM. Mayat-mayat yang ditemukan oleh polisi atau siapa saja dilarikan ke RSCM untuk ditindaklanjuti atau diotopsi.

Menurut dr. Djaja S Atmadja, dokter forensik RSCM, tidak semua mayat yang ada di kamar mayat RSCM dapat diotopsi, otopsi hanya bisa dilakukan bila ada permintaan dari pihak kepolisian.  Jadi mayat-mayat yang tidak jelas identitasnya dan kasusnya akan dikuburkan secara masal, pungkas dr. Djaja.

“Mayat yang tidak ada identitasnya akan disimpan di kamar mayat dengan tenggang waktu tida hari, jika tidak ada yang mencarinya maka mayat itu akan dikuburkan dengan cara Islam,” jelas Dedi, salah satu penjaga kamar mayat RSCM saat ditemui Rabu (23/5/2012). Pun ada orang yang mengenali mayat tak beridentitas, harus ada surat dari pihak kepolisian untuk membawa pulang mayat tersebut, lanjut Dedi. “Rata-rata mayat yang masuk ke RSCM memang mayat yang tidak ada identitasnya,” tutup Dedi.



12 June 2012

Supir Mengantuk, Taksi Menghantam Kijang


Jakarta − Kecelakaan antara taksi dengan mobil kijang terjadi di depan kawasan terpadu Rasuna Epicentrum, Jakarta Selatan, Sabtu (2/5/2012) sekitar pukul 21.30 WIB. Kejadian tersebut tidak sampai menelan korban jiwa, hanya beberapa orang yang terluka ringan.

“Kejadian bermula saat sebuah taksi yang tiba-tiba membanting kemudi ke arah kanan, lalu dari arah berlawanan kebetulan ada sebuah mobil kijang yang sedang berjalan, sehingga terjadi kecelakaan,” ujar seorang saksi mata, Djodhie, saat sedang diwawancarai.

Menurut Djodhie, supir taksi yang belum diketahui namanya, mengemudikan kendaraannya dalam keadaan mengantuk, sehingga taksi yang dikemudikannya menabrak mobil di dari arah berlawanan.

“Peristiwa kecelakaan tersebut langsung ditangani oleh security kawasan Rasuna Epicentrum, karena memang kebetulan kejadiannya di dekat pos security,” ujarnya. Supir taksi itu langsung dimintai keterangan oleh security yang menangani kejadian tersebut.

Mama, Jangan Pukul Aku...


Judul : Mama, Jangan Pukul Aku….
Penulis : Regina Clarinda
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Terbit : Februari 2012
Ukuran : i-xi 207 halaman
Harga : Rp. 60.000,-


Sebuah kisah nyata mengharukan yang dialami oleh penulis, Regina Clarinda, dalam menghadapi brutalnya penganiayaan (child abuse) oleh ibu kandungnya sendiri. Sejak berusia empat tahun ia disiksa, namun Regina tetap mempertahankan nyawa di tengah gencarnya ancaman pembunuhan dari ibu kandungnya sendiri. Rasa tertolak dan tidak dikasihi membuat Regina tumbuh menjadi seorang wanita dengan sisi emosi yang tak terkontrol. Sehingga ia sempat mengalami depresi berat yang berkepanjangan sampai terobsesi untuk mati. Di tengah itu semua, Regina berusaha untuk bangkit.

Buku ini memaparkan langkah-langkah efektif untuk membebaskan kita dari jeratan depresi. Penulis ingin berbagi untuk memberikan bimbingan bagi kita semua melalui pengalaman pribadinya sebagai seorang anak yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga secara brutal.

Regina Clarinda adalah seorang pengajar dan motivational speaker yang memiliki kerinduan untuk menolong orang-orang mengatasi kerusakan emosional dan luka batin mereka. Regina telah berpengalaman sebagai konselor pembimbing para penderita depresi untuk kesembuhan jiwa mereka, selama lebih dari sepuluh tahun.

Pengalaman pahitnya semasa kecil membawanya menjadi seorang yang kehilangan arah dan tujuan. Namun, dengan kegigihan hatinya, Regina masih dapat berbagi kepada sesama dalam hal gangguan kejiwaan. Buku ini berguna juga untuk para orang tua dalam mendidik anak agar anaknya dapat tumbuh menjadi seseorang yang memiliki sisi emosional yang matang.

Ilir-Ilir: Ilustrasi Tembang Dolanan Anak Jawa


Permainan anak-anak tradisional dari masa ke masa selalu berubah sejalan dengan perkembangan zamannya. Dahulu, republik ini sangat kaya akan permainan anak-anak. Setiap daerah memiliki ciri khas permainannya sendiri-sendiri. Namun, saat ini keberadaannya sudah sangat jarang ditemukan. Pengaruh modernisme telah membuat segala hal yang berbau tradisional terkesan kuno, sehingga masyarakat tidak memiliki minat lagi, dan akhirnya ditinggalkan oleh bangsanya sendiri. Sungguh sangat memprihatinkan, padalah itu merupakan warisan kebudayaan yang harus kita lestarikan.


Dalam rangka melestarikan permainan anak tradisional yang saat ini semakin terkikis, Bentara Budaya Yogyakarta mengadakan Pameran Ilustrasi Tembang Dolanan Anak Jawa di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah, Jakarta Barat, 30 Mei – 3 Juni 2012. Acara itu memamerkan lukisan dan buku ilustrasi tembang dolanan karya seorang seniman dari Bentara Budaya Yogyakarta bernama Hermanu. Bentara Budaya Yogyakarta juga mengumpulkan data-data tentang permainan anak yang berupa ilustrasi dan teks tembang dolanan anak dari berbagai sumber, lalu lalu menyusunnya dalam sebuah buku sebagai kelengkapan pameran.

Ilir-ilir dipilih sebagai judul pameran, karena tembang ini sangat unik dibandingkan dengan tembang yang lain. Di antara sekian banyak tembang dolanan anak, ilir-ilir mudah dinyanyikan, sudah memasyarakat, namun juga mempunyai makna yang sangat dalam pada dunia spiritual. Selain itu, tembang ini juga dinyanyikan untuk permainan anak-anak yang berbau magis seperti Sintren, Nini Thowok, dan Lahis yang saat ini sudah langka, bahkan hampir tak ada yang memainkannya lagi.

Nilai budaya di sekitar kesosialan dan kebersamaan yang terdapat pada permainan tradisional nampaknya tidak ada dalam games yang dimainkan anak-anak sekarang. Permainan tradisional selalu terjadi dalam kebarsamaan. Anak-anak saling berinteraksi satu sama lain. Namun, games pada saat sekarang ini cenderung dapat dimainkan secara idividual. Hal itu tentu saja akan ikut membentuk kultu,r yang kemudian membuat manusia menjadi individualis bahkan terkesan egois dan sinis terhadap kesosialan serta kebersamaan.

Saat ini sulit bagi kita menghayati llagi diri kita sebagai homo ludens (makhluk bermain) yang khas bagi kebudayaan kita. Kita terlalu sibuk untuk menjadi homo economicus (manusia ekonomi) yang selalu mendewakan harta atau keuntungan semata. Mungkin di sinilah letak jawaban, mengapa di zaman global ini kita merasa kehilangan identitas kita sendiri. Pameran Ilustrasi Tembang Dolanan bukan sekedar noltalgia dengan masa lampau. Lebih dari itu, pameran ini mengajak kita untuk kembali melestarikan permainan yang khas kebudayaan kita.