tag:blogger.com,1999:blog-30281612208725393172024-03-20T16:44:10.588+07:00KASATMATABlog pribadi yang berisi ide-ide subyektif di sana-sini, tergantung jari yang terus menari. Boleh komentar, namun biasakan baca sampai selesai. Boleh diambil, asal kuat iman. Ini bukan dalil, tak perlu dianggap serius. Kalau terlanjur serius, apa boleh buat.Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.comBlogger125125tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-56204158355185868272022-07-16T15:14:00.002+07:002022-07-16T15:14:15.041+07:00Pasar Daring Berkembang, Koperasi Ingin Terus Berdayakan Pedagang<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0odGougiOze-l5uYcpmpuUj0sO1SGZT5F7Ib1iAhrKgUJbqR1aHllLmvO2yN3IoAVG5kty26R2iuR9nrhyRRpZ-pBNi5zzsFsJsOtlhatDLu5QVwhSs8YWeZGjL0eGsDIUcWvucBwEPnkt0DqPYW5luEerWh7i89nAddYyxA5utKplDYUW2xMft2v/s1600/WhatsApp%20Image%202022-07-16%20at%203.04.06%20PM%20(1).jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0odGougiOze-l5uYcpmpuUj0sO1SGZT5F7Ib1iAhrKgUJbqR1aHllLmvO2yN3IoAVG5kty26R2iuR9nrhyRRpZ-pBNi5zzsFsJsOtlhatDLu5QVwhSs8YWeZGjL0eGsDIUcWvucBwEPnkt0DqPYW5luEerWh7i89nAddYyxA5utKplDYUW2xMft2v/s320/WhatsApp%20Image%202022-07-16%20at%203.04.06%20PM%20(1).jpeg" width="320" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sejumlah pesanan komsumen Pasar Cikurubuk Online dikemas sebelum dikirimkan.</td></tr></tbody></table><br /><div><br /></div><div><br /></div>Muncul sebagai solusi belanja saat kondisi pandemi Covid-19, Pasar Cikurubuk Online (PCO) kini makin diminati. Peminatnya tak hanya lokal Tasikmalaya, tapi juga dari berbagai wilayah Priangan Timur, bahkan daerah lainnya di Indonesia.<br /><br />PCO, yang hadir sejak April 2020, diinisiasi Bank Indonesia (BI) Tasikmalaya dan Pemerintah Kota (Pemkot) Tasikmalaya, bekerja sama dengan komunitas pedagang. Semula layanan pasar daring ini dikelola Himpunan Pedagang Pasar Kota Tasikmalaya (Hippatas). Lantaran Hippatas merupakan organisasi nonprofit, dibentuklah Koperasi Pemasaran Pedagang Pasar Cikurubuk (KPPPC), yang kemudian berperan mengelola PCO.<br /><br />Ketua Hippatas, Jahid, mengatakan, PCO kini merupakan salah satu unit usaha yang berada di bawah KPPPC. Keberadaan layanan pasar daring ini, kata dia, bukanlah untuk menjadi pesaing usaha para pedagang di Pasar Cikurubuk, Kota Tasikmalaya. PCO hadir untuk memfasilitasi para pedagang agar dapat memperluas pemasaran barang dagangannya. Produk yang ditawarkan PCO lewat akun lokapasar Tokopedia dan Shopee diambil langsung dari para pedagang di Pasar Cikurubuk, khususnya yang merupakan anggota KPPPC.<br /><br />Menurut Jahid, sejauh ini baru ada sekitar 25 pedagang yang tergabung secara resmi sebagai anggota KPPPC. Jumlahnya disebut masih jauh dari harapan. Jahid berharap keuntungan menjadi anggota koperasi dapat meningkatkan minat pedagang. Bagi pedagang yang merupakan anggota KPPPC, kata dia, produknya diprioritaskan untuk ditawarkan atau dijual via PCO.<br /><br />Selain itu, pedagang yang menjadi anggota koperasi juga bisa memperoleh bantuan, serta mendapat bagian dari sisa hasil usaha (SHU) koperasi. “Kami bertahap meningkatkan anggotanya. Harapan kami <i>mah</i> semua pedagang di Pasar Cikurubuk bisa menjadi anggota. Kami memang sengaja menggarap ini dengan konsep koperasi karena tujuannya untuk memajukan para anggotanya,” ujar Jahid kepada <i>Republika</i>, Kamis (14/7).<br /><br /><b>Potensi memperluas pasar</b><br /><br />PCO hadir menjawab kendala belanja saat pembatasan aktivitas diberlakukan pemerintah akibat kondisi pandemi Covid-19, khususnya di Kota Tasikmalaya. Seiring operasionalnya, konsumen yang memanfaatkan layanan PCO kian bertambah dan bukan hanya berasal dari wilayah Tasikmalaya. “<i>Alhamdulillah</i>, perkembangannya cukup signifikan. Saat ini PCO tidak hanya dikenal secara lokal Tasikmalaya atau Priangan Timur, tapi juga banyak konsumen dari seluruh Indonesia,” kata Jahid.<br /><br />Kepada <i>Republika</i>, Jahid menunjukkan bukti pesanan dari konsumen asal Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, juga Sulawesi. Berdasarkan data dari BI Tasikmalaya, 51 persen tujuan pengiriman produk dari PCO justru ke luar wilayah Priangan Timur. Sekitar 49 persen masih di dalam wilayah Priangan Timur. Jahid menilai, harga produk yang ditawarkan di PCO terbilang kompetitif. Adanya promo pembelian produk lewat lokapasar dinilai menjadi salah satu daya tarik bagi konsumen dari daerah lain. “Biasanya dari luar itu pesan paket kering, seperti sembako,” ujar dia. <br /><br />Petugas administrasi PCO, Rudi Arif Rahman, menjelaskan, PCO tak hanya menawarkan produk kering. Ada juga berbagai produk lainnya, seperti daging, cabai, bawang, serta bermacam sayuran. Namun, untuk produk-produk basah ini layanannya masih terbatas untuk konsumen yang berada di sekitar wilayah Tasikmalaya dan pengirimannya dilakukan pada hari masuknya pesanan. “Soalnya riskan kalau ke luar kota,” ujar dia.<br /><br />PCO dioperasikan selama 24 jam. Namun, untuk pengiriman pada hari yang sama hanya berlaku untuk pemesanan yang masuk pada sekitar pukul 07.00 WIB-13.00 WIB. Apabila order masuk lebih dari pukul 13.00 WIB, pengiriman akan dilakukan keesokan harinya. Arif menjelaskan, setiap ada order masuk, petugas akan langsung mencari produk yang dipesan di lapak-lapak para pedagang. Produk yang dipilih diprioritaskan dari para anggota koperasi. Setelah itu, barang akan dikemas untuk dikirimkan langsung kepada pemesan.<br /><br />Menurut Arif, pesanan yang masuk ke PCO masih didominasi makanan kering. Untuk produk sayuran dan daging disebut masih jarang. Ia menduga masih banyak warga Kota Tasikmalaya yang belum mengetahui layanan PCO, sehingga pemesanan dari dalam kota masih relatif sedikit. “Padahal <i>kan</i> belinya enakan daring, tidak perlu becek-becekan ke pasar. Ini harus dikembangkan lagi promosinya,” kata dia.<br /><br /><b>Omzet meningkat</b><br /><br />Berdasarkan data yang diterima <i>Republika</i>, selama operasional PCO pada 2020, diterima 1.141 pesanan, dengan omzet mencapai sekitar Rp 186 juta. Angkanya meningkat pada 2021, di mana masuk 5.326 pesanan, dengan omzet disebut mencapai sekitar Rp 398 juta. Sementara pada 2022, sampai Mei, terdata 3.404 pesanan, dengan omzet mencapai sekitar Rp 220 juta.<br /><br />Jahid mengatakan, saat ini omzet PCO per bulannya rata-rata mencapai Rp 60 juta. Menurut dia, angkanya masih terbilang jauh dibandingkan omzet total penjualan secara luring para pedagang di Pasar Cikurubuk. Ia mengatakan, pesanan produk lewat PCO selama ini masih banyak berupa ritel atau eceran. Koperasi berupaya mencari cara untuk dapat meningkatkan penjualan. Salah satunya dengan menjajaki pola penjualan <i>business to business</i>. “Ini kami sedang garap. Jadi, penjualannya bisa dalam partai besar, bukan ritel lagi,” kata dia.<br /><br />Promosi layanan PCO pun diharapkan bisa digencarkan. Untuk itu, Jahid pun meminta dukungan dari Pemkot Tasikmalaya. Selain membantu promosi, diharapkan pemkot dapat mendorong para aparatur sipil negara (ASN) berbelanja melalui PCO. “Itu //kan// bagus, bisa meningkatkan omzet PCO,” ujar Jahid.Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-91801306317747598312020-04-12T00:18:00.000+07:002020-05-03T08:41:45.279+07:00Menikmati Panorama Memikat Talaga Bodas<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEht77wwBthZBiOuSis1ULmKaJI3dTqBeVYNgIW0_vPa65Gwb5qp0xz57tvpO9K8fRNQu-46in05bqcoyDcCWhHy5qb4AkLafSoNNvwXJAcKTomp6rKecRYIo7SRFTTUMOwdB_p2vl7qyzs/s1600/WhatsApp+Image+2020-04-12+at+00.03.25.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEht77wwBthZBiOuSis1ULmKaJI3dTqBeVYNgIW0_vPa65Gwb5qp0xz57tvpO9K8fRNQu-46in05bqcoyDcCWhHy5qb4AkLafSoNNvwXJAcKTomp6rKecRYIo7SRFTTUMOwdB_p2vl7qyzs/s400/WhatsApp+Image+2020-04-12+at+00.03.25.jpeg" width="400" /></a></div>
<br />
Udara dingin ala daerah dataran tinggi terasa menembus ke badan. Tiga lapis pakaian belum cukup untuk menghalau dinginnya suhu di kawasan itu. Namun, beberapa orang yang terlihat tetap semangat berswafoto dengan latar putihnya air kawah Taman Wisata Alam (TWA) Talaga Bodas di Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut, Rabu awal Februari lalu.<br />
<a name='more'></a><br />
Mereka seolah tak peduli dengan hawa yang dingin. Keindahan panorama Talaga Bodas seolah telah membuat kebal tubuh mereka dan tetap berusaha untuk mengabadikan setiap momen yang ada.<br />
<br />
Cindy misalnya, salah satu mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung itu tak henti-hentinya memandang keindahan kawah putih Talaga Bodas sambil duduk di bawah pohon rindang besama seorang temannya. Sementara dua orang temannya sedang sibuk mengabadikan momen dengan kamera ponselnya.<br />
<br />
Perempuan berusia 29 tahun itu mengaku sangat terpikat dengan pemandangan alam di Talaga Bodas. Siang itu merupakan kali pertama ia mendatangi kawasan yang dikelola oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat (Jabar). Namun, ia langsung terpikat dengan keindahannya.<br />
<br />
Kawasna itu dinamai Talaga Bodas bukan tanpa alasan. Dalam bahasa Sunda, bodas memiliki arti putih. Air berwarna putih di telaga itu disebabkan adanya kandungan belerang. Di sejauh mata memandang, terlihat bukit dengan warnanya yang kehijauan. Putih susu di tengah lembah itu membuat kontras yang berbeda, sehingga membuat panoramanya begitu memikat.<br />
<br />
"Bagus pemandangannya. Kalau di Bekasi gak ada yang kayak gini, adanya juga pabrik semua," kata perempuan asal Bekasi itu.<br />
<br />
Mereka berempat memang sengaja pergi ke Kabupaten Garut untuk mengisi waktu libur semester. Sebab, satu di antara empat mahasiswi itu tinggal di Garut. Kedatangan mereka ke Talaga Bodas adalah rekomendasi dari temannya itu.<br />
<br />
Setelah sampai, Cindy menilai rekomendasi temannya itu sangat tepat. Menurut dia, pemandangan di Talaga Bodas sangat berguna untuk menjernihkan kembali pikiran sebelum memasuki kuliah semester berikutnya.<br />
<br />
Rombongan Cindy bukan satu-satunya yang datang ke Talaga Bodas siang itu. Ada pula Adit (21 tahun) bersama rekan-rekannya yang sedang asyik melihat pemandangan putihnya warna air di kawah itu dari menara pandang.<br />
<br />
Berbeda dengan Cindy, kunjungan Adit ke tempat itu bukanlah yang kali pertama. Ia mengaku telah tiga kali mendatangi obyek wisata alam itu. Semakin ke sini, menurut dia, banyak perubahan yang terjadi di Talaga Bodas.<br />
<br />
"Terakhir ke sini waktu SMP, sudah banyak perubahan. Di dekat kawah tak ada lagi warung yang berjualan," kata dia.<br />
<br />
Ia menilai, kondisi itu tentu semakin membuat panorama Talaga Bodas semakin indah. Sebab, ketika terdapat banyak pedagang yang berjualan di sekitar kawah, pemandangan di Talaga Bodas terlihat kumuh. Dengan menghilangnya para pedagang dari sekitar kawah, pengunjung dapat menikmati pemandangan yang benar-benar asri.<br />
<br />
Pengelola Talaga Bodas memang telah sedemikian rupa mengatur lanskap di kawasan itu. Pengunjung yang masuk ke kawasan TWA tak diperbolehkan membawa kendaraan ke pinggir kawah. Kendaraan wajib dipakir di tempat yang jaraknya sekira 300 meter dari kawah. Di tempat itu juga penduduk sekitar membuka kios-kios makanan dan cenderamata. Untuk memasuki area sekitar kawah, pengunjung harus berjalan kaki atau menyewa ojek seharga Rp 20 ribu pergi-pulang.<br />
<br />
Sebagai pengunjung, Adit tak mempermasalahkan tata kelola itu. Justru, ia menilai hal itu baik, sebab membuat kawasan di sekitar kawah semakin alamiah. Namun, hal yang menjadi catatan negatifnya adalah akses jalan untuk menuju kawasan TWA Talaga Bodas.<br />
<br />
"Jalan masuk kurang bagus. Padahal lemandangan di jalan, dari Wanaraja sampai sini bagus. Tapi karena jalannya jelek, jadi tidak terlalu menikmati," kata laki-laki asli Garut yang datang ka Talaga Bodas menggunakan sepeda motor itu.<br />
<br />
Hal serupa juga diungkapkan Deni (28), yang datang bersama keluarganya menaiki mobil pribadi ke Talaga Bodas. Menurut dia, akses jalan masuk ke dalam terlalu sempit. Akibatnya, ia agak kesulitan menyetir jika ada kendaraan dari arah berlawanan. Apalagi, jalanan menuju kawasan itu naik-turun dan berkelok.<br />
<br />
"Ngeri kalau agak ngebut," kata lekaki dari Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut itu.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNvO-bw8ye0EghkwgX9JZmUx1Nd1ZwZf2betnJfJ-5LEp4ZVdtZL84e2evjh_3tu8oec9fgQaeltguUqioV41gmJZfzD8gUvEdF9X5xK4ss0Xo7B5vXLSsgYoZI4an2622tLic-e6S8Vc/s1600/WhatsApp+Image+2020-04-12+at+00.03.25+%25281%2529.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNvO-bw8ye0EghkwgX9JZmUx1Nd1ZwZf2betnJfJ-5LEp4ZVdtZL84e2evjh_3tu8oec9fgQaeltguUqioV41gmJZfzD8gUvEdF9X5xK4ss0Xo7B5vXLSsgYoZI4an2622tLic-e6S8Vc/s400/WhatsApp+Image+2020-04-12+at+00.03.25+%25281%2529.jpeg" width="400" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
Untuk dapat sampai ke TWA Talaga Bodas, setidaknya terdapat dua akses jalan, dari Garut dan Tasikmalaya. Saya menjajal jalan masuk melalui arah Tasikmalaya. Dari pusat kota, diperlukan setidaknya 1,5 jam untuk sampai di lokasi dengan menggunakan kendaraan roda dua.<br />
<br />
Rute untuk dapat sampai ke kawasan Talaga Bodas dari Tasikmalaya harus melewati jalan nasional atau yang dikenal Jalur Gentong. Setelah itu, masuk jalan besar di sebelah kiri tepat pada Polsek Kadipaten, dan melalui area Karaha Bodas.<br />
<br />
Sekira 70 persen akses jalan menuju Talaga Bodas dari Tasikmalaya. Namun, ketika melewati area Karaha Bodas, akan terdapat banyak jalan batu kerikil dan tanah licin. Namun, jika kendaraan belum diservis atau rawan mogok, Saya tak menyarankan mengambil rute itu, meski pemandangan hutan, tebing, dan bukit, di sepanjang jalan membuat sejuk mata.<br />
<br />
Pengunjung yang melakukan perjalanan dari Tasikmalaya juga disarankan tidak mudah percaya pada aplikasi peta, khususnya Google Maps. Sebab, awalnya Saya menggunakan aplikasi itu, melewati Jalan Raya Ciawi-Singaparna (Cisinga) dan masuk ke Desa Sukamukti, Kecamatan Cisayong. Namun, sampai diujung jalan, seorang ibu yang sedang bertani memberi tahu bahwa jalan itu buntu.<br />
<br />
Sementara ketika pulang, saya memilih jalur ke arah Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut. Jalur ke arah Garut dapat dibilang lebih manusiawi dibanding arah Tasikmalaya, meski tak bisa dikatakan 100 persen mulus. Pemandangan yang ditawarkan pun tak berbeda jauh. Terdapat hamparan sawah, bukit, hutan, dan tebing, di sepanjang perjalanan. Meski kalau boleh jujur, pemandangan dari arah Tasikmalaya lebih baik. Perjalanan dari Talaga Bodas untuk mencapai pusat kota Garut diperlukan waktu lebih singkat, yaitu sekira 1 jam. Dari arah Garut juga terdapat angkutan kota yang dapat membawa wisatawan untuk sampai ke Talaga Bodas.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRm-vaPh8NpyD_yjzjwC9KnMvSZ2KoRIBzE_quaSY7dey4Vy13zU_Xj6hZH_6yMZ3pF5o4niJdj9gBUWlusiG-VC_yu7cdylfbYaCFZbtESaTVT67FAxtT2rQrk3_F7jkkcCAR7Hd5iOM/s1600/WhatsApp+Image+2020-04-12+at+00.03.25+%25282%2529.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRm-vaPh8NpyD_yjzjwC9KnMvSZ2KoRIBzE_quaSY7dey4Vy13zU_Xj6hZH_6yMZ3pF5o4niJdj9gBUWlusiG-VC_yu7cdylfbYaCFZbtESaTVT67FAxtT2rQrk3_F7jkkcCAR7Hd5iOM/s400/WhatsApp+Image+2020-04-12+at+00.03.25+%25282%2529.jpeg" width="400" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
Jarak untuk mencapai Talaga Bodas, baik dari pusat kota Tasikmalaya atau Garut terbilang cukup dekat. Meski jalanan tak mulus, tapi beratnya perjalanan itu terbayar dengan pemandangan alam di Talaga Bodas. Seperti kata Deni, yang baru pertama kali ke tempat itu dan langsung dibuat terpesona. "Waktu lihat di medsos bagus, pas sampai bagus banget," kata dia.<br />
<br />
Bukan hanya pemandangan alam yang disediakan di TWA Talaga Bodas. Resor Konservasi Wilayah XVII Talaga Bodas, sebagai pengelola, juga membuat berbagai sarana dan prasarana pendukung untuk pengunjung, seperti shelter, gazebo, spot swafoto, mushola, homestay, toilet, dan yang paling disukai adalah kolam rendam air panas di dekat kawah. Selain di dekat kawah, terdapat pula kolam rendam Pancuran Tujuh. Namun, posisinya terletak agak jauh dari kawah. Di kawasan itu juga disediakan area berkemah untuk pengunjung yang ingin menginap di tenda.<br />
<br />
Bukan hanya itu, di kawasan TWA yang memiliki luas sekira 27 ribu hektare itu memiliki aneka ragam flora dan fauna. Sebab, kawasan itu termasuk dalam tipe vegetasi hutan hujan pegunungan, dengan jenis tumbuhan di antaranya puspa, huru, pasang, manglid, anggrek bulan, dan banyak lainnya. Jika pengunjung beruntung, dapat pula dijumpai satwa seperti elang, babi hutan, tringgiling, dan tupai.<br />
<br />
Ihwal harga tiket masuknya, pengunjung tak perlu mengeluarkan biaya terlalu tinggi. Untuk wisatawan lokal, tiket masuk dipatok dengan harga Rp 7.000 per hari untuk hari biasa dan Rp 9.500 per hari saat hari libur. Sementara untuk wisatawan mencanegara harga tiket dikenakan Rp 105 ribu hingga Rp 155 ribu. Sedangkan untuk kendaraan roda dua Rp 5.000 hingga Rp 7.500, kendaraan roda empat Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu, dan kendaraan roda enam Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu.<br />
<br />
Kawasan itu juga dapat digunakan untuk melakukan kegiatan komersil atau foto pranikah, dengan tarif Rp 250 ribu. Sementara untuk wisatawan yang hendak berkemah dikenakan biasa Rp 7.500 per tenda. Seluruh tarif itu sudah termasuk asuransi kepada pengunjung.<br />
<br />
<b>Kunjungan Masih Minim</b><br />
<b><br /></b>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1mDKwWA3YlE4zpOxas5puBwpOmkOGu3-gvVZfDk2dR7yipIYL-8R113jfArL1_4qTvxCUVxMUAhehkne5NHA_KwwFfUGIJ3XI4Q9O-BDJGoP3qeGtkfEip-MRhjPgHnkaSYWQiKWXdRI/s1600/WhatsApp+Image+2020-04-12+at+00.05.32.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1mDKwWA3YlE4zpOxas5puBwpOmkOGu3-gvVZfDk2dR7yipIYL-8R113jfArL1_4qTvxCUVxMUAhehkne5NHA_KwwFfUGIJ3XI4Q9O-BDJGoP3qeGtkfEip-MRhjPgHnkaSYWQiKWXdRI/s400/WhatsApp+Image+2020-04-12+at+00.05.32.jpeg" width="400" /></a></div>
<br />
Kendati nama Talaga Bodas sudah banyak<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
dikenal luas oleh masyarakat, Kepala Resor Konservasi Wilayah XVII Talaga Bodas, Walin mengatakan, angka kunjungan wisata ke tempat itu per tahunnya masih cenderung minim. Ia menyebutkan, kunjungan ke TWA Talaga Bodas per tahunnya berada di angka 2.000-3.000 orang.<br />
<br />
Kendati demikian, bukan berarti pengelolaan kawasan TWA Talaga Bodas tanpa masalah. Menurut dia, salah satu masalah yang sering dihadapi pengelola adalah kurangnya kesadaran pengunjung. Ia mencontohkan, masih ada sejumlah pengunjung yang bandel dan melintas ke kawasan cagar alam. Padahal sudah ada rambu larangan untuk tidak melintas ke kawasan itu.<br />
<br />
Walin menjelaskan, kawasan cagar alam merupakan daerah yang tak boleh dimasuki sembarang orang. Sebab, di kawasan itu masih banyak terdapat satwa liar. Area itu hanya bisa dimasuki untuk tujuan penelitian. Itu pun peneliti harus mengantongi surat izin masuk kawasan konservasi (simaksi).<br />
<br />
"Pernah kejadian pada sekira 2013, ada pengunjung yang meninggal setelah memasuki kawasan cagar alam. Padahal sudah ada rambu larangan," kata dia.<br />
<br />
Selain itu, pengelola juga sempat konflik beberapa kali dengan penduduk sekitar. Alasannya serupa, penduduk sering kali memasuki kawasan cagar alam tanpa izin.<br />
<br />
Bukan hanya itu, lanjut Walin, meski sudah ada penataan kendaraan bermotor tak boleh dibawa sampai area kawah, masih ada saja penduduk lokal yang memaksa membawa kendaraan. Alhasil, timbul kecemburuan dari wisatawan yang mesti berjalan kaki atau naik ojek untuk bisa sampai ke area kawah.<br />
<br />
"Padahal kita sudah ada kebijakan untuk menggratiskan tiket masuk untuk penduduk. Penduduk juga diberdayakan jadi tukang ojek atau jualan di TWA," ujar dia.<br />
<br />
Sementara itu, Kepala Bidang Konvervasi Wilayah III Ciamis, Andi Witria Rudianto mengatakan, pihaknya memang belum mampu melakukan pengembagan TWA Talaga Bodas untuk menjadi destinasi massal. Selain ingin tetap menjaga ekosistem di kawasan itu, anggaran yang diimiliki BBKSDA Jabar juga terbatas.<br />
<br />
"Kita juga kan bbksda jabar luas. Jadi anggarannya terbagi ke banyak hal. Misalnya ke Pangandaran yang akan dijadikan destinasi internasional," kata dia.<br />
<br />
Selain itu, menurut dia, salah satu permasalahan BBKSDA dalam mengelola TWA adalah kesadaran wisatawan akan kebersinhan lingkungan. Ia menilai, masih banyak wisatawan yang membuang sampah sembarangan, yang imbasnya merusak ekosistem di kawasan itu.<br />
<br />
Andi mengingatkan, wisatawan hendaknya selalu menjaga kebersihan dan mengikuti rambu yang ada di kawasan itu. Sebab, keberlanjutan TWA Talaga Bodas tak lepas dari cara manusia menjaganya.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLN_XYn7PAPphcMxlsWFUDOKSeQ3RI-Qryvag_rDIUI_NLTSxgqsg-kM86dWKqqGyPu9Sz9Zk1HyOks7ZcNYufTEc7BQbusYOLCP6GwC7CSKU9_REPGr_0cov00WaAEm5-5Ihzxh5s4M0/s1600/WhatsApp+Image+2020-04-12+at+00.05.33.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLN_XYn7PAPphcMxlsWFUDOKSeQ3RI-Qryvag_rDIUI_NLTSxgqsg-kM86dWKqqGyPu9Sz9Zk1HyOks7ZcNYufTEc7BQbusYOLCP6GwC7CSKU9_REPGr_0cov00WaAEm5-5Ihzxh5s4M0/s400/WhatsApp+Image+2020-04-12+at+00.05.33.jpeg" width="400" /></a></div>
<br />Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-4910904481275343932019-07-07T19:05:00.000+07:002019-07-07T19:21:23.567+07:00Mengenang Sutopo dan Sistem Kebencanaan di Negeri IniTulisan ini, saya muat ulang untuk mengantar Sutopo Purwo Nugroho ke alamnya yang baru. Saya menulis ini sekitar awal Agustus 2016. Momen itu, kalau tak salah, menjadi kali pertama saya menuliskan sosok untuk sebuah media arus utama.<br />
<br />
Tulisan mengenai sosok ini terbit di Harian Nasional edisi 6-7 Agustus 2016. Format tulisannya tanya-jawab. Saya bertanya satu menit, Sutopo menjawab 30 menit.<br />
<br />
Sehabis mewawancari di siang itu, saya ditawari beberapa kaos dan buku terkait kebencanaan. Saya mau ambil bukunya, tapi tak jadi. Entah saat itu alasannya apa.<br />
<br />
Silakan mengenang kembali sosok humas terbaik pernah saya kenal.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
___<br />
Di balik berita kebencanaan, hampir pasti nama Sutopo Purwo Nugroho disebut sebagai sumber utama. Ia merupakan Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).<br />
<br />
Di dalam buku kontak telepon pintarnya, ada lebih dari 2.000 nomor telepon wartawan. Setiap terjadi bencana di Indonesia, ia lalu menulis atau menyampaikan data tersebut ke seluruh kontak wartawan di telepon pintarnya.<br />
<br />
Pria yang mengaku memiliki hobi membaca dan bermain badminton, ketika masih muda dulu, ini tak hanya aktif di BNPB. Ia juga mengajar di beberapa universitas. Menurutnya, mengatur waktu adalah hal yang penting di tengah banyaknya pekerjaan yang dijalani.<br />
<br />
Sutopo mengaku banyak belajar dari pengalaman hidup. Dilahirkan dari keluarga sederhana, ia pernah bertelanjang kaki untuk pergi ke sekolah. Rumahnya hanya beralsakan tanah, yang ketika hujan akan banyak laron datang bergelandangan. Namun itu merupakan rejeki tersendiri, karena laron-laron itu akan berakhir menjadi peyek dan mauk ke dalam perut Sutopo.<br />
<br />
Sampai kelas 3 SD, Suropo mengaku belum lancar membaca. Karena itu semua, ia merasa sering disisihkan oleh lingkungannya. Namun pada kelas 4 SD, ia mengaku pernah dipuji oleh gurunya. Perkara sepele, hanya karena Ibu Sri, guru Sutopo kala itu, melihat dirinya menyapu halaman rumah. Namun Sutopo merasakan kehangatan dalam pujian tersebut.<br />
<br />
Anak dari pasangan ayah guru dan ibu pegawai di kantor pengadilan Boyolali ini bertekad untuk semakin rajin belajar. Ia lagi-lagi mendapat pujian, perkara nilainya meningkat. Orang tuanya ikut senang. karena itu, ia terus bertekad untuk belajar dan membuat orang tua bahagia.<br />
<br />
Ia mengatakan saat itu belum mampu membahagiakan melalui materi, karena itu prestasi sekolah merupakan pilihan yang paling realistis. Saat di SMP dan SMA, ia selalu menjadi juara kelas. Bahkan lulus sarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan predikat cumlaude tercepat.<br />
<br />
Lulus dari UGM pada 1994, ia langsung mendaftar di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sutopo ditempatkan di UPT Hujan Buatan. Ia ingat BJ Habibie memberikan wejangan ketika itu, “Anda dititipkan orang tua anda ke saya. Saya tidak memberikan jaminan anda akan sukses. Tapi berhasil tidaknya bergantung dari anda.”<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEha5Zec9jJjM0KYOrajtQPCNXhd1Ke7SdNUNTmDTMlc6zTC3bSCqR58uGApTlcyhrrJKao5tZubJgTPVEOxVOSdDN-bHHvE-hjY4eWsNA5y09rgHRQlWUc7DHrtDauaWGhvDGIMm6eZ43o/s1600/IMG-20190707-WA0054.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="853" data-original-width="1280" height="266" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEha5Zec9jJjM0KYOrajtQPCNXhd1Ke7SdNUNTmDTMlc6zTC3bSCqR58uGApTlcyhrrJKao5tZubJgTPVEOxVOSdDN-bHHvE-hjY4eWsNA5y09rgHRQlWUc7DHrtDauaWGhvDGIMm6eZ43o/s400/IMG-20190707-WA0054.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Dok. Sutopo Purwo Nugroho</td></tr>
</tbody></table>
<b>Bisa dijelas peran, tugas, dan fungsi BNPB?</b><br />
<br />
Jadi BNPB itu memiliki tiga fungsi. Ketika tidak terjadi bencana atau pasca bencana, fungsinya adalah koordinator dalam penanggulangan bencana. Baik itu pra bencana atau darurat. Saat terjadi bencana, maka fungsinya adalah komando. BNPB bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai komando, yang mengoordinir seluruh potensi nasional, seperti TNI, Polri, Basarnas, kementerian/lembaga, NGO, relawan, masyarakat, dunia usaha, dan lainnya.<br />
<br />
Selain itu, BNPB juga membangun masyarakat yang tanggung dalam menghadapi bencana. Artinya, kita siap menghadapi bencana, kita tahu bagaimana melindungi masyarakat saat terjadi bencana, ketika terjadi bencana bagaimana melakukan penanganan yang baik.<br />
<br />
Begitu selesai, masyarakat kita tempatkan kembali dengan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Karena itu, pasca bencana kita bangun lima sektor, diantaranya pemukiman, infrastruktur, ekonomi produktif, sosial budaya dan lintas sektor.<br />
<br />
Jadi tugas BNPB sangat besar, karena bukan menangani saat bencana tetapi juga menyiapkan masyarakat.<br />
<br />
<b>Mengapa?</b><br />
<br />
Kita ini rawan bencana, yang bisa terjadi kapan saja. Kalau kita melihat, peradaban Indonesia tumbuh dan utuh bersama bencana itu. Contoh Samudera Pasai di Aceh, Kerajaan Barus di Sumatera Utara, Mataram Kuro di Yogyakarta, Majapahit di Jawa Timur, hancur bukan hanya semata-mata serangan musuh atau konfik internal. Tapi lebih dominan karena ada ancaman bencana tadi.<br />
<br />
Mangkanya bencana itu pasti selalu menyertai bangsa Indonesia.<br />
<br />
<b>Bagaimana agar siap menghadapi itu?</b><br />
<br />
Kesadaran masyarakat kita tetang pentingnya bencana baru tumbuh saat tsunami Aceh tahun 2004. Ketika terjadi bencana yang demikian besar, kita belum punya sistem nasional penanggulangan bencana. Mangkanya penanganannya tidak berjalan dengan baik. Masyarakat tidak tahu arti tsunami. Air surut, malah semua berlarian ke bawah mengambil ikan di pantai. Sehingga timbul korban yang hampir 200.000 orang meninggal.<br />
<br />
Ketika kita masih menangani tsunami Aceh, tiba-tiba muncul gempa 8,5 SR di Nias yang disusul tsunami. Belum selesai, gempa juga terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. 5.000 orang lebih meninggal. Lalu banjir Jakarta, gempa Sumatera Barat, dan lainnya. Mangkanya, kita baru memahami arti pentingnya penanggulangan bencana ya tahun 2007.<br />
<br />
<b>Bagaimana awal kelahiran BNPB?</b><br />
<br />
Tahun 2008 baru lahirlah BNPB, kemudian disusul BPBD di daerah. Saat ini sudah ada sekitar 500 BPBD di provinsi maupun di kabupaten/kota. dalam 8 tahun ini, kita masih perlu banyak upaya yang lain. Meskipun kita melihat bahwa banyak negara mengakui tentang kemajuan Indonesia dalam menanggulangi bencana. Tetapi kita menyadari masih perlu perjalanan panjang. Penanggulangan bencana itu adalah sesuatu yang lintas generasi. Dan harus dilakukan secara terus menerus.<br />
<br />
Kita bandingkan dengan Jepang, misalnya. Jepang itu menyiapkan masyarakat mereka yang tangguh menghadapi gempa dan tsunami sudah berjalan hampir sekitar 2.000 tahun. Dalam kurun waktu itu, Jepang sudah memiliki proteksi-proteksi untuk mengantisipasi gempa dan tsunami. Pendidikan usia dini juga dilakukan secara terus menerus.<br />
<br />
<b>Sebelum lahir BNPB, bagaimana penanggulangan bencana di Indonesia?</b><br />
<br />
Dulu tidak ada koordinasi tetap. Sifatnya satuan laksana yang ditangani di bawah Badan Koordinaso Nasional, di bawah Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Jadi fungsinya hanya ad hoc begt ada bencana. Ketika selesai, dikembalikan ke kementerian/lembaga, yang masing-masing punya program sendiri.<br />
<br />
Jadi dengan adanya BNPB dan BPBD, fungsi koordinasi menjadi lebih mudah. Di Indonesia banyak sekali pemain-pemain penanggulangan bencana. Itu harus dikoordinir. Kalau tidak, semua melakukan sehingga seringkali terjadi duplikasi dan bantuan berlebih di satu tempat namun tempat lain kekurangan.<br />
<br />
Sementara di daerah, ekspetasi masyarakat kepada BPBD dan BNPB itu luar biasa. BPBD bukan hanya menangani bencana, namun permasalah yang ada di masyarakat pun mereka lapor ke BPBD. Seperti sapi kecebur sumur, orang gantungdiri, ternak hilang, mereka lapor BPBD.<br />
<br />
<b>Kalau seperti itu, bukankan akan memberatkan tugas BPBD?</b><br />
<br />
Karena panggilan. Dalam hal ini juga kami tidak sendirian, pasti didukung TNI, Polri, PMI, Basarnas, relawan dan SKPD yang ada.<br />
<br />
<b>Selama ini, tantangan dan masalah apa yang selalu dihadapi?</b><br />
<br />
Yang paling berat adalah wilayah Indonesia terlalu luas dan aksesibilitas menuju lokasi sering menjadi kendala. Seperti banjir bandang di Kepulauan Sangihe bulan lalu, kita menuju ke sana tidak mudah. Kita mau menggunakan helikopter tidak bisa karena angin kencang, menggunakan kapal lau tidak bisa karena gelombang tinggi. Sehingga kita hanya berkomunikasi dengan menggunakan radio komunikasi. BPBD setempat pasti melakukan penanganan, namun kita tidak tahu bagaimana kebutuhan ekstrem yang perlu disediakan. Sehingga komunikasi menjadi sangat penting.<br />
<br />
Sering kali wilayah tersebut juga belum bisa melakukan komunikasi karena aksesibilitas yang masih sangat terbatas.<br />
<br />
Yang lain, faktor penyebab bencana bukan hanya dari alam, namun juga campur tangan manusia. Longsor tahun 2014 hingga saat ini menjadi bencana yang paling mematikan, karena masyarakat memang tinggal di daerah yang rawan longsor tinggi. Seharusnya, kemeringan lereng 45 derajat itu menjadi kawasan lindung. Tetapi sekarang berkembang menjadi pemukiman.<br />
<br />
Artinya, masih ada kelemahan dalam penataan ruang, penegakan hukum, dan masih adanya kemiskinan. Masyarakat ingingnya tinggal di daerah yang datar dan tidak rawan bencana, namun adanya hanya di situ yang paling murah. Akhirnya tinggal di situ.<br />
<br />
Tentu saja BNPB tidak bisa melakukan penanganan. Itu merupakan kewenangan kementerian/lembaga terkait. Tapi kita ajak bicara bersama untuk mengatasi hal ini. Idealnya memang daerah tersebut kosong, tapi mau kemana masyarakat yang sudah ada. Relokasi itu tidak mudah.<br />
<br />
<b>Sampai saat ini, apa yang belum dilakukan?</b><br />
<br />
Saya rasa semua sudah melakukan, tapi dengan kemampuan masing-masing. Ini merupakan proses perjalanan sejarah kita. Tentu perlu jangka waktu yang panjang. Pada saat latihan kebencanaan, semua nurut. Namun dalam kondisi panik semua tidak beraturan. Saat sosialisasi kita mengatakan kalau evakuasi tidak usah bawa kendaraan, ternyata saat terjadi 63 persen membawa kendaraan. Karena itu jadi macet.<br />
<br />
Ini perlu perjalanan waktu. Karenanya, urusan bencana bukan hanya urusan BNPB. Ini tanggung jawab bersama, tidak mungkin semua ditangani pemerintah.<br />
<br />
Contohnya Jakarta, yang rawan gempa. Semua gedung bertingkat, namun saya kira belum semua yang menghuni gedung mengerti cara evakuasi yang benar. Harusnya pemilik gedung wajib mengadakan latihan evakuasi.<br />
<br />
Di Indonesia, pengetahuan masyarakat terkait bencana sudah ada. namun pengetauan itu belum menjadi sikap dan perilaku. Itu perlu waktu panjang, yang disertai dengan penegakan hukum, tata ruang, dan ekonomi yang baik.<br />
<br />
<b>Bagaimana peran pemerintah daerah?</b><br />
<br />
Alokasi anggaran BPBD dari APBD itu kecil sekali. Rata-rata hanya 0,02 persen. Padahal minimum adalah 1 persen. Ini memang masih berupa kesepakatan. Karena itu penanggulangan bencana belum menjadi prioritas. Leadership kepala daerah sangat menentukan berhasil atau tidaknya penanggulangan bencana.<br />
<br />
Semakin kepala daerah tahu tentang penanggulangan bencana, anggaran BPBD akan semakin dinaikan. BNPB tidak bisa intervensi. Contoh Kota Surabaya belum memiliki BPBD, karena walikotanya mengetahui tentang bencana sepotong-sepotong. Dikiran BPBD itu pemborosan anggaran.<br />
<br />
Salah satu yang bagus adalah Provinsi Jawa Tengah. Kepala daerah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap penanggulangan bencana. Karena itu anggaran BPBD-nya juga sudah di atas 1 persen.<br />
<br />
<b>Bagaimana anggaran di pusat?</b><br />
<br />
Kita melihat anggaran mencukupi. Di BNPB sendiri ada 1,5 hingga Rp 2 triliun untukkepegawaian, penanganan darurat, pasca bencana, dan lain-lain. Selain itu BNPB juga punya dana cadangan Rp 4 triliun di Kementerian Keuangan. Anggaran tersebut Rp 2,5 triliun untuk penanganan darurat, dan sisannya untu rehabilitasi dan rekonstruksi (RR). Memang cukup besar.<br />
<br />
Tapi melihat kebutuhan nasional, jelas masih kurang. Kebutuhan kita rata-rata hampir Rp 30 triliun per tahun. Anda bayangkan, Sinabung untuk RR butuh Rp 3,6 triliun. Kalu kita alokasikan ke sana semua, daerah lain pasti teriak. Karena dana itu kita bagi ke daerah terdampak bencana, sehingga setiap daerah perlu waktu beberapa tahun. Belum selesai RR, datang lagi bencana berikutnya.<br />
<br />
Ini memang anggaran yang kita miliki. Sehingga kita mampunya hanya seperti itu. Karena itu dunia usaha juga harus ikut terlibat menangani bencana. Jangan semuanya mengandalkan pemerintah. Saat ini kepedulian dunia usaha terkait bencana tidak sampai 1 persen.Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-64957937148468229462018-12-07T22:30:00.000+07:002018-12-07T22:31:57.202+07:00Isu #4Sebagai anak muda yang pernah sok punk, tentu saja saya pernah mendengarkan lagu-lagu Superman is Dead (SID). Tapi, sebagai anak yang tinggal di pinggiran Jakarta, saya juga pernah (dan mungkin masih) mencintai dangdut cum koplo. "Gedung Tua", "SMS", adalah dua di antara lagu-lagu yang pernah mengisi waktu, ketika masih SMP kalau tak salah.<br />
<a name='more'></a><br />
Pada fase-fase itu pula, saya mengenal Intisari, anggur cap Orang Tua dengan berbagai varian rasanya, juga minuman-minuman tak bernama. Bukan Radiohead atawa Stone Roses yang mengisi musik latar belakang, melainkan Endank Soekamti dan SID. Sesekali mencari, panggung dangdut hanya untuk merayakan hidup dalam goyangan aduhai.<br />
<br />
Lantas setelah fase itu, saya mulai meninggalkan nada-nada band punk mapan Indonesia dan dangdut di kampung-kampung tetangga. Saat itu, The Upstairs membawa saya pada musik independen Indonesia lainnya, yang awalnya tak saya menegerti tapi tetap asyik saja.<br />
<br />
Lebih dalam tentang musik, saya terjebak di Jakartabeat, situs budaya populer yang kini sedang rehat. Mulanya menjadi pembaca, kontributor, dan belajar untuk menjadi sok tahu tentang musik di sana. Karena, kalau kata Taufiq Rahman, <i>co-founder </i>Jakartabeat, menulis musik adalah menulis tentang manusia.<br />
<br />
Masa itu adalah ketika saya kuliah dan mulai menginjak semester tengah. Tentu saya kesoktahuan itu sangat menjadi. Mengulas musik dengan berbagai teori, kadang mencampurnya dengan sepak bola juga agama. Atau sebaliknya.<br />
<br />
Namun, setelah masuk ke industri media arus utama, kesoktahuan itu perlahan hilang. Entah kenapa. Mungkin karena hidup tak lagi selonggar dulu atau kini waktu selalu memburu. Padahal, mengutip lakon <i>Jejalan</i> yang dipentaskan Teater Garasi beberapa tahun silam, sebenarnya kita "Mau ke mana?"<br />
<br />
Naluri kesoktahuan saya kembali muncul, ketika JRX, drumer SID itu menegur, mencibir, atau apapun istilahnya, Via Valen, yang membawakan lagu ciptaannya, "Sunset di Tanah Anarki", tanpa izin. Sudah tanpa izin, dilipatgandakan pula.<br />
<br />
Saya tentu tahu perasaan JRX. Kesal pasti, karena lagunya dibawakan tak sesuai keingginannya. Tanpa pesan moral, kalau yang saya tangkap.<br />
<br />
Saya harus paham, selama ini JRX menjadikan musik bukan hanya sebagai sarana berkarya. Lebih dari itu, ia menjadikan musik sebagai senjata melawan kekuasaan. Selayaknya ideologi punk itu sendiri sejauh yang saya mengerti.<br />
<br />
Namun, menjadi punk bukan berarti harus menjadi penentu kehidupan. Pernah dengar istilah "the death of the author"? Kalau pernah, maksudnya jelas. Seorang pencipta tak bisa lagi menentukan kehidupan karya ciptaannya. <br />
<br />
Tuhan pun, jika percaya, tak mampu mengendalikan manusia. Mengapa seorang JRX harus merasa memiliki hak untuk marah-marah melihat karyanya bertransformasi menjadi koplo?<br />
<br />
Jika kemarahan itu mucul dari SBY, ketika lagunya dijadikan musik koplo, mungkin saya mafhum. Tapi ini, dari seorang JRX, yang katanya berjuang melalui karyanya? <br />
<br />
Saya kaget. Cukup kaget saja, tapi tak menjadi benci. Hanya saja, simpati saya berkurang. Mungkin kemapanan membuatnya menjadi otoriter yang senang mendikte.<br />
<br />
Seperti guru yang mengajari muridnya, "Gini <i>lho</i>, Le, bukan begitu."<br />
<br />
Sebenarnya, agak terlambat menulis kesoktahuan saya ini. Namun, setelah peristiwa itu ramai, saya tak sengaja menemukan kalimat pembangkit syahat dalam <i>Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam</i> oleh Rusdi Mathari mengenai God Bless. Ia menulis, <br />
<br />
"Ian (Antono) mengakui isi lirik lagu God Bless memang penuh kritik sosial, tapi God Bless tak bermaksud mengubah keadaan atau menjadi tukang kritik. God Bless memilih berada di pinggiran dan tak hendak membuat sejarah dengan dikenang sebagai kelompok musik atau penyanyi yang vokal dan kritis, sembari diam-diam mengambil keuntungan dari penjualan album; melainkan hanya ingin dikenang sebagai grup rock. <br />
<br />
"Abadi (Soesman) menyebut, God Bless hanya band panggung. Hanya itu dan sesederhana itu."Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-75256679691816873152018-09-23T23:37:00.000+07:002018-09-23T23:56:32.353+07:00Isu #3Badannya besar, tinggi dan lebar. Ia tak gemuk, tapi tentu tidak kurus. Namun sulit mengatakan postur tubuhnya proporsional. Entah apa sebutan yang cocok untuk mencirikan bentuk tubuhnya. Memang tak sepatutnya dicirikan.<br />
<a name='more'></a><div>
<br />
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden keenam republik ini, memang istimewa. Hingga saat ini, hanya dia satu-satunya orang yang bisa memenangi hati rakyat Indonesia dalam ajang lima tahunan, pemilu, yang diadakan pascareformasi.<br />
<br />
Pada 2004, pensiunan jenderal TNI itu mulai berkuasa. Bersama pasangannya Jusuf Kalla, ia mengatasi beragam masalah di negeri ini. Salah satu janji yang paling dikenang hingga kini adalah menuntaskan kasus pembunuhan seorang Munir di atas pesawat. Namun, lima tahun pertama kepemimpinannya, tak juga bisa tuntas.<br />
<br />
Ketidaktuntasan itu bukan menjadi penghalang bagi lelaki yang sempat menjabat sebagai Kepala Staf Teritorial TNI itu melanjutkan masa jabatannya sebagai presiden pada 2009. Bersama Boediono, SBY bahkan berhasil mengalahkan duet maut Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto.<br />
<br />
Namun, konstitusi negara ini membatasi masa bakti SBY sebagai presiden. Di penghujung jabatannya itu, satu demi satu kasus korupsi terkuak. Apalagi, janji menuntaskan kasus pembunuhan Munir belum juga terealisasi.<br />
<br />
Ironis memang. Mungkin, karena itulah di akhir-akhir masa jabatannya itu SBY lebih sering nge-<i>jam</i> dengan gitar kopongnya. Kita semua --yang bisa bermain alat musik meski hanya sedikit-- mafhum betul kalau nge-<i>jam</i> bisa jadi penawar kemurungan dalam kehidupan sehari-hari.<br />
<br />
Ketika turun dari singgasana kursi kepresidenan, SBY bersama partainya tak mendukung calon presiden yang tersedia kala itu, Joko Widodo dan Prabowo. Ia beralasan lebih memilih berada di tengah tanpa memihak, alih-alih tak ada kader yang layak dicalonkan karena banyak tersandung kasus korupsi.<br />
<br />
Empat tahun berselang, tepat tahun ini, ketika partai-partai sibuk mengusung dan mendeklarasikan pasangan calon presiden, SBY dengan santai menunggu peluang. Pertama, putra sulungnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sempat digadang-gadang akan dilobi oleh SBY kepada dua pasangan calon, lagi-lagi Joko Widodo dan Prabowo.<br />
<br />
Nama terakhir bahkan hampir pasti merekrut AHY. Sayang, ada pihak-pihak yang menentang. AHY dibilang masih terlalu dini, belum cukup pengalaman. Alhasil, posisinya direbut oleh Sandiaga Uno dan memunculkan adanya isu mahar politik yang sempat membuat Andi Arief, wakil sekretaris jenderal partai yang dipimpimpin SBY, kembali hampir "diculik" Bawaslu. Bukan diculik seperti era reformasi. Toh ia sendiri mengakui tak pernah diculik kan?</div>
<div>
<br />
Namun, isu itu menguap.<br />
<br />
SBY memang tak akur dengan Mega. Entah kenapa. Karena itu, sulit baginya bergabung dengan koalisi Joko Widodo yang merupakan asuhan Mega.<br />
<br />
Sementara menatap Prabowo, ia juga masih setengah rela. Anaknya, yang ditarik dari dunia militer hanya untuk mengisi posisi politik tak dilirik. Malah digantikan pengusaha.<br />
<br />
Namun, mau tak mau, SBY harus bersikap. Ia harus mendukung antara Joko Widodo atau Prabowo, jika partainya ingin mencalonkan kader sebagai presiden pada 2024. Ia tak bisa lagi beridiri di tengah secara <i>de jure</i>. Namun, secara <i>de facto</i>, ibarat pepatah, banyak cara menuju Roma.<br />
<br />
Di menit akhir batas pendaftaran bakal calon, SBY memutuskan bergabung dengan Prabowo. Ikhlas karena memang posisi tawar yang lemah. Sebagai ganti, Prabowo menjulukinya sebagai Godfather. Mentor politik di balik layar.<br />
<br />
Kita --kamu dan aku yang pernah nonton film yang dibintangi Marlon Brando-- sama-sama tahu, seperti apa sosok Godfather. Dihormati, memiliki pengaruh besar, dan yang penting sayang keluarga. Jika merasa terhina, ia hanya tersenyum dan diam-diam si penghina tak lagi bernyawa keesokan harinya. Atau paling minimal, ada saja yang celaka.<br />
<br />
Tentu saja, SBY bukan seorang penjahat kelas kakap layaknya Corleone. <br />
<br />
SBY mungkin dihormati, memiliki pengaruh besar, dan sayang keluarga. Namun ia bukan penjahat, meski disebut Prabowo layaknya Godfather.<br />
<br />
SBY hanya manusia biasa. Ketika merasa tak suka, wajar bila tersinggung dan pulang tanpa pamitan. Hal itu ditunjukkan SBY ketika deklarasi kampanye damai pada Minggu 23 September 2018 di Monumen Nasional. Bahkan, beberapa media dengan opini berlebihan, menyebutnya <i>ngambek</i>.<br />
<br />
Tapi, percayalah, lebih baik seorang Godfather <i>ngambek</i> daripada kalian semua ditunjukan betapa mengerikannya melihat pintu surga. Lebih baik melihat Godfather yang suka nge-<i>jam</i> daripada sosok Corleone yang menghadiahi kepala kuda kepada musuhnya, yang menolak permintaanya.</div>
Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-56716905426646991622018-09-19T23:17:00.000+07:002018-09-19T23:43:04.516+07:00Isu #2Dalam perjalanan yang kesiangan menuju sebuah rumah di Jalan Cemara, Menteng, Jalarta Pusat, kerumunan di jembatan mengalihkan perhatian saya. Para pengendara motor yang berhenti menunggu kereta lewat, kepala saya semua mengarah ke kiri, melihat aliran kali. Kali Ciliwung.<br />
<a name='more'></a><br />
Di sisi kiri kali dari arah jembatan, beberapa petugas sedang melongok ke gorong-gorong. Saya lantas memarkir motor di pinggir jalan layaknya jagoan. Di depan saya, seorang polisi sudah memarkirkan motornya terlebih dahulu. Saya hanya mengikutinya, merasa seperti jagoan.<br />
<br />
"Ada mayat," katanya, tentu setelah ditanya.<br />
<br />
Ketika saya cek, memang benar sesosok mayat terlihat di gorong-gorong Kali Ciliwung. Tubuhnya sudah menghitam, berbalutkan spanduk layaknya selimut. Baunya anyir, seperti sudah berhari-hari tak ada yang mengetahui.<br />
<br />
Adalah dua orang petugas taman yang menemukan mayat itu. Mereka terganggu dengan bau busuk terbawa angin, ketika membersihkan bahu Jalan Galunggung yang rindang.<br />
<br />
"Beda kan baunya sama bangke tikus," kata dia.<br />
<br />
Merasa terngganggu, dua orang itu mencari sumber bau busuk. Ketemu. Ada di gorong-gorong.<br />
<br />
Mereka tak kenal mayat itu. Memang sering orang-orang tak punya rumah dan penghasilan tetap tidur di situ, juga di kolong jembatan, kata mereka.<br />
<br />
Proses evakuasi memang dilakukan dengan cepat. Hanya sekitar dua jam sejak mayat pertama ditemukan. Mayat lantas dibawa ke RSCM menggunakan ambulans.<br />
<br />
Sementara, seorang berpakaian preman berambut cepak polisi mencari informasi dua orang saksi itu. Di sampingnya, anak-anak berpakaian seragam sekolah dasar seolah ingin mencari perhatian, memberi tahu pak polisi bahwa bau busuk telah terendus sejak hari-hari sebelumnya, ketika mereka berjalan pulang sekolah.<br />
<br />
Isunya, mengapa bisa masyarakat sekitar menganggap wajar banyak orang-orang yang tidur di gorong-gorong dan kolong jembatan, setiap hari layaknya rumah sendiri? Bukankah fakir miskin dan anak terlantar menjadi tenggung jawab negara?<br />
<br />
Ironisnya, tempat itu hanya berjarak sekira 100 meter dari kantor Komnas HAM. Tempat orang-orang paling giat mewacanakan persoalan hak asasi di Indonesia. Nyatanya, mereka di pinggir kali tetap menikmati tidur lelap berselimut selembar spanduk.<br />
<br />
Lagi, dan lagi, saya teringat diktum di halaman Facebook almarhum Cak Rusdi, "Teruslah bekerja, jangan berharap pada negara."Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-3230457782918048342018-09-17T04:16:00.000+07:002018-09-17T04:47:22.444+07:00Isu #1Dalam satu kesempatan, seorang wartawan bertanya pada salah satu kader dari partai pendukung Prabowo-Sandiaga. Pertanyaannya kira-kira begini, "Pak gimana kalau debat nanti pakai bahasa inggris?"<br />
<a name='more'></a><br />
"Yha boleh juga kali ya..," katanya seolah mengamini pertanyaan wartawan.<br />
<br />
Jadilah kita saat ini disibukkan dengan duskusi kontra-produktif, memberikan alasan semasuk akalnya mendukung dan/atau menolak debat capres-cawapres dalam bahasa Inggris. Padahal, semua sama-sama tahu hal itu muskil dilakukan. Apalagi, dalam debat capres-cawapres 2019 nanti.<br />
<br />
Sialnya, kubu sana dan sini, menjadikan itu sebagai bahan serang-menyerang, beradu argumen. Ramai. Seperti Gunung Gede kala akhir pekan menjelang.<br />
<br />
Untungnya, sebagai wartawan, saya tak ikut memainkan isu (receh) itu. Tapi ada isu lain, tak kalah jenaka, seperti jenderal takut masuk neraka, mentor politik layaknya godfather tapi pernah ditempelengi muridnya itu semasa pendidikan militer di Magelang, atawa pendukung pertahana yang lebih taat ibadah versi lembaga survei di dekat kawasan industri.<br />
<br />
Ya namanya juga isu. Cocok dijadiin gunjing-gunjing sambil ngopi segelas sampai malam, bahkan larut pagi. Teman saya, Andio yang baru saja lulus tentu senang sekali membahasnya.<br />
<br />
Diam-diam, di satu pojokan, terpidana korupsi tetep ongkang-ongkang kaki. Setelah bebas, beliau bisa nyalon lagi. Salah satunya contohnya kini, anggota DPRD DKI.<br />
<br />
Sementara kita, hanya bisa tertawa. Entah karena apa. Mungkin ada sedikit bahagia dalam tawa kita.Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-50029590869625012472018-06-11T04:03:00.001+07:002018-06-11T04:03:43.413+07:00Semua Karena Sergio Ramos<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijbJKwDF9fN7RlHR8wkP9YgOX-O8aiX6Qgnr3gE1rB8daG5N9DGkkgQcJmh_F7Ns9T13duwdMCtvIZol5_J-mBx_eAg6VYTADdXkPJeLnSo0zoeW5XEpU6QWdNysiynngJLP6U3S4jyQM/s1600/34436316_10212031677401244_1614565140999438336_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="393" data-original-width="700" height="223" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEijbJKwDF9fN7RlHR8wkP9YgOX-O8aiX6Qgnr3gE1rB8daG5N9DGkkgQcJmh_F7Ns9T13duwdMCtvIZol5_J-mBx_eAg6VYTADdXkPJeLnSo0zoeW5XEpU6QWdNysiynngJLP6U3S4jyQM/s400/34436316_10212031677401244_1614565140999438336_n.jpg" width="400" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
RAMOS. Kalah di partai final sebuah kompetisi kelas wahid di benua pusat peradaban sepakbola memang bukan hal yang mudah. Skor 3-1 mengantarkan Real Madrid membawa pulang trofi Liga Champions untuk ketiga kalinya secara beruntun, menyisakan dendam di hati para Liverpudlian. Dendam itu mengarah pada satu nama: Sergio Ramos.</div>
<a name='more'></a><br />Betapa tidak, aksi Ramos disebut-sebut menjadi biang keladi kekalahan Liverpool di final yang mereka nantikan sejak 2005 itu. Ketika pertandingan belum juga berjalan setengah jam, dalam sebuah perebutan bola, tangan Ramos mengapit lengan Mohamed Salah, menjatuhkannya, dan Salah terkapar. Kejadian itu memang sekilas nampak seperti adegan piting gulat MMA.<br /><br />Pemain muslim pujaan hati para <i>hooligans </i>Liverpool itu memang sempat melanjutkan pertandingan untuk beberapa saat. Namun, ia kembali terjatuh. Matanya berkaca. Lidah basahnya sesekali membasuh bibir yang sehabis berpuasa. Salah keluar dengan berat hati. Menangis ia karena tak bisa melanjutkan pertandingan yang dinantikan semua pecinta sepak bola itu.<br /><br />Seperti kita semua tahu, pertandingan harus terus berlangsung tanpa Salah. Laga di babak pertama berjalan sama ketat hingga turun minum. Namun, gol kelas dunia Karim Benzema pada menit 50 merupakan kunci kemenangan Real Madrid, raksasa asal Spanyol itu.<br /><br />Benzema dengan cerdik memotong bola sepersekian detik setelah dilempar oleh penjaga gawang Liverpool, Loris Karius, dan mengkonversikannya menjadi catatan nama di papan skor. Meski Sadio Mane sempat membuka asa bagi Liverpudlian, tapi sepasang gol Gareth Bale membuat mereka akhirnya terdiam hingga akhir pertandingan.<br /><br />Dua dari tiga gol Real madrid, boleh dikatakan merupakan kelalaian Karius. Entah karena gugup, grogi, nerves, atau memang tak merasa pantas berada di final, Karius tampil tak seperti biasa, kalau tak mau dibilang bermain jelek. Di ujung laga, Karius pun tak kuasa menahan tangis. Ia menunduk, untuk kemudian sadar bahwa ada pihak yang menanti pertanggungjawabannya; Liverpudlian.<br /><br />Ia terhuyung berjalan menuju tribun yang masih mengangkat syal merah, menjulurkan tangannya, meminta maaf kepada fans. Tentu, fans mau tak mau menerima permintaan maaf tersebut. Toh, mereka sudah kalah. Masuk ke lapangan dan gebukin Karius sama saja mempermalukan lagi diri sendiri. Mereka sadar, dalam setiap pertandingan final, akan selalu ada pihak yang kalah.<br /><br />Kelapangan hati dan penerimaan maaf memang diberikan untuk Karius. Tapi untuk Ramos, nanti dulu, Bung!<br /><br />Agar lebih jelas, saya sedikit uraikan latar belakangnya. Salah memang baru satu musim membela Liverpool. Namun, peran pemain yang didatangkan dari tim yang mereka kalahkan di semi final Liga Champions, AS Roma, begitu istimewa. Ia telah mencetak 43 gol bersama Liverpool, menjadi pemain terbaik Premier League, dan bahkan telah mengubah perspektif masyarakat Inggris dalam memandang kaum muslim. Banyak orang menyebut Salah sebagai calon kuat perusak dominasi superhuman Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo dalam perebutan Ballon d’Or. Final Liga Champions tentu menjadi panggung untuk membuktikan semua harapan itu, sekaligus membawa membawa trofi Champions ke hadapan publik Anfield.<br /><br />Bersamaan dengan itu, pengharapan Liverpudlian bahwa tim kesayangan mereka akan juara dibarengi dengan segala mitos-mitos tak masuk akal, seperti perkawinan Pangeran Hary dan Megan Markle hingga terpilihnya Mahathir Mohammad sebagai Perdana Menteri Malaysia. Masa lalulah yang membuat mitos itu subur. Pada 1981, Liverpool keluar sebagai juara Piala Champions (versi lawas Liga Champions), berbarengan dengan pernikahan Pangeran Charles dengan Lady Diana dan terpilihnya Mahathir sebagai PM Malaysia.<br /><br />Sayangnya, semua teori asbuntoteles Liverpudlian itu dirusak oleh aksi piting Ramos. Ya, pemain dengan rambut sok mowhawk itu! Pemain yang mematahkan tulang bahu Salah, dan membuatnya harus meninggalkan lapangan dengan air mata membasahi wajahnya. Pemain yang merusak impian Salah, dan mengancam membuatnya absen dari Piala Dunia.<br /><br />Kok tega sih Ramos berbuat seperti itu kepada Salah? Padahal kan, Salah merupakan salah satu pemain yang tak bisa dibenci, seperti juga Ronaldinho. Padahal juga, semua pertanda weton yang terjadi pada 1981 telah mirip dengan yang ada tahun ini, 2018.<br /><br />Memang, keluarnya Salah dari lapangan karena cedera memang membuat partai final pincang sebelah. Namun, Ramos, seperti hal juga bek-bek yang kasarnya bukan main macam Nesta, Materazi, Alves, dan Stam, sesungguhnya hanya melalukan pekerjaannya. Menghentikan bola, kalau perlu si pembawa bola.<br /><br />Sialnya, para fans Liverpool perlu kambing hitam untuk kekalahannya. Mereka memang telah memaafkan Karius, jadi tak mungkin memasukan nama Karius menjadi alasan. Mengakui gol hebat Benzema dan Bale, sama saja dengan mengakui Madrid lebih baik ketimbang Liverpool. Madrid boleh saja menjadi juara, tapi bukan berarti lebiperkasa dibanding The Reds. Ramos mau tak mau jadi sasaran empuk.<br /><br />Mereka percaya, Salah merupakan pemain yang dapat mewujudkan kejayaan kejayaan pada 1981. Meski mereka harus insaf, saat ini adalah tahun 2018. Meghan pun tak secantik Diana, sementara Mahathir sudah di usia senjanya. Masa para fans Liverpool masih saja berharap juara?<br /><br />Tak ada alasan lain, semua salah Ramos!Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-39224108321002871352018-05-10T20:04:00.000+07:002018-05-10T20:04:00.346+07:00Parodi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://scontent.fcgk10-1.fna.fbcdn.net/v/t1.0-9/32157231_10211884825130029_4502283675160805376_n.jpg?_nc_cat=0&_nc_eui2=v1%3AAeHFOm2TOD6y7j6-dCFuhpQKcrXETGHo71Llp7RljKeUX5b5vllvt23Mv1loUb8pt6uxmbljkuv19It09KCKlKtgQY_PQMJzpUXLLJ4iQL8V6Q&oh=17263addfa20b4873693306cd857983f&oe=5B50B019" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="800" height="400" src="https://scontent.fcgk10-1.fna.fbcdn.net/v/t1.0-9/32157231_10211884825130029_4502283675160805376_n.jpg?_nc_cat=0&_nc_eui2=v1%3AAeHFOm2TOD6y7j6-dCFuhpQKcrXETGHo71Llp7RljKeUX5b5vllvt23Mv1loUb8pt6uxmbljkuv19It09KCKlKtgQY_PQMJzpUXLLJ4iQL8V6Q&oh=17263addfa20b4873693306cd857983f&oe=5B50B019" width="400" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
Dua bola matanya tak terlihat. Hanya dua garis sedikit lengkung dengan alis pendek yang terlihat. Kacamatanya tak bulat sempurna, bahkan tak sama antara kiri dan kanannya. Sedangkan dagunya yang berbentuk setengah lingkaran, seolah berusaha mengimbangi topi copetnya yang serupa eskrim <i>cone</i>.</div>
<a name='more'></a><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
Ialah Pramodya Anantatur, parodi sastrawan besar negeri ini Pramoedya Ananta Toer yang terpajang dalam pameran “Namaku Pram: Catatan dan Arsip” di Dia Lo Gue Artspace sepanjang 17 April hingga 20 Mei.</div>
<br />Sketsa yang tak bagus-bagus amat itu berjajar di Dinding Memorabilia, satu di antara sembilan titik perjalanan pameran, memang terlihat inferior dibanding karya lainnya. Bayangkan, sketsa dua dimensi itu dipaksakan sejajar dengan karya Enrico Soekarno, Mike Marjinal, Doyok, bahkan Kolektor Reaksi, yang tingkat kesenimanannya tak perlu diperdebatkan lagi.<br /><br />Tentu, Dika Ratnasari, sang pelukis, tak berniat untuk menggambarkannya dengan gaya parodi. Saya kadung yakin, bocah yang masih duduk di sekolah dasar itu membuat sketsa pencipta ‘Tetralogi Buru’ dengan penuh penghayatan.<br /><br />Dika sekolah di Blora, kota yang sama dengan tempat kelahiran Pram. Usianya saya kira belum mencapai belasan. Namun, rasanya bocah itu justru lebih jujur dalam membuat lukisan, tanpa tedeng aling-aling.<br /><br />Dalam lukisannya itu, ia menambahkan –saya juga tak yakin dia yang menambahkan- sebuah kalimat yang diambil dari roman <i>Bumi Manusia</i>, pembuka 'Tetralogi Buru' yang sempat dilarang penerbitan juga peredarannya oleh Orde Baru. Mungkin karena saat itu ia merupakan tahanan politik yang disebut-sebut dekat dengan Partai Komunis Indonesia atawa PKI yang terlarang di negeri ini.<br /><br />Padahal, jika pemerintah mau membaca dan menghayati isi empat roman itu, sesungguhnya tak ada urusannya dengan PKI. Roman itu bercerita tentang Minke, panggilan kecil pada Tirto Adhi Soerjo yang diplesetkan dari kata monkey.<br /><br />Siapa tak kenal Tirto Adhi Soerjo? Namanya kini bahkan diabadikan menjadi nama media daring populer, yang mengusung jurnalisme data. Berkat siapa Minke menjadi tenar dan dianggap sebagai pelopor jurnalisme nasional pada hari-hari setelah kematiannya di Tenabang? Saya berani jawab karena jerih payah Pram yang mengisahkan sejarah dengan sangat asyik untuk dibaca.<br /><br />Kalimat yang dinukil Dika jelas,”Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” Kalimat itu dikutip dari <i>Bumi Manusia</i>, halaman 233.<br /><br />Saya tahu pasti Dika tak pandai-pandai amat di sekolah. Mangkanya kalimat itu yang dipilih buat pembenaran nilai-nilainya yang tak bagus-bagus amat. Untungnya, dia suka sastra. Jadilah, kalimat Pram menyelamatkannya.<div>
<br /></div>
<div>
Saya ketika masih berusia belasan, seperti juga Dika yang masih sekolah, adalah orang yang nilainya cenderung pas-pasan. Tentunya, tak begitu peduli sejarah nasional apalagi mengenal Pram. Dika mungkin masih mending karena sudah mengenal Pram.<br /><br />Coba bayangkan, siapa yang akan peduli dengan sejarah setiap ulangan yang ditanyakan melulu perkara tanggal kejadian sejarah. Momok menghapal tanggal-tanggal itulah yang membuat nilai ulangan matematika saya hampir selalu melebihi pelajaran sejarah. Meski matematika juga tak melebihi nilai pas-pasan.<br /><br />Namun, berkat <i>Bumi Manusia </i>saya mulai mengerti bahwa membaca sejarah bisa juga mengasyikkan. Saya lupa alasan saat itu membeli buku Pram. Namun saya ingat, buku Pram yang saya beli adalah Gadis Pantai bajakan di Pasar Senen dengan harga tak lebih dari setengah harga aslinya di Gramedia, meski kertasnya buram tak keruan.<br /><br /><i>Gadis Pantai</i>-lah yang membawa saya tertarik membaca karya lain milik Pram. Perlahan, sangat pelan, tapi pasti saya mulai mencintai sastra, khususnya yang bertemakan sejarah bangsa ini. Meski, saya sadar untuk mengetahui sejarah, apalagi masa depan Indonesia akan bubar pada 2030, tak cukup hanya mengandalkan karya sastra. Karena pada dasarnya, sastra hanyalah fiksi atawa fiktif yang masih terus diperdebatkan, dan hanya kekuasaan politiklah yang nyata.<br /><br />Alhirulkalam, lukisan Dika sedikit memberi tamparan. Bagaimana bisa, seorang bocah SD, yang mungkin ketika dia lahir Pram sudah tiada, bisa begitu menghargai sosok sastrawan besar Indonesia itu? Bukankah lebih dari 32 tahun Orde Baru memberi contoh sebaliknya, dengan mengirim Pram ke Pulau Buru dan membumihanguskan karya-karya Pram yang belum sempat diterbitkan?<br /><br />Sementara Dika mencoba membumi-manusiakan seorang Pram, masih ada saja orang-orang yang ingin membangkitkan, mengenang, merindukan layaknya hamba kepada Tuhan, Orde Baru. Bukankah Dika sedang menampar?<br /><br />Pertanyaannya sekarang, sampeyan merasa ditampar apa tidak? Kalau tak merasa, saya tak bisa apa-apa.</div>
Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-13109467352308765732018-05-08T17:49:00.000+07:002018-05-08T17:49:49.442+07:00Ketidakpedulian<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtLHmGpZhx3-Mefr4wakW0tPD4BF5gv1G8MsPniaTiSWcZFHwlu-tfrcozflLch4_e74wNvpo_vOlKtPBXBJFuE1ZrpVxzDZsYfUuBIaPChDbERtUbw6stRP-kJNux8MPXyULYKHv76W8/s1600/WhatsApp+Image+2018-05-08+at+4.39.36+PM.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="600" data-original-width="800" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtLHmGpZhx3-Mefr4wakW0tPD4BF5gv1G8MsPniaTiSWcZFHwlu-tfrcozflLch4_e74wNvpo_vOlKtPBXBJFuE1ZrpVxzDZsYfUuBIaPChDbERtUbw6stRP-kJNux8MPXyULYKHv76W8/s400/WhatsApp+Image+2018-05-08+at+4.39.36+PM.jpeg" width="400" /></a></div>
<div>
<br /></div>
<div>
Seperti pameran-pameran lainnya di Galeri Nasional, saya bersama rekan-rekan sepekerjaan datang lebih awal daripada pengunjung manapun untuk melakukan tur mengamati sejumlah karya. Begitu pula yang terjadi sore itu, Rabu pertama di bulan Mei, hari setelah peringatan buruh sedunia.<a name='more'></a></div>
<br />Dua kurator pameran Manifesto 6.0, A Sudjud Dartanto dan Citra Smara Dewi, telah di depan lobi Gedung A, memimpin rombongan kami yang sudah berkumpul. Sebelum mereka berdua berbicara, teman saya yang brengsek, membisikkan sesuatu pada saya;<br /><br />"<i>Lu </i>percaya <i>gak kalo </i>setiap orang di dunia ini punya kembaran? <i>Gue </i>baru <i>aja liat </i>kembaran <i>lu</i>," katanya sambil tertawa.<br /><br />Tak lama, ia kembali berbisik dengan teman lainnya. Sambil tertawa pula sesudah melihat saya. Saya pun melihat sosok yang dibilang kembaran saya itu. Berkaus kuning, rambutnya panjang dikuncir, dengan warna kulit kecokelatan. Memang sekilas mirip. Tapi saya enyahkan pikiran itu sambil tersungut-sungut pada teman saya.<br /><br />Tampang orang itu memang tak seperti rombongan kami yang biasa datang ke Galnas. Saya pun hakulyakin dia seniman yang ikut pameran Manifesto.<br /><br />Arahan Sudjud dan Citra mengalihkan kekesalan saya sementara. Dua kurator itu mengajak kami semua ke Gedung D. Di gedung itu, ada beberapa karya yang menarik. Salah satunya adalah "Wakare Karaoke", instalasi ruangan karaoke yang menyajikan lagu perlawanan terhadap imperialisme Jepang di tujuh desa sekitar Jatiwangi, karya Dito Yuwono.<br /><br />Tak ketinggalan, karya salah satu seniman panutan saya the Popo dengan karyanya yang berjudul "Kutub Politik". Cukup pas untuk tempat <i>selfie</i>.<br /><br />Namun, jika harus memilih satu juara dalam pameran itu --meski kita sama-sama tahu penilaian tentang seni adalah soal selera dan latar belakang manusia dalam memahaminya-- adalah karya multidimensi berjudul "Perkalian", yang sialnya dibuat oleh "kembaran" saya itu. Belakangan saya tahu namanya Fajar Kunting.<br /><br />Sebagai bentuk penghormatan sekaligus kekaguman saya akan karyanya, saya ceritakan sesuai cerita Fajar kepada rombongan saya dan teman-teman yang datang.<br /><br />Alkisah, Fajar melakukan <i>performance art </i>di kali yang biasa menjadi tempat segala macam buangan warga sekitar. Kalau saya tak salah dengar, Kali Code di Yogyakarta.<br /><br />Hari pertama, ia datang bermodalkan sepeda dan wajan besar. Sekonyong-konyong, ia mulai melakukan aksinya, menggoyang-goyangkan wajannya di tengah sungai, layaknya penambang emas tradisional mencari serpihan logam mulia berwarna kuning itu. Padahal semua orang tahu Kali Code tak ada emasnya. Karena itulah, masyarakat sekitar menganggap gila si Fajar itu. Rambut gondrong dan kulitnya yang kecokelatan, semakin melegitimasi anggapan masyarakat sekitar.<br /><br />Namun Fajar cuek <i>blas</i>. Malahan, hari kedua ia datang dengan status yang tak lagi kere-kere amat. Melainkan mengendarai sepeda motor berpelat putih --istilah darinya dan sampai kini saya tak tahu arti pelat putih.<br /><br />Semakin hari, status sosial si seniman seolah terangkat. Hari-hari berikutnya ia bahkan datang dengan membawa karyawan. Para karyawan itu dibayar dengan rupiah sungguhan. Hingga puncaknya di hari kesembilan, pemuda sekitar pun mulai ikut "menambang". Si seniman pun merekam aksinya dalam video dan menyebarkannya ke media sosial. Dari situlah, lebih banyak lagi orang yang percaya bahwa Kali Code mengandung emas. Padahal, tak sekalipun Fajar menunjukan wujud emas dalam aksinya.<br /><br />Namun nahas, pada hari ke-15, ia dicomot oleh warga sekitar. Alasannya? Warga merasa kehilangan kali yang selama ini milik mereka. Namun, bukankah warga selama ini justru mencampakkan kali itu, dengan membuang apa saja ke aliran yang bermuara ke lautan?<br /><br />Akibat dicomot paksa lalu disidang warga itulah, Fajar tak bisa menyelesailan misinya untuk melakukan penambangan menggunakan wajan besar di tengah kali. Ia terpaksa menyerah lima hari lebih cepat dan mengaku bahwa semua itu hanya dilakukan demi hasrat keseniannya.<br /><br />Di Gedung D, Galeri Nasional, karya Fajar berupa video dan foto-foto proses "penambangan emas" dan artefak yang ia temukan selama 15 hari pulang-pergi merendam diri di tengah kali. Fajar, seniman yang dibilang mirip saya itu, seolah ingin memberi tahu;<br /><br />Jika kepedulian dalam bentuk nasihat-nasihat usang tak lagi bisa mengubah kebiasaan yang sudah mendarah-daging dalam pikiran manusia. Lawanlah ketidakpedulian dengan ketidakpedulian lainnya, yang tentu saja perlu dibungkus dengan selera seni yang kelas wahid. Bukan dengan ketidakpedulian layaknya aparat menggusur paksa perumahan warga.<br /><br />Sekadar informasi, Fajar menamai prosesnya sebagai metode kerja intelijen. Ironis memang, tapi itulah faktanya.<br /><br />Narasi yang coba dibangun Fajar memang sangat menarik. Dan teman yang tadinya cengangas-cengenges ketika meilhat saya berdekatan dengan Fajar, akhirnya mau tak mau ikut terpukau.<br /><br />Kalau penasaran, datanglah sendiri ke pameran dua tahunan yang masih berlangsung selama belum masuk bulan puasa.Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-32542574575360443392018-05-08T17:39:00.000+07:002018-05-08T17:39:14.176+07:00Ayunan<br />
<div class="_3x-2" data-ft="{"tn":"H"}" style="-webkit-text-stroke-width: 0px; background-color: white; color: #1d2129; font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 12px; font-style: normal; font-variant-caps: normal; font-variant-ligatures: normal; font-weight: 400; letter-spacing: normal; orphans: 2; text-align: start; text-decoration-color: initial; text-decoration-style: initial; text-indent: 0px; text-transform: none; white-space: normal; widows: 2; word-spacing: 0px;">
<div data-ft="{"tn":"H"}" style="font-family: inherit;">
<div class="mtm" style="font-family: inherit; margin-top: 10px;">
<div style="font-family: inherit; position: relative;">
<div class="" data-ft="{"tn":"E"}" style="font-family: inherit;">
<a ajaxify="https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10211813211979745&set=a.4846390951646.1073741826.1053065455&type=3&size=713%2C720&source=13&player_origin=story_view" class="_4-eo _2t9n _50z9" data-ft="{"tn":"E"}" data-ploi="https://scontent.fcgk10-1.fna.fbcdn.net/v/t1.0-9/31381261_10211813212019746_1011026690068971520_n.jpg?_nc_cat=0&oh=0ed7578ab95603d731f1b92c07010617&oe=5B5A299C" data-render-location="permalink" href="https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10211813211979745&set=a.4846390951646.1073741826.1053065455&type=3" rel="theater" style="box-shadow: rgba(0, 0, 0, 0.05) 0px 1px 1px; color: #365899; cursor: pointer; display: block; font-family: inherit; position: relative; text-decoration: underline; width: 476px;"></a></div>
</div>
</div>
</div>
</div>
<br />
<div style="text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiz9EkULWOO_ZJOFqJ1VdXpFHgN3INrMIdZmEylj-3GE5NcwaIfy3eqx9FbEWBik05nhTn7Pn_MYB2Ep3qPaxBkbookeI0q-uI6KPf030YFvGY-HThOkFaPvWo76yONFWCTFwKkt8msEQo/s1600/31381261_10211813212019746_1011026690068971520_n.jpg"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiz9EkULWOO_ZJOFqJ1VdXpFHgN3INrMIdZmEylj-3GE5NcwaIfy3eqx9FbEWBik05nhTn7Pn_MYB2Ep3qPaxBkbookeI0q-uI6KPf030YFvGY-HThOkFaPvWo76yONFWCTFwKkt8msEQo/s320/31381261_10211813212019746_1011026690068971520_n.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
Di beranda Facebook saya, beberapa teman menyebarkan video seorang bapak menendang anak-anak. Mungkin <i>klean </i>sudah nonton videonya. Mungkin juga belum. Biar nambah panjang tulisan, biarlah saya gambarkan isi videonya dengan kata-kata, alih-alih menyebarkan videonya.<a name='more'></a></div>
<br />Alkisah, ada dua anak, yang satu berbaju biru dan satunya memakai baju yang warnanya kolaborasi antara putih dengan krem, bermain ayunan dengan kencangnya, maju mundur. Mungkin mereka sedang membayangkan menjadi Marquez dan Rossi memacu gas di sirkuit Sentul.<br /><br />Wajar, itu area taman bermain. Di taman bermain anak-anak, imaji memang diperlukan. Kita, saya dan<i> klean</i>, pasti mahfum betul betapa senang menjadi anak yang berimaji, ketika saat ini sudah tak ada lagi waktu untuk melakukannya. Waktu kita hanyalah untuk kerja, kerja, dan sesekali bercinta.<br /><br />Bahkan, di samping mereka bermain, sekerumunan ibu-ibu gemes, eh ibu-ibu muda, dengan santai masih bersenda gurau melihat adegan balapan itu. Tak ada yang aneh mungkin dari pemandangan dua anak yang bermain sepasang ayunan itu, sepasang anak yang berimajinasi menjadi Marquez dan Rossi.<br /><br />Nahas, sesosok anak yang lebih kecil, berbaju merah muda, sekonyong lewat belakang ayunan anak si berbaju biru (sebut saja Marquez) yang sedang dipacu kencang. Kepalanya terhantam, jatuh, dan tentunya menangis. Ibu-ibu muda yang berkerumun di samping terperangah, tak sempat melepaskan bokong mereka dari tempat sandarannya. Hanya bisa melihat dan mungkin tanpa sadar mengucap "aaa".<br /><br />Sebelum "aaa" itu tertutup kembali, datang seorang lelaki dewasa bak pahlawan, tapi merusak imaji anak-anak. Ternyata lelaki itu adalah ayah dari anak berbaju merah mudah yang kepalanya terhantam ayunan.<br /><br />Tendangan sepak langsung ia luncurkan kepada Marquez. Tak begitu kencang, tapi tepat sasaran. Si Marquez pun menangis, meminta pertolongan ibunya. Ibu Marquez tentu membela anaknya, yang ditendang. Alhasil, konflik anak kecil yang penuh imaji berubah menjadi konflik antar orang tua yang berakhir di meja sekuriti.<br /><br />Saya belum punya anak, karena itu saya tak berhak menghakimi tendangan si bapak kepada Marquez. Mungkin, jika itu anak saya, saya juga akan melakukan tendangan telapak sepatu tersebut karena cinta kepada anak. Mungkin juga tidak melakukan tendangan karena Marquez itu sama seperti anak saya, sama-sama anak-anak. Atau kemungkinan lainnya yang lebih parah, saya tak ada di situ karena sedang bekerja. Pokoknya hidup untuk kerja. Kerja kayak kera, seperti kata Buya Hamka.<br /><br />Namun, saya pernah menjadi anak-anak. Betapa tak enaknya memang, jika imaji kita dicampuri dunia orang dewasa. Contohnya, kelas enam atau lima sd saya pernah berimajinasi jadi jagoan, bolos sekolah dan pergi putar-balik Bogor-Jakarta naik kereta di atas. Seperti jagoan kan?<br /><br />Kebiasaan naik kereta di atas memang lumrah bagi anak-anak yang besar di awal era milenium dan tinggal dekat stasiun kereta sepanjang Jakarta Kota sampai ke Bogor. Tentu sekarang sudah tak mungkin lagi anak-anak merasakan itu. Silakan lampiaskan kemarahan kepada Jonan yang membuat sistem KRL seperti mengangkut ikan teri. Tak ada lagi angin nikmat sepoi-sepoi yang bisa dirasakan kala duduk di atas kereta yang berjalan dengan kecepatan puluhan km/jam.<br /><br />Nah, hari itu memang hari sial. Pertama kali bolos sekolah, jalan-jalan naik kereta di atas pula, ternyata ketahuan bapak saya. Pasalnya, ada seorang tetangga, orang dewasa tentunya, yang melihat saya ada di atas kereta, di Stasiun Tebet, padahal hari sekolah dan masih pagi-pagi.<br /><br />Mungkin ia melapor ke bapak saya yang tentara. Laporan itu tentu diverifikasi dengan mengecek kehadiran saya di sekolah. Ternyata benar, saya tak ada. Padahal dari rumah, saya berangkat dengan pakaian lengkap dan uang jajan yang selalu tak lebih dari 700 rupiah.<br /><br />Saya tak akan cerita apa yang dilakukan bapak saya yang tentara. Biar <i>klean</i> berimajinasi. Sekadar info saja, saudara sekaligus tetangga saya, yang usianya dua tahun lebih tua dari saya, konon pernah diborgol di tempat tidur oleh bapaknya yang juga tentara. Alasannya? Jelas karena dia tak mau tidur siang. Ia lebih pilih bermain, mengasah imajinasi di dunia luar. Dunia yang memang kejam adanya.<br /><br />Sejak saat itu, saya sadar dan menanamkan kesadaran itu dalam-dalam, bahwa dunia anak akan sangat kacau kalau diintervensi dengan ketakutan-ketakutan orang dewasa yang belum tentu benar. Ya, memang naik kereta di atas taruhannya nyawa, toh saya belum mati sampai hari ini.<br /><br />Meskipun pernah juga mengalami momen takut mati saat naik kereta di atas. Saat ditimpuk batu oleh anak STM Bunda Kandung di Poltangan setiap sore hari sehabis jalan-jalan dari Kota, misalnya. Atau ketika terlambat naik ke atas dan kereta terlanjur jalan, dan saya harus berdiri di luar pintu kereta yang tak bisa terbuka antara Depok Lama hingga Citayam. Rasanya mau nangis, pasrah jatuh lalu mati. Tapi, sekali lagi, ketakutan itu tak bisa membunuh saya.<br /><br />Namun, yang membunuh imajinasi adalah ketakutan yang ditanamkan orang tua pada kelakuan saya, kelakuan yang bersumber pada imaji menjadi jagoan. Sampai akhirnya, saya tak bisa jadi jagoan. Malah jadi wartawan.<br /><br />Intinya, sebagai suara dari anak-anak yang kehidupannya penuh imanjinasi, saya hanya ingin menyampaikan, "Orang tua, pandanglah kami sebagai manusia. Kami bertanya, tolong kaujawab dengan cinta. Ho oio..."Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-84572568001602094512018-01-15T20:40:00.000+07:002018-01-16T01:41:08.168+07:00Konser Liam, Transfer Playmaker, dan Kekalahan City<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3HAxh_JlE20XusfvfWZ_cwpHa9pcd7WibOeV4rK2lc6-ca7l84XpxJk8XdXgxWAPhZEe__bj9ZFROflzE7e4OjFI4Md85DGENIxAd08_awWkgBEGKVh5JnyR0AQ__07MRwkx2HC7cbdY/s1600/liam.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="391" data-original-width="594" height="262" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3HAxh_JlE20XusfvfWZ_cwpHa9pcd7WibOeV4rK2lc6-ca7l84XpxJk8XdXgxWAPhZEe__bj9ZFROflzE7e4OjFI4Md85DGENIxAd08_awWkgBEGKVh5JnyR0AQ__07MRwkx2HC7cbdY/s400/liam.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Noel dan Liam. (Foto: Istimewa)</td></tr>
</tbody></table>
Sekitar 12 hari sebelum konser mantan berandalan Oasis digelar di Jakarta, Agustus 2017, berita kontroversial datang. Liam Gallagher batal konser karena salah atur jadwal. Padahal ketika itu di tempat saya bekerja, teman saya Ricad Saka telah mem-<i>booking </i>untuk meliput konser itu. Karena batal, ia pun tak kesampaian menonton idolanya yang merusak gitar kakaknya dan menyebabkan bandnya yang melegenda bubar.<br />
<a name='more'></a><br />
Berselang beberapa bulan, Ricad mengundurkan diri dan pindah kerja. Artinya, jatah meliput Liam yang ada di tempat saya bekerja tak mungkin jatuh ke tangan Ricad lagi. Bayangkan perasaannya, sudah bersiap meliput tapi harus digagalkan karena idulanya yang salah atur jadwal. Brengsek benar si Liam.<br />
<br />
Lama tak terdengar kabar darinya, hingga tiba-tiba kabar penting yang tentu saja bukan dari teman saya datangnya. Kabar penting itu datang pada sebuah malam yang tenang. Dari sebuah akun ofisial kabar tentang sepakbola di Line, saya mendapat sebuah video. Video tersebut hanya berdurasi 22 detik. Singkat memang, namun menohok.<br />
<br />
Sebuah ruang ganti dengan kostum Barcelona di dalam loker terlihat menganga tanpa nama. Loker itu kemudian tertutup dengan sendirinya, dan tak lama kembali terbuka itu perlahan dengan kostum utama Barca itu tertulis nama Coutinho. Secara semitika sudah jelas terpampang, Barca berhasil membawa playmaker Liverpool itu ke Camp Nou.<br />
<br />
Memang tak mengejutkan bila tim sekelas Barca bisa menggaet gelandang berpaspr Brasil itu. Keduanya telah dikaitkan akan menjalin kisah bersama oleh berbagai media. Meski tak terlalu membuat dunia syok, tetap saja transfer itu menjadi berita besar, dan menyedihkan bagi Liverpudlian yang sudah bela-bela beli <i>jersey </i>yang tertulis nama COUTINHO.<br />
<br />
Bayangkan, video itu mulai beredar tak berlelang lama setelah tim kesayangan mereka memenangi Derby Merseyside di lanjutan Piala FA. Rasanya seperti menaiki tornado, diterbangkan ke atas, lalu dibiarkan jatuh hingga jantung tak kuasa <i>nyesss.</i><br />
<br />
Apa boleh buat, intisari telah menjadi agar-agar. Dikonsumsi pun sudah tak berkhasiat lagi. Fans tim pelabuhan itu hanya bisa gigit jari, sambil diam-diam menikmati uang ganti rugi yang dikeluarkan manajemen The Reds. Manajemen menawarkan <i>voucher </i>sebesar £50 untuk pemilik kaus Coutinho yang dibeli di gerai resmi atau melalui situs Liverpool, setelah proses transfer ini selesai sepenuhnya.<br />
<br />
Sudilah kita meninggalkan sesaat tentang drama transfer Liverpool ke Barca dan kembali melihat sejenak persiapan penampilan Liam di Jakarta pada 14 Januari 2018. Di baliho-baliho, besar terpajang tampang Liam yang tak enak dipandang. Di atanya, tulisan besar: Playmaker disematkan. Teman saya yang lain Heri Susanto, penggemar britpop dan Mancherter City menyebutnya sebagai iklan rokok Gudang Garam. Saya tak tahu pasti. Yang jelas, tulisan Playmaker itu seolah-olah ingin mengejek Liverpool yang baru saja kehilangan gelandang kreatifnya.<br />
<br />
Jika memakai teori Asbuntoteles, wajar seorang Liam yang sejak lahir adalah penggemar Manchester Biru mengejek Liverpool. Tanya kenapa? Untuk kali pertama, Si Merah akan bertanding setelah Coutinho secara resmi meninggalkan Anfield. Tepat pada hari konsernya di Jakarta, setelah ditunda berbulan-bulan akibat kebodohannya mengatatur jadwal, tim yang kehilangan pemain dan mendapatkan tumpukan uang itu akan berhadapan Menchester City, penguasa sementara Liga Inggris itu. Psywar adalah hal yang lumrah, bagi pelatih, penggemar, apalagi seorang berandal seperti Liam.<br />
<br />
Terlepas dari semua psywar sebelum pertandingan dan konser mantan vokalis Oasis itu, Liam berhasil membawakan lagu-lagunya yang terangkum di albym <i>As You Were </i>dengan meriah. Nyata, teriakan <i>encore </i>penonton bukan meminta Liam menyanyikan lagunya, tapi lagu kakaknya semasa dia masih bersama bertubuh Oasis.<br />
<br />
Nahasnya lagi, psywar Liam sebelum konser, yang juga dilanjutkan dengan adanya fans membawa syal Manchester City saat menonton konser, tak membuat tim asuhan Pep Guardiola menang. Liam harus meratapi kekalahan dramatis 4-3 di kandang Liverpool, kota di mana kelompok musik yang menginspirasi mereka lahir, The Beatles. Peratapan yang dalam setelah konser meriah di Jakarta, tanah yang jauh dari tempat kelahirannya.<br />
<br />
Nyatanya, Liverpool tanpa Coutinho baik-baik saja. Namun tidak untuk Liam tanpa Oasis, yang terlihat seperti manusia kehilangan pesonanya. Sayang, saya tak melihat langsung bagaimana kesalnya dia saat penonton meminta <i>encore </i>lagu-lagu Oasis. Kalau saya lihat, pasti saya foto mukanya.Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-39617604772485537442018-01-07T21:37:00.000+07:002018-01-07T22:18:40.618+07:00Menikmati Seni dan Ucapan Terima Kasih Setelah Kencing<div style="text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFvppFoYzZGE3MA4UXSPdOuvPrpvW4YIr9ciJqZP6LM7ne_fEGV43c8FfRa3lJnu8JWBgmQWNkhZWeS2n3pFSTP0nFN8ftogZD3ChkO4ATv4_-or9OOHAAbMWNK75b15XKVtOg34QjdSU/s1600/WhatsApp+Image+2018-01-07+at+8.22.47+PM.jpeg"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFvppFoYzZGE3MA4UXSPdOuvPrpvW4YIr9ciJqZP6LM7ne_fEGV43c8FfRa3lJnu8JWBgmQWNkhZWeS2n3pFSTP0nFN8ftogZD3ChkO4ATv4_-or9OOHAAbMWNK75b15XKVtOg34QjdSU/s400/WhatsApp+Image+2018-01-07+at+8.22.47+PM.jpeg" /></a></div>
<br />
<span style="font-family: inherit;">Hari terakhir di 2017. Rengekan Siti Annisa dari sebulan sebelumnya berhasil membuat saya tak sempat meletakan badan di tempat tidur nyaman, di lantai dua kamar berantakan yang ada gambar Che Guevara-nya. Dari sebulan lalu, dia terus mengajak untuk ke Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN). Saya terpaksa tak tidur, menemaninya, menjadi orang paling <i>artsy </i>di muka bumi dengan berfoto di “Infinity Mirrored Room – Brilliance of the Souls” milik Yayoi Kusama.</span><br />
<a name='more'></a><br />
<span style="font-family: inherit;">Sejak dibuka pada 7 November, seperti namanya, Museum MACAN memang dikhususkan untuk seni modern dan kontemporer. Sebanyak 90 koleksi dari 70 seniman yang dihadirkan di ruangan yang luasnya sebesar lapangan bola itu. Salah satu yang mencuri perhatian tentu saha karya milik Yayoi Kusama. Sejak dibuka, karya yang dibuat pada 2014 itu memang sering muncul di Instagram.</span><br />
<span style="font-family: inherit;">Kepopuleran karya itu dibuktikan dengan antrean yang sangat panjang untuk memasuki ruangan tanpa batas itu. Antrean yang lebih panjang daripada berjajar saat ingin menaikin wahana di Dufan. Pasalnya, untuk bisa menikmati karya Kusama itu, saya harus masuk dulu ke dalam ruangan sebesar 4x4 meter itu.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Saya melihat seorang bapak tua bersama istrinya masuk ke dalam, dan keluar dengan tergesa-gesa. Ketika si istri masih berswafoto di sana-sini, bapak tua itu pergi ke jendela kaca yang di depannya terbentang kemacetan Jalan Panjang Kebon Jeruk menjelang pergantian tahun. Ia memandang keluar, seolah ingin menampar orang-orang yang antre berjam-jam untuk masuk ke ruangan tak terhingga dan berkata, “Inilah seni yang sesungguhnya. Kemacetan, jalan, dan senja. Setiap orang bisa menikmati tanpa harus mengantre.”</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Setelah 1,5 jam mengantre, baru saya berada di depan puntu masuk ke dalam karya seni yang sedang hip itu. Namun, di dalam ruangan Kusama, waktu hanya dibatasi 20 detik. Menikmati karya seni dalam 20 detik, pacar saya mengabadikannya dalam tiga foto. Tak lama, pintu digedur dari luar dan kami pun di suruh pergi. Masih banyak yang mengantre.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Instalasi karya Kusama memang menarik. Puluhan polkadot yang tergantung terpantulkan di antara kaca-kaca yang ada di dalamnya dan air di bawah pijakan, membuat ruangan itu seperti tak terhingga. Namun, waktu 20 detik di dalam “Infinity Mirrored Room – Brilliance of the Souls” tentu sangat tidak cukup untuk menikmatinya. Lantas, saya mengikuti jejak bapak tua yang sebelumnya, melihat ke arah jendela. Benar, pemandangan dari atas lantai lima itu memang tak kalah menarik dari karya Kusama. Apalagi, saya tak perlu mengantre untuk melihatnya.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Tak ada yang salah dengan karya instalsi Kusama. Sama sekali tidak. Karyanya memesona. Hanya saja, antrean yang panjang dan waktu pelit yang diberikan sudah kadung membuat <i>mood </i>saya rusak. Alih-alih menikmati, saya justru antipati. Sekali lagi, bukan pada Yayoi. Tapi keadaan. Keadaan di tengah-tengah kumpulan para <i>artsy</i>.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOL3AYaUl6k7UQ83QXmDD0bs9OgpVmomZE6pFT_Bm8hXo6K6EYXfRHn71mUd58mD-KORgEEMUhKkNJ2BtJgUHB7KxfNxShI_zUlGlxO_WsGSiEYaxbFp3OVF-vfYkapAujSmaMWRZ8YcY/s1600/20171231_173926.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1600" data-original-width="1200" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgOL3AYaUl6k7UQ83QXmDD0bs9OgpVmomZE6pFT_Bm8hXo6K6EYXfRHn71mUd58mD-KORgEEMUhKkNJ2BtJgUHB7KxfNxShI_zUlGlxO_WsGSiEYaxbFp3OVF-vfYkapAujSmaMWRZ8YcY/s400/20171231_173926.jpg" width="300" /></a></div>
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Meski begitu, Museum MACAN tetap layak dikunjungi. Selain karya Yayoi yang hip, ada banyak karya lainnya yang begitu nikmat untuk dipandangai. Saya memotret beberapa karya, di antaranya “Ngaso” (1964) karya S Sudjojono dan lukisan H Widayat berjudul “Menonton Sepak Bola” (1981).</span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuZvUP925hfhpCLwsKKQPPyDSZuELE2Qwf83qW6lYjJ-6vDcH-xwlADbZioZHi6ZGMeFN_PtTcfmh5hV7dD3b8h04dmGU72XXywdkx91RB7lTp_HTLMo2pkJ6SjI9I0hd2hgfdvbJ19Dw/s1600/20171231_174600.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1600" data-original-width="1200" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuZvUP925hfhpCLwsKKQPPyDSZuELE2Qwf83qW6lYjJ-6vDcH-xwlADbZioZHi6ZGMeFN_PtTcfmh5hV7dD3b8h04dmGU72XXywdkx91RB7lTp_HTLMo2pkJ6SjI9I0hd2hgfdvbJ19Dw/s320/20171231_174600.jpg" width="240" /></a></div>
<br />
<span style="font-family: inherit;">Melalui lukisan Sudjojono, saya melihat para laskar pejuang yang ternyata juga manusia. Di balik bangunan yang hampir roboh, para laskar itu bergunjing, ada pula yang berjaga dan tidur beralaskan tanah. Sementara lukisan Widayat, saya menjadi tahu kalau sepak bola memang sudah populer sejak nenek moyangmu belum bisa berjalan. Betapa tidak, pohon dengan ranting kecil itu penuh dengan manusia-manusia yang tak kebagian tempat di pinggir lapangan.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Akhir tahun 2017 memang mengesankan. Tak tidur seharian membuat saya begadang hingga tahun baru datang. Sayang, pacar saya sudah harus pulang tanpa menikmati momen-momen manusia menciptakan polusi cahaya di Jakarta. Warung kopi, ada tempat terakhir yang saya kunjungi demi menyambut tahun Anjing Tanah.<br /> </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Di Tahun 2018 ini, kesenian sepertinya akan lebih banyak menghampiri saya dari kehidupan sehari-hari ketimbang terus nongkrong di galeri. Baru empat hari berjalan, 2018 memberi kejutan seni yang luar biasa. Di lantai LG Pasific Place, setelah menyelesaikan sedikit urusan bisnis, kandung kemih sudah mengembang. Melihat petunjuk arah, saya menghampiri sebuah toilet yang beraja di sudut ruangan.<br /> </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Ketika memasukinya, seorang bapak paruh baya menyapa saya. Selamat sore, katanya. Saya balas dengan senyuman. Setelah kecing di kloset berdiri dan menekan tombol penyiram air, ia kembali mengucapkan sesuatu. Terima kasih, ucapnya.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Dalam hati, ini adalah bentuk seni yang sesungguhnya. Ketika di terminal atau tempat-tempat umum, sekali kecing di tempat sederhana, kalau tak mau dibilang kotor, harus merogoh kocek Rp 2 ribu. Di tempat ini, kecing di ruangan bersih nan mewah justru mendapat ucapan terima kasih.</span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Saya tak sempat membalas ucapannya. Hanya sedikit senyum lalu pergi. Peradaban di 2018 ternyata telah jauh berlari di luar kendali.</span>Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-62348799862900720262017-12-24T06:32:00.000+07:002018-01-07T22:31:20.652+07:00Semalam Suntuk Berdansa di Panggung DWP<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEig_1Bzt3Kon-AMMhf_vDnFc6LxTKItF4ZA4ouL1bUMglPg1pps-LnA_IfAkVuPI9doIYlj0887O2Wq2YVkQoCxguiUlaIreG6fXoh7X0XsNQJ1hnz-fgTwTp7SVclNvCn5khOexe17MRo/s1600/IMG_4959.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEig_1Bzt3Kon-AMMhf_vDnFc6LxTKItF4ZA4ouL1bUMglPg1pps-LnA_IfAkVuPI9doIYlj0887O2Wq2YVkQoCxguiUlaIreG6fXoh7X0XsNQJ1hnz-fgTwTp7SVclNvCn5khOexe17MRo/s400/IMG_4959.JPG" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Atraksi Steve Aoki di panggung Garuda Land, DWP 2017.</td></tr>
</tbody></table>
Jika pada malam pertama nama-nama DJ beken seperti Marshmello, Flume, Zatox, David Gravell, hingga Tiesto, tampil memukau di paggung Garuda Land, Cosmic Station, dan Neon Jungle, Djakarta Warehouse Project (DWP) 2017, malam kedua DWP panggung Cosmic Station diubah menjadi Live Etc dan Neon Junggle menjadi Elrow Psichedelic Trip. Sementara panggung utama Garuda Land tetap berdiri kokoh di luar ruangan untuk tampilnya nama-nama besar seperti King Chain, W.W, DVBBS, Galantis, Steve Aoki, hingga Hardwel.<a name='more'></a><div>
<br />
<div>
Dua panggung, Live Atc dan Elrow memulai aksinya secara bersamaan, tepat pukul 17.05 musik sudah menyala dan penonton mulai bergoyang bersama. Adalah Audryg di panggung Live Etc dan Marinn yang membuka pemanasan pesta musik elektronik terbesar di Asia Tenggara pada malam kedua itu. Sementara panggung utama Garuda Land baru memulai aksinya satu jam setelahnya, dengan menampilkan Moe sebagai line up pertama sore itu.<br />
<br />
Semakin malam, massa yang verdatangan pun semakin banyak. Silih berganti penampilan para artis-artis King Chain, Iyal Noor, DJ Yaksa, Stan, Hudi, Andre Dunant, Higher Brothers, W.W, Keith Ape, Yesterday Afternoor Boys, hingga Marc Maya, tak hentinya membuat kepala bergoyang.</div>
<div>
<br />
Hingga pada pukul 23.35 aksi Rich Chigga di panggung Live Etc membuat penonton mulai terkonsentrasi di satu titik. Rich Chigga memang merupakan salah satu artis yang paling di tunggu di panggung DWP hari kedua itu. Dan benar saja, penampilan pria bernama asli Brian Immanuel ini langsung menghentak panggung dengan lagu "Back At It".<br />
<br />
Rapper asal Indonesia itu memang telah melangalang buana ke berbagai festival musik di dunia. Tak heran, banyak mata menanti kepulangannya. Namanya pun selalu diteriakan oleh para penonton yang hadir malam itu.<br />
<br />
Kemeriahan itu pula yang membuat lantai dansa semakin bergeliat. Semua bergoyang di bawah dentuman musik kencang yang memenuhi ruangan malam itu. “Indonesia aku sayang kalian. Aku rindu kalian,” teriak Chigga dari atas panggung.<br />
<br />
Belum selesai kegirangan penonton menyaksikan penampilan Chigga, Live Etc segera menampilkan satu lagi jagoannya, Desiigner. Sama seperti Chigga, Desiigner pun mengghentak penonton mulai dari lagu pertama.<br />
<br />
“Mari kita ramaikan pesta ini. Semua melompat,” teriaknya di atas panggung Live Etc.<br />
<br />
Ajakan rapper asal Amerika Serikat itu langsung diamini oleh para penonton. Lantai dansa pun serasa bergetar akibat kemeriahan itu. Bahkan, Desiigner sampai terjun ke penonton untuk bisa berdansa bersama di bawah. Semua pun hanyut dalam nada-nada rap yang dibawakan.</div>
<div>
Penampilan atraktif Desiigner tak henti hanya sampai di situ, dia bahkan mengajak salah satu penonton dari bawah untuk begoyang bersamanya di atas panggung. Suasana yang telah memasuki dini hari itu semakin terasa panas. Puncaknya adalah ketika Desiigner membawakan lagu hits-nya, "Panda". Semua bergoyang. Semua berdansa.<br />
<br />
Panggung Live Etc memang bukan satu-satunya yang menawarkah kemeriahan. Di panggung Elrow, nuansa psikedelik yang penuh warna juga menghanyutkan penonton untuk terus bergoyang. Saat itu, Chelina Manuhutu sedang tampil di atas panggung yang didesain menyerupai mobil klasik VW Combi. Semntara di arena, luapan kertas berwarna-warni jatuh menemani penonton bergoyang.<br />
<br />
Tak hanya itu keabsurdan yang ditawarkan panggung Elrow, berbagai properti semacam boneka ikan hiu, gurita, orang tinggi, hingga ondel-ondel, masuk ke dalam arena ikut bergoyang bersama penonton.</div>
<div>
Panggung Elrow memang merupakan special stage yang disiapkan panitia pada DWP 2017. Panggung yang dihadirkan dari touring concept asal Barcelona bernama ini memiliki konsep khasnya, Psychedelic Trip’ lengkap dengan dekorasi dan tata produksi spektakuler. Kehadiran Elrow di DWP 2017 menjadi kali yang pertama Elrow di benua Asia.<br />
<br />
DWP 2017 yang digelar pada 15-16 Desember di Jiexpo Kemaroyan, Jakarta, memang banyak menawarkan hal baru bagi para pecintanya. Tahun ini, DWP untuk pertama kalinya juga menampilkan genre hip-hop dengan kehadiran rapper Desiigner dan rapper-rapper Asia dari kolektif 88rising yaitu Rich Chigga, Higher Brothers, Keith Ape, dan Joji.<br />
<br />
Meski begitu, antusiasme penonton tak berkurang sedikitpun. Bahkan, salah satu penonton yang datang malam itu, Arini, justru lebih penasaran dengan kehadiran para rapper yang memanaskan suasana DWP 2017. Ia mengatakan, dengan adanya genre hip-hop DWP 2017 menjadi lebih variatif dan memiliki banyak pilihan.<br />
<br />
Line upnya lucu-lucu dan keren keren. Gue mau liat Rich Chigga. Itu salah satu yang bikin penasaran. Karena kan dia <i>booming </i>banget di luar, jadi pas dateng ke DWP, ya harus nonton,” kata perempuan berusia 25 tahun itu.<br />
<br />
Sementara itu, bagi Murni, meskipun kehadiran para rapper mendominasi pada hari kedua DWP, ia tatap manantikan satu orang yang tak asing agi di dunia DJ, Hardwell. Penantian Murni memang bukan tanpa sebab. Pasalnya, Hardwell merupakan satu di antara empat DJ terbaik di dunia.<br />
<br />
“Tahun ini lebih banyak variasinya memang, tapi aku tetap menantikan Hardwell,” ungkapnya.<br />
<br />
<b>Atraksi Aoki dan Batik Hardwell</b><br />
Tak bisa dipungkiri jika puncak kenikmatan DWP 2017 baru terjadi pada pukul 01.05 Minggu dini hari. Pasalnya, waktu itu menandakan penampilan Steve Aoki dimulai. Benar saja, Aoki langsung menghentakan panggung Garuda Land sejak lagu pertamanya.<br />
<br />
“Jakarta, apakah kamu merasa baik hari ini? Aku sangat senang berada di sini,” katanya kepada para penonton.<br />
<br />
Tak banyak basa basi, Aoki pun memainkan peralatannya dan membuat penonton sekejap begoyang. Dentuman suara elektronik membuat semua tak sadar. Selain membawa semua hitsnya, salah satu yang dibawakan malam itu adalah "Smell Like Teens Spirit" milik Nirvana yang telah diremix.<br />
<br />
Apalagi, Lalu ia pun mengajak Desiigner ke atas panggung dan bernyanyi bersamanya. Panggung pun semakin gemuruh dibuat mereka berdua, dengan atraksi Desiigner yang tak hentinya berlalri ke sana ke mari.<br />
<br />
Malam itu, Aoki juga tak lupa melakukan ritual melempar kue yang selalu dilakukan ketika lagu "Cake Face" dimainkan. Sebanyak 10 kue dilemparkan ke arah penonton dan suasana arena semakin meriah dengan teriakan.<br />
<br />
Sayang, penampilan Aoki yang penuh aura harus berakhir dengan lagu penutupnya,<br />
<br />
Kemeriahan semakin terasa ketika pada pukul 02.35, Hardwell naik ke atas panggung Garuda Land. “<i>C’mon Jakarta. Make some noise</i>,” katanya di atas panggung dan diikuti teriakan penonton yang masih haus untuk bergoyang. Lagu "Crazy Frog" pun langsung terdengar dan membuat penonton bergoyang seketika.<br />
<br />
Meski tak banyak atraksi di atas panggung, penampilan Hardwell, yang malam itu mengenakan batik, sebagai penutup DWP 2017 membuat suasana pecah. Hampir dua jam Hardwell membuat penonton tak lelah berteriak dan bergoyang bersama. Tanah pun bergetar akibat hentakan dan loncatan ribuan penonton yang memadati panggung.<br />
<br />
Namun, pesta musik elektronik itu akhirnya harus disudahi juga. Malam itu, penampilan Hardwell yang sekaligus menjadi penutup DWP 2017 ditutup dengan kembang api yang membuat panggung Garuda Land semakin berwarna.</div>
</div>
Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-20459139338446837362016-04-20T20:33:00.001+07:002017-12-24T06:19:54.511+07:00Perwakilan Penambak Udang Datangi Komnas HAM<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzDviKUP7rHwcBJAr9de2RjPJBjqfEY8yPu0euGJBqcwoqrn61bq4YE7emXs3aq92A8kXRleY44qmEQ9yyJ3W6uxGT9TOLrKrW-pAILEm3rZ6Np3PZmomxZryX1tYEJ-3tcgiC6VwnWCw/s1600/Komnas-HAM.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgzDviKUP7rHwcBJAr9de2RjPJBjqfEY8yPu0euGJBqcwoqrn61bq4YE7emXs3aq92A8kXRleY44qmEQ9yyJ3W6uxGT9TOLrKrW-pAILEm3rZ6Np3PZmomxZryX1tYEJ-3tcgiC6VwnWCw/s320/Komnas-HAM.jpg" width="320" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span style="text-indent: 0cm;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span style="text-indent: 0cm;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<span style="text-indent: 0cm;">Perwakilan penambak udang Desa Bratasena Mandiri dan Adiwarna, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (</span><span style="text-indent: 0cm;">Komnas HAM), Senin (18/4). Para penambak ini mengaku telah diperlakukan tidak adil dalam kemitraan bersama PT Central Pertiwi Bahari (CPB).</span><br />
<a name='more'></a></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Pendamping Sosial Masyarakat Penambak Subiyanto mengatakan dengan kedatangannya ke Komnas HAM, pemerintah dapat menyelesaikan masalah yang terjadi di desanya. Hal ini dillakukan agar konflik yang terjadi tidak meluas.</div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
“Saat ini, ada sekitar 100 KK (Kartu Keluarga) yang diusir dari rumahnya dan mengungsi di kampung penyanggah sekitar desa,” katanya saat ditemui di Komnas HAM, Jakarta.</div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Pengusiran ini dilakukan, lanjut Subiyanto, akibat kedatangannya bersama beberapa warga ke Jakarta menemui Menteri Ketenagaankerjaan Hanif Dhakiri, Kamis (31/4). Dalam pertemuan itu, para penambak mengadukan nasibnya dan Menteri Hanif telah bersedia membentuk tim untuk meninjau lokasi.</div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Sepulang dari Jakarta, Perwakilan ini menyosialisasi hasil pertemuan dengan Menteri Ketenagakerkaan, namun dibubarkan oleh warga lainnya. Sampai akhirnya rumah mereka disegel dan diusir dari desa.</div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
“Pengurus Forsil (Forum Silaturahmi) justru mendiskriminasi kami dengan tuduhan memecah belah. Bahkan, kepala kampung rumahnya disegel,” katanya.</div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Kronologi awal terjadinya konflik adalah ketika PT CPB masuk ke desa mereka tahun 1993. Subiyanto menuturkan warga awalnya sudah memiliki garapan seperti bertambak, bertani, dan berladang. Namun CBP menawarkan kerja sama kepada warga untuk usaha, dengan dijanjikan akan dibuatkan sarana dan prasarana yang lebih baik.</div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Pada awal kerja sama tersebut, masing-masing warga diminta melakukan kredit pada bank sebesar RP 145 juta untuk investasi dan modal. “Pada waktu itu kami tidak berani untuk melakukannya, namun karena ada pemaksaan dengan <span style="text-indent: 0cm;">pembakaran rumah, perusakan dan pengusiran, akhirnya kami terima,” jelasnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Saat ini, biaya kredit tersebut membengkak hingga lima hingga 10 kali lipat. Padahal mereka mengaku telah bekerja puluhan tahun untuk menutup hutang tersebut. Menurut Subiyanto, keuntungan tambak saat panen selalu masuk perusahaan.</div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="color: #222222; font-family: arial, sans-serif; font-size: small; margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
“Karena sering merugi dan operasional tinggi sementara harga jual udang rendah. Yang membeli hanya perusahaan itu, tidak boleh kepada yang lain. Kalau kami sudah bekerja puluhan tahun justru hutang yang membekak, kemudian kami harus bayar dengan apa?” kata Subiyanto.</div>
Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-80620440791672432252015-07-22T04:07:00.000+07:002018-01-07T22:42:32.765+07:00TanahAku adalah angin.<br />Menyusup lewat dahan kecil,<br />bersapa dengan daun tua<br />juga yang muda.<br /><br />Aku adalah abu.<br />Yang keluar sejak matahari<br />belum tiba hingga puncak.<br />Menari di sela mata.<div>
<br />Aku adalah kabut.<br />Sebentar terlihat mata,<br />untuk kemudian menyatu<br />bersama udara.<br /><br />Aku adalah pohon.<br />Menjulang tinggi dan rapuh.<br />Enggan bersahabat angin.<br />Menyendiri sampai ke ujung.<br /><br />Aku adalah rimba.<br />Rimba yang penuh harimau,<br />harimau yang siap diburu<br />sekaligus memburu.<br /><br />Tapi siapa engkau?<br />Menyusup melalui maya,<br />mematahkan segala<br />aku yang telah tiada.<br /><br />Kini,<br />aku bukan angin,<br />bukan abu,<br />bukan kabut,<br />bukan pohon,<br />bukan rimba.<br /><br />Aku telah tiada.<br />Aku menjelma tanah.<br /><br /><br /><div style="text-align: right;">
Sebelum Malang.</div>
</div>
Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-81774560875652925492015-07-13T06:44:00.000+07:002018-01-07T22:37:18.331+07:00Kopi<div style="text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgafdZwWKzOhrjuV391xBi5hj5WMuXYQDJs-j6b4XdH2AviGy3JPItsSJaWJfaHdGKe7W8OTFttkNDxdMReBwWpD5EeZxcnRQYotRqHH1nIjkbeS9H5yFKM4HZ4P2nEpMcgczl_xd-DuUw/s1600/11066086_10204689445290649_7444038413976193691_n.jpg"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgafdZwWKzOhrjuV391xBi5hj5WMuXYQDJs-j6b4XdH2AviGy3JPItsSJaWJfaHdGKe7W8OTFttkNDxdMReBwWpD5EeZxcnRQYotRqHH1nIjkbeS9H5yFKM4HZ4P2nEpMcgczl_xd-DuUw/s320/11066086_10204689445290649_7444038413976193691_n.jpg" /></a></div>
<br />Saya menganggap kopi hanya sebagai teman bicara. Sungguh hanya teman bicara. Kalaupun diganti dengan susu atau teh, tak ada masalah.<br /><br />Bagi saya kopi memang tak ada yang istimewa. Belum ada, lebih tepatnya. Sampai saat, semalam saya berkunjung ke sebuah kedai kopi kecil milik kenalan saya, Mirza Jaka Suryana.<a name='more'></a><br /><br />Jaka (saya memanggilnya Bang/Mas Jek) baru membuka kedai kopinya pertengahan Juni lalu. Ia menamai kedainya Epikurian Unbreakable Coffee. Letaknya, di samping Rumah Makan Padang, sebelum Kampus Tercinta.<br /><br />Malam itu, saya menemukan arti kopi sesungguhnya: memang sebatas teman bicara.<div>
<br />Saya mengenal Bang Jek memang belum lama. Baru sekitar enam bulan. Sebelumnya, mungkin hanya kenal sebagai teman Facebook.<br /><br />Malam pertama saya menemuinya, enam bulan lalu, adalah berkat Pry S, pendahulu saya di Teater Kinasih. Malam itu, ia sedang ingin reuni dengan anak-anak Ruang Melati, tempat mabuk dan diskusinya saat masih kuliah.<br /><br />Ruang Melati telah tiada, malam itu kami akhirnya bertemu di warung Tulang. Tak banyak yang datang, hanya Bang Jek dan Wisnu. Ervin Kumbang, yang sejak sore ada di kampus, memilih pergi ke acara musik yang mengusung tema "Tribute to Radiohead".<br /><br />Malam itulah saya menjadi pendengar reuni tiga orang anak Ruang Melati. Bang Jek, Pry S dan Wishnu banyak bicara, dan kemudian menyusul Gigih Gilang. Saya hanya sesekali tertawa.<br /><br />Saya sedang pusing-pusingnya. Malas bicara. Hingga terlontar ucapan saya, "Mas, <i>gue </i>pengen sesuatu yang baru nih. Bosen gini-gini aja. Apa <i>gue </i>cuti kuliah aja ya?"<br /><br />"Emang lu mau <i>ngapain</i>, Bay?" sambung Bang Jek.<br /><br />"<i>Gue</i> juga <i>gak </i>tau. Tapi pengen kegiatan baru."<br /><br />Bang Jek dan yang lain hanya memberi masukan sekenanya. Dan saya pun tak jadi cuti kuliah dan kegiatan saya masih itu-itu saja; berteater dan sesekali membaca puisi bersama Kaum Pemikir.<br /><br />Setelah lama tak berkomunikasi dengan Bang Jek, awal Juni kemarin tiba-tiba ada kabar kedai kopi miliknya akan segera buka.<br /><br />Saya baru sempat datang mengunjungi Unbreakable Coffee semalam, setelah berbuka puasa bersama Teater Kinasih yang hanya dihadiri oleh lima orang.<br /></div>
<div>
Saya memesan segelas Kopi Solok sambil mengambil buku yang berjejer rapih di dinding kedai. Sejarah pers Indonesia.<br /></div>
<div>
Tak lama, Putra Muhammad Akbar dan Gloria Safira datang, dengan wajah-wajah lesunya. Langsung saja saya menawarkan diri ditraktir gaji wartawati muda ibokota. Sepiring kentang goreng lengkap dengan sausnya.<br /><br />Setelah itu, obrolan saya berlanjut. Masih ditemani segelas Kopi Solok yang belum habis. Akbar sudah pulang takut ditinggal kereta, tinggal Safira masih duduk mengingat perjalanan harinya yang telah usai, melamun sendirian.<br /><br />Dengan diiringi alunan gitar Ervin dan vokal Marthin membawakan tembang Nirvana, saya akhirnya berbincang dengan Bang Jek, dengan tampilan khasnya; kumis dan jenggot lebat dan pakaiannya yang kumel. Perbincangan singkat kami semalam adalah perihal bisnis barunya ini. Mengapa ia akhirnya membuka kedai kopi.</div>
<div>
<br />"Kopi itu sesuatu yang dekat dengan kita, tapi belum tentu semua orang bisa ngopi."<br /></div>
<div>
Atas dasar itu, Bang Jek, yang pernah dilarang satpam masuk kampus, menggunakan konsep derma dalam menjalankan Unbreakable. "Lu di sini bisa ngopi, sekaligus derma."<br /></div>
<div>
"<i>Lu </i>beli kopi satu, tapi bayar dua. Nah, jatah kopi satu lagi akan kita bagi buat orang gak punya duit tapi pengen <i>ngopi</i>," jelas Bang Jek.<br /><br />Saat itu saya masih kurang paham. Hingga akhirnya Bang Jek melanjutkan, "Jadi setiap pengunjung di sini punya hak untuk minta kopi gratis jatah derma."<br /></div>
<div>
Bibir saya hampir sumringah mendengar keterangannya. Pasalnya, enam bulan ke depan, saya pasti akan sering minta jatah derma di kedai kopi ini.<br /><br />Selain mungkin uang saya akan habis untuk skripsi, di Unbreakable juga banya buku yang bebas dibaca. Karena mungkin buku-buku di sini lebih relevan dijadikan referensi daripada buku di perpustakaan Kampus Tercinta.<br /><br />Enam bulan lalu, saya menanyakan kepada Bang Jek hal baru apa yang harus saya kerjakan, namun tadi malam kemarin justru saya melihat hal baru darinya; sebuah kedai kopi kecil yang ramah.<br /><br />Kedai kopi yang menawarkan kopi dalam bentuk aslinya, sebagai teman bicara.<br /><br />Mungkin memang tak ada hal baru dari saya sejak enam bulan lalu bekenalan dengan Bang Jek, selain perempuan manis berhidung tipis. Ya sudahlah. Setiap manusia punya cara tersendiri untuk melakukan kebaikan.<br /><br />Mungkin lewat perempuan berhidung tipis itu, saya bisa menularkan kebaikan.<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
</div>
Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-48725006018575462932015-07-13T05:57:00.002+07:002015-07-13T05:57:56.149+07:00Rahasia Kecil dalam Sepucuk Surat yang Lusuh<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhohAvfhkQzE07cKsF8QahcMsOwMryNNKocrqOu2Yzc_TB_Hjxlcb5QbdpaTUnTfS6aRFyzYPEF2wfkNp810clJjZD-RFLdzkZCEWX3wcrgDTDG6M5ggqFab9nHVV1rCHZ9pbEHzFU72ws/s1600/unnamed+%252811%2529.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="199" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhohAvfhkQzE07cKsF8QahcMsOwMryNNKocrqOu2Yzc_TB_Hjxlcb5QbdpaTUnTfS6aRFyzYPEF2wfkNp810clJjZD-RFLdzkZCEWX3wcrgDTDG6M5ggqFab9nHVV1rCHZ9pbEHzFU72ws/s320/unnamed+%252811%2529.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi: Istimewa</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Untuk kekasihku..</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Hai, manis. Doaku dini hari ini adalah: semoga kamu tetap manis. Selalu manis.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Aku sangat ingin berterima kasih pada semesta yang telah mengatur pertemuan kita. November tahun lalu. Kepada semesta yang nantinya juga akan memisahkan jasad kita.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Sejak bertemu dan meminjam bukumu, buku yang ditulis oleh Haruki Murakami itu, aku tahu kalau kamu akan menjadi kekasihku. Pasti. Entah apa yang membuatku hakul yakin itu. Aku hanya yakin. Teramat sangat yakin.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Kamu tidak percaya? Oh, maaf. Aku tak berniat bertanya padamu. Sekarang aku tahu kalau perempuan tak suka ditanya. </span><i style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Dilan</i><span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;"> yang memberi tahu kepadaku. </span><i style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Dilan</i><span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;"> adalah novel karya Pidi Baiq yang aku pinjam dari temanku. Belum sampai habis aku membacanya. Tinggal tersisa beberapa puluh halaman lagi.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Aku anggap kamu tidak percaya. Maka aku akan menceritakannya untukmu, perempuan manis yang kini adalah kekasihku.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Aku adalah mahasiswa biasa di kampus yang biasa pula. Aku tidak flamboyan. Aku hanya kenal beberapa orang di kampus. Kalau orang-orang mengenalku, itu bukan urusanku. Tapi, kamu berbeda.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Kamu mengikutiku di Twitter. Aku mengikuti balik. Aku tahu kalau kamu itu satu kampus denganku. Juga satu angkatan dan satu jurusan. Tapi, aku tak pernah mengenalmu. Aku penasaran, siapa perempuan ini. Siapa sebenarnya dirimu, perempuan manis yang mengikutiku di Twitter.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Aku membuka halaman instagrammu, yang tertera dalam profil twittermu. Aku melihat foto-fotomu. Melihat potret buku Haruki Murakami dan di lain foto, potret temanku, Amat. Sejak itu, aku tahu kamu berteman dengan Amat.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Amat adalah mahasiswa yang dikenal banyak orang. Ia tergabung dalam sebuah komunitas fotografi. Tentu saja ia juga pandai mengabadikan peristiwa dari sudut lensa yang tak terduga. Aku mengenalnya ketika komunitasku meminta tolong kepada komunitas fotografinya, untuk keperluan dokumentasi.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Pernah aku melihat Amat sedang sendirian, membaca novel </span><i style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Gelombang</i><span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;"> karya Dewi ‘Dee’ Lestari. Saat itu, </span><i style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Gelombang</i><span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;"> memang baru terbit, melanjuti serial </span><i style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Supernova</i><span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;"> yang selalu menjadi </span><i style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">best-seller</i><span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;"> Dee sebelumnya, </span><i style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Partikel</i><span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">. Aku penasaran dengan isinya.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">“Punya lu, Mat?” tanyaku kepadanya.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">“Bukan. Punya temen gue.”</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">“Pinjem dong.”</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">“Lu bilang sendiri sana sama temen gue,” ucapnya ketus.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Aku langsung mengurungkan niat untuk meminjamnya. </span><i style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Nanti juga banyak temen gue yang beli</i><span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">, pikirku, sambil berharap sahabatku Nadira sudah membelinya sehingga bisa aku pinjam darinya.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Selain jago fotografi, Amat juga senang membaca. Dan ia adalah temanmu. itu yang penting dalam suratku ini.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Setelah beberapa lama, aku bertanya pada Amat tentang dirimu. Mungkin Amat telah lupa kalau kamu ingin mengonfirmasinya. Tapi aku akan selalu ingat. Aku meminta tolong Amat untuk bisa meminjam bukumu, novel Haruki Murakami itu. Berselang hari, Amat bilang, "Orangnya maunya langsung ketemu sama lu."</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Amat langsung mengajakku menemuimu. Aku memberanikan diri, sekaligus sangat ingin, bertemu denganmu. Melihat wajah asli perempuan manis di Twitter itu.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Hari itu, Rabu bulan November, akhirnya kita bertemu. Di depan kantin, samping lapangan basket yang ditutupi pohon bambu. Kita berbicara tentang apa saja. Tentang kamu, aku, dan Miko, yang entah kebetulan atau tidak, sedang ada di situ.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Entah berapa lama aku duduk bersamamu di tempat itu. Cepat sekali rasanya. Waktu memang begitu relatif. Tidak kaku seperti kerah orang-orang yang berdasi itu. Bersamamu, pun menghabiskan berjuta waktu, rasanya cepat seperti kilat.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Dua tujuan utama hari itu telah tuntas; bertemu dan meminjam bukumu. Sebelum pergi, aku juga menjanjikan kopi untukmu sebagai bea meminjam novel Murakami. Hari ini aku cukupkan. Kopi itu untuk di lain waktu.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Hari itu aku yakin, kamu akan menjadi, apa namanya di atas tad? Kekasihku.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Kamu masih belum percaya, manis? Oh iya, maaf. </span><i style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Perempuan tak suka ditanya</i><span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">, </span><i style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Dilan</i><span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;"> kembali datang ke dalam pikiranku.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Anggap saja aku masih menganggapmu belum percaya. Mari, manis. Duduklah tenang di samping laptopmu. Lewat surat ini, aku ingin membisikkan rahasiaku. Dengan pelan. Teramat pelan.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Setelah bertemu denganmu, Rabu di bulan November itu, aku langsung menulis. Sebuah puisi. Tentang Rabu yang bahagia.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Kamu mau membaca puisi itu lagi? Belum bosan juga kamu membacanya?</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Itu adalah salah satu, dari yang tak terhingga jumlahnya, yang membuat aku hakulyakin kamu adalah kekasihku. Kamu tak pernah bosan membaca.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Puisi itu lahir begitu saja. Entah karena dan untuk apa. Mungkin karena dan untukmu. Semesta yang mengaturnya.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Saat itu, akun Twittermu masih aktif. Aku ingat juga, kamu membuat sebuah ilustrasi perjalanan hari Rabu di bulan November itu, dalam blog milikmu. Di sana ada namaku.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Kamu tak memberi keterangan pada namaku. "...untuk... yang ini <i>skip</i> dulu."</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Itu yang membuat aku semakin yakin, kamu adalah teman hidupku. Tapi, manis, aku menganggap itu janji. Janji untuk menjelaskan siapa aku. Apa benar itu aku yang kamu maksud?</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Aku harap kamu mampu melunasi janji itu. Harap. Sangat.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Kekasihku yang manis, masih ingatkah kamu tentang itu? Tentang masa aku mengenalmu dan yakin kalau kelak, kamu adalah kekasihku.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Apakah kamu sudah percaya? Meskipun </span><i style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Dilan</i><span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;"> berulang kali bilang kalau perempuan tak suka ditanya, aku tetap harus bertanya kepadamu.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Aku telah bertanya, bolehkah aku mencintaimu. Kamu menjawab ya. Boleh. Aku boleh mencintaimu. Selamanya. Sampai semesta mengatur perpisahan kita. Nanti.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Itulah rahasiaku, manis. Aku mencintaimu.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Manisku, tak perlu kamu takut dengan perpisahan. Itu adalah alasan kita pernah bertemu. Untuk berpisah.</span><br />
<div style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">
<br /></div>
<span style="font-family: Helvetica, Arial, sans-serif; line-height: 22px; widows: auto;">Namun, aku ingin kamu selalu ingat sepenggal sajak Sapardi, yang pernah kuberikan untukmu, "Yang fana adalah waktu. Kita abadi."</span>Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-77700401421368645502015-05-25T09:59:00.000+07:002015-05-25T10:00:27.939+07:00KabarDemi bunyi gelas yang bertemu sendok tukang es campur.<br />
Dan suara botol-botol hijau pedagang mpempek.<br />
Melalui kipas angin listrik yang selalu bolak-balik.<br />
Ingin kutitipkan untukmu segenggam rindu.<br />
<br />
Demi Riko yang agak murung melihat rencana nikahnya saat SMK kandas sudah.<br />
Dan keponakannya yang menangis melihat bapaknya pergi beli makan.<br />
Bak hitam plastik telah direbahkan agar bisa mandi di pukul setengah lima.<br />
<br />
Demi suara latar lagu The Adams.<br />
Dan suara gelisah menunggu balasan.<br />
Juni semakin dekat,<br />
meskipun tak harus hujan seperti sajak Sapardi.<br />
<br />
Demi para pemancing yang tak membawa ikan pulang.<br />
Dan nyanyian burung kenari berwarna kuning di dalam kandang.<br />
Mobil-mobil melulu bising berlalu-lalang.<br />
<br />
Demi Beni yang tak lagi menyapa dengan halo.<br />
Dan kakak-beradik kecil terus memegang botol mineral.<br />
Lewat daun melinjo muda, semoga kabarmu selalu tak jumawa.<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
Mei, 2015</div>
Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-75781864837859674442015-05-16T04:16:00.001+07:002015-05-16T04:16:55.065+07:00Menulis<div style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjl-fozLSlXwmdrSQbhOUZRRKxZLrCCaY7_fBe6U4AIGKUclirTp1IB0lisJBn6trAYOz7UdE8lYVfeUVSW_rdVQTMcTA4dqSsyHxUNtqOsZdVjpUM5StWBYlq6qHL-Y6RDEIgeeksTh3E/s1600/Tangkapan+layar+2015-05-10+06.45.37.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="179" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjl-fozLSlXwmdrSQbhOUZRRKxZLrCCaY7_fBe6U4AIGKUclirTp1IB0lisJBn6trAYOz7UdE8lYVfeUVSW_rdVQTMcTA4dqSsyHxUNtqOsZdVjpUM5StWBYlq6qHL-Y6RDEIgeeksTh3E/s320/Tangkapan+layar+2015-05-10+06.45.37.png" width="320" /></a></div>
<br />
Sejak sebelum saya memutuskan untuk kuliah jurusan ilmu jurnalistik, saya meyakinkan diri untuk bisa menulis. Koran yang belum terbit jadi bahan bacaan saya setiap malam. Ini adalah amunisi, pikir saya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah masuk, saya sengaja ikut kegiatan teater. Bukan untuk jadi aktor. Tapi penulis. Adalah angan-angan Nano Riantiarno tentang Soe Hok Gie, yang membawa saya ke dalam teater.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hebat benar imaji pendiri Teater Koma itu. Hanya dengan tulisannya, saya berteater. Demi bisa menulis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya belajar menulis dari sebelum menduduki bangku di taman kanak-kanak, yang dulu dibayar dengan iuran kurang dari Rp 10.000 setiap bulan. Menulis bukan hal yang baru bagi saya, juga manusia. Menulis telah dilakukan jauh sebelum Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menulis adalah bekerja untuk keabadian, kalau kata Pramodya Ananta Toer. Oleh karena itu saya tetap meyakinkan diri untuk menulis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kritik adalah teman. Pandangan sinis merupakan anjing yang mesti dibiarkan oleh kafilah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tapi, menulis bukanlah proses yang mudah. Andreas Harsono berkata, menulis butuh tahu dan berani. Tahu tentang apa yang ingin kita tulis, dan berani menulis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua hal di atas adalah hal yang sangat memuakkan untuk memulai sebuah tulisan. Saya belum tahu banyak, namun cukup berani untuk menulis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiga tahun lalu, sebelum menonton sebuah festival teater di Bulungan, kawan saya mengajak membuat proyek menulis. Setiap hari, sebulan tanpa henti. Saya setujui idenya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun menulis berdua rasanya kurang mengasyikan. Kami mengajak seorang lagi. Berhasil.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya membuat blog, untuk arsip dan publikasi proyek kami.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tujuannya, menafsirkan kebenaran. Aturan mainnya, tidak menulis dengan alasan apapun, wajib membayar denda yang tak sampai harga setengah bungkus rokok.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiga tahun sudah proyek itu berjalan. Setiap tahun kami menyisihkan 30 hari untuk menulis. Tentu dengan serba sok tahu dan sok berani.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Entah karena tujuannya yang teramat banal atau memang pengguna internet yang melulu syahwat, dari ratusan tulisan, setengah dari pengunjung blog kami hanya ingin tahu arti ngentot.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Betapa indahnya segala proses untuk keabadian ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i><a href="http://menulistigapuluhhari.blogspot.com/?m=1" target="_blank"><span id="goog_1035928558"></span>Menulis 30 Hari<span id="goog_1035928559"></span></a></i></div>
Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-21964391630270274542015-03-16T20:57:00.001+07:002015-03-16T21:22:23.497+07:00Dakwah<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBgyC5wPoIlik_Txd8a5vGR6Z5vkMjZk0t3EJ9bHQZPzKrFqzsKS8cePWH8l3hB92I0P_mrIWpuYf5IpU8IoicBp_fkITlUqxSoyNq8PI9XC9NfKnF7Wo5rS-aqZSlhg0tIdYKnXeuvp8/s640/antusiasme-jamaah-membeli-souvenir-yang-di-jajakan.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Foto: Akumassa.org<br /><br /><div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Sabtu sore, di depan kampus kecil yang melulu memasang banner Andy F. Noya, terlihat tak mau kalah spanduk habib terbentang begitu lebarnya. Saya lupa nama habibnya. Isinya ajakan untuk datang ke majelisnya.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Andai habib memakai android dan menginstal aplikasi Line, pasti ia tak perlu repot-repot mengeluarkan biaya Rp 30 ribu per meter untuk mencetak spanduk, banner, apalah namanya. Karena sia-sia. Setidaknya bagi saya.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Andai juga ia berpikir pragmatis seperti kampus di seberang jalan spanduknya dipasang, ia tak terlalu rugi. Prinsipnya sederhana, cetak satu, gunakan selama mungkin.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Syahdan, habib tetap berdakwah. Pun saya menulis ini tanda tak suka caranya berdakwah. Karena bukan habib yang mencetak poster, menutup jalan, dan berjualan di trotoar. Habib tak tahu urusan sepele itu. Tugas habib lebih dari itu.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Propagandis, kalau dilihat dari ilmu propaganda. Seperti <i>Sacra </i><i>Congretario de Propaganda Fide</i>, majelis propaganda yang mengontrol misionaris Katolik pada abad XVII.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Propaganda masih ada. Ginting, dosen mata kuliah Propaganda dan Psywar di kampus saya, bilang, propaganda tidak selamanya buruk. Karena ia adalah ilmu, dan dasar ilmu pastilah baik. Propaganda yang baik adalah propaganda yang tak terendus bahwa itu buruk.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Dakwah adalah salah satunya.</div>
</td></tr>
</tbody></table>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBgyC5wPoIlik_Txd8a5vGR6Z5vkMjZk0t3EJ9bHQZPzKrFqzsKS8cePWH8l3hB92I0P_mrIWpuYf5IpU8IoicBp_fkITlUqxSoyNq8PI9XC9NfKnF7Wo5rS-aqZSlhg0tIdYKnXeuvp8/s1600/antusiasme-jamaah-membeli-souvenir-yang-di-jajakan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"> </a> </div>
Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-5802211921556767932015-03-03T17:08:00.001+07:002015-03-04T01:33:06.284+07:00Penyusup<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZd3STGwlSwAObMI7hon-xwPQWnxPS_0VUkEeoB_obxk5aOTbyXoByGk_UPelqB8-hoSJbhQBsV9C99wL_O49bfGhtz18yd-TNV4oWsYO9od-ktdEs-503_jyFQNSUm4Hq7ztL6d0a6O0/s1600/315731_266874853322737_6412527_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZd3STGwlSwAObMI7hon-xwPQWnxPS_0VUkEeoB_obxk5aOTbyXoByGk_UPelqB8-hoSJbhQBsV9C99wL_O49bfGhtz18yd-TNV4oWsYO9od-ktdEs-503_jyFQNSUm4Hq7ztL6d0a6O0/s1600/315731_266874853322737_6412527_n.jpg" height="240" width="320" /></a></div>
<div dir="ltr" style="text-align: center;">
Foto: Bang Boim</div>
<div dir="ltr" style="text-align: center;">
<span style="text-align: justify;"><br /></span></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Tahun<span style="text-align: justify;"> 2011 saat itu bulan puasa. Setelah lebaran, banyak penyusup dari luar yang datang ke Jakarta. Untuk penghidupan yang lebih layak, pikirnya.</span></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<span style="text-align: justify;"><br /></span></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Di tahun 2011, di IISIP Jakarta, saat sedang diadakan KMP (bukan koalisi merah putih tapi kuliah minggu pertama) ada penyusup tertangkap kamera. Ia pakai sweater, dengan rambut belah tengah nanggung.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Saat ini, pria itu tercatat angkatan 2012 di IISIP. Lihai main kendang, juga kecapi. Oleh dosen walinya, Harun, ia disarankan untuk pindah kuliah. UNJ atau IKJ saja, kata Harun. Agar bakat seninya bisa lebih tersalurkan.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Namun perkara biaya, ia tetap berada di IISIP.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Setalah cuti semester kemarin, semester ini ia berniat untuk kuliah kembali. Tentu dia disambut oleh Harun dengan kata-kata yang sama.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
"Mending pindah kuliah saja," usul Harun.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
"Tapi bapak yang bayarin yak," jawab sang penyusup.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Percakapan selesai dan si penyusup 3,5 tahun silam itu akan kuliah kembali semester depan. Tentunya sambil bermain kecapi dan kendang di sela-sela jam kuliahnya.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Entah apa yang dilakukannya saat KMP 2011 di IISIP. Konon kabarnya, ia terhasut oleh kawan di sampingnya yang saat ini mirip Steven Seagal, untuk ikut KMP.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Dulu saya tak tahu ia pernah menyusup. Namun, setelah mencari-cari data, ternyata penyusup memang ada.</div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div dir="ltr" style="text-align: justify;">
Dialah orangnya, Bagacuy.</div>
Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-24375996019009530362015-01-19T10:18:00.001+07:002015-01-19T10:18:16.705+07:00Pagi yang Kutitipkan Salam<p dir="ltr">Hujan masih juga berdetak<br>
Saling menyalip dengan waktu<br>
Menggagahi satu dan yang lain</p>
<p dir="ltr">Pengeras suara masjid <br>
tak juga mau berhenti,<br>
tak bosan membisikki suara ibu<br>
yang mengaji</p>
<p dir="ltr">Hanya pagi yang tak jumawa<br>
Setia pada hari<br>
untuk melanjutkan malam</p>
<p dir="ltr">Semalam, kita berbicara tentang rindu, sayang<br>
Tentang aroma<br>
yang aku dan kamu tak juga paham</p>
<p dir="ltr">Aku mengirim puisi dari Indian<br>
Puisi yang berjanji, <br>
sebelum pagi, engkau kujenguk<br>
dalam tidur</p>
<p dir="ltr">Suara ibu yang mengaji telah padam<br>
Telah berganti hujan <br>
yang mulai serakah<br>
Tak membiarkan detak jam lagi terdengar</p>
<p dir="ltr">Apakah semalam aku hadir dalam tidurmu, sayang?<br>
Dan kita lanjutkan tentang rindu yang belum usai?</p>
<p dir="ltr">Lewat waktu, hujan dan pengeras suara<br>
telah kusampaikan rindu, sayang, padamu</p>
<p dir="ltr">Pada pagi,<br>
yang masih manantang malam untuk kembali</p>
Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-82329259236001202172015-01-09T06:43:00.001+07:002015-01-10T04:53:47.183+07:00Perempuan dalam Kepala<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgefiat0Dk7ATSgoYLuHJ4PNDt93nQxI9aAc7s3tQqNgAd8R8v7E-mWI2jCwqEhpWyYlfR-aGdS2P-ImnnLEIHoSOB0SdPEAxLTsKhY2x2rlOsc1jTb2c6WVfsXLmd51qpTxT5Sa1h-WG4/s1600/popo.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgefiat0Dk7ATSgoYLuHJ4PNDt93nQxI9aAc7s3tQqNgAd8R8v7E-mWI2jCwqEhpWyYlfR-aGdS2P-ImnnLEIHoSOB0SdPEAxLTsKhY2x2rlOsc1jTb2c6WVfsXLmd51qpTxT5Sa1h-WG4/s1600/popo.jpg" height="395" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi karya Popo, yang pernah jadi ilustrasi cerpen "<a href="https://cerpenkompas.wordpress.com/2011/01/30/perempuan-tua-dalam-rashomon/" target="_blank">Perempuan Tua dalam Rashomon</a>"<i>Kompas </i>(5/12/2011). </td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
Entah
kapan petama kali ia datang dalam kepalaku. Pagi itu, saat matahari belum sempat
menyapa embun yang hinggap dalam rentangnya hijau daun, aku termenung lagi. Di dalam
cangkir masih ada sisa-sisa ampas pengembaraanku tadi malam, saat pikiranku menjelajah
setiap kemungkinan adanya kenangan tentang sosok perempuan dalam kepalaku ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<a name='more'></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Aku
tahu namanya Siti. Semalam ia keluar dari dalam kepalaku melalui saluran <i style="mso-bidi-font-style: normal;">eustachius</i>, dan menjelma menjadi sosok
perempuan bersama dengan napasku yang memburu. Aku tak tahu wajahnya, namun aku
pernah mengenalnya. Ia memperkenalkan dirinya, hanya sebatas nama. Aku yang
terbengong-bengong melihat kejadian itu tak sempat berkata-apa-apa, sebelum ia
akhirnya masuk kembali ke dalam kepalaku bersama dengan tarikan napas untuk
memenuhi kesadaranku.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Pikiranku
tak karuan. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Dari mana munculnya perempuan
bernama Siti ini?</i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Mungkin
saat guru tingkat pertama di sekolah dasar berbilik bambu dulu selalu
menggunakan nama itu ketika ia mengajarkan cara membaca kepadaku. Para guru itu
menanamkan imajinasi dalam kepalaku tentang nama itu, bersama dua rekannya, Ani dan Budi. Namun
bukan Ani dan Budi yang kini menggelayut di kepalaku. Hanya Siti.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Tiga
nama yang selama itu tak memiliki cukup ruang untuk hidup di kepalaku. Nama-nama
itu terlalu mudah untuk dilupakan sebagai konsep yang rumit.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Aku
ingat temanku saat di kampung dulu. Namanya juga Siti. Kakak kandung teman sebayaku,
Wati. Ia menikah dengan pacarnya setelah di dalam perutnya terkandung nyawa
yang baru berumur kurang dari tiga bulan. Perayaan pernikahannya biasa saja. Seingatku,
aku tak sempat membantu hajatannya, seperti hajatan-hajatan lain di kampung
yang selalu butuh bantuanku sebagai tukang cuci piring panggilan. Atau memang
tak dilangsungkan hajatan, aku lupa. Namun setelah menikah, Siti menghilang
bersama suaminya. Entah kemana. Aku tak lagi mendengar kabarnya.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Bukan. Bukan, Siti kakak kandung dari teman
kecilku yang hidup dalam kepalaku. Ada Siti lain yang menggangu</i>.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Setelah
Siti, kakak kandung Wati, menghilang dan guru-guru di sekolah dasar itu tak
lagi menggunakan nama Siti sebagai bahan pelajaran, praktis ingatan tentang
nama itu pun menguap. Layaknya air yang diam-diam menjadi udara. Sampai
akhirnya, udara-udara itu mengadakan rapat tertutup di langit untuk memulangkan
air ke tempat asalnya melalui awan. Seperti itu juga perempuan yang muncul
dan hidup dalam kepalaku.<br />
<br />
Aku mengenalnya, namun tak mengingatnya.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Pikiranku
kembali melayang. Entah berapa juta waktu berhenti malam itu. Waktu selalu
menurut pada kemauan hatiku. Konsep waktu memang selalu absurd untuk sebuah lamunan.<br />
<br />
<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Tak usah buru-buru</i>, bisikku kepada
waktu. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Biarlah malam ini menjadi malam
untuk menenukan kembali.</i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Waktu
mengangguk setuju. Aku lega melihat waktu yang mau bekerja sama malam itu.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Siti
di kepalaku belum juga menemukan jawaban. Dia hadir seperti air yang jatuh dari
awan, aku mengenal sosoknya namun tak bisa mengingat dari mana asalnya. Di dalam
kepalaku, perempuan itu sangat keras kepala. Ia ingin aku dengan segera dapat
menjawab seonggok kegelisahannya; <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Untuk
apa ia diciptakan dalam kepalaku.</i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Aku
memukul kepalaku. Berharap, di dalam sana ia akan terguncang dan mau untuk
keluar. Namun Siti nekat. Ia malah mulai mengeksploitasi segala sudut akal yang
terbentang dalam otakku. Aku seperti dikendalikan. Menurut saja untuk mencari
tahu eksistentinya dalam kepalaku.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Siti macam apa yang mampu mematikan segala
fungsi dalam otakku? </i><br />
<br />
Aku tak mampu menjawab. Bukan karena tak bisa. Melainkan
aku tak pernah bisa mengingat nama itu, selain nama temanku yang menghilang
setelah menikah dan nama dalam papan tulis muram yang selalu menjadi bahan ajar
guru-guru sekolah dasar.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Sejak
malam itu, Siti tetap hidup di kepalaku.<br />
<br />
<i>NB: Naskah ini terbit juga terbit di </i><a href="http://buletin.teaterkinasih.org/konten-utama/naskah/item/200-perempuan-dalam-kepala" target="_blank">Buletin Kinasih</a>.</div>
Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3028161220872539317.post-70409988488523933562015-01-08T00:33:00.000+07:002015-01-08T00:34:36.330+07:00Mengenang The Adams<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJLcIkaZ4uVcLNXSsqgORxjIgljE0yYAWKZOw45cFvb7GeOIUxo9HENjd2RXNgNxOLlJo_LivRkqLBuyWX-EbZjXw5KSuxmLW_VB8CW6A1x3jb9BA-yTnqsuet_vbQhF1cGHIaKgzeduk/s1600/the-adams.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJLcIkaZ4uVcLNXSsqgORxjIgljE0yYAWKZOw45cFvb7GeOIUxo9HENjd2RXNgNxOLlJo_LivRkqLBuyWX-EbZjXw5KSuxmLW_VB8CW6A1x3jb9BA-yTnqsuet_vbQhF1cGHIaKgzeduk/s1600/the-adams.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">The Adams</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
Langit
malam ke tujuh di tahun yang baru ini begitu cerah. Saya melihat ke arah Timur,
tempat di mana bulan tak bisa bersembunyi. Hanya ada satu bulan. Bukan dua
bulan seperti dalam novelnya Fuka-Eri, yang ditulis dengan bantuan Tengo, dalam <i>1Q84 </i>milik Haruki Murakami.</div>
<a name='more'></a><div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Sudah
lama saya tak menyalakan komputer. Sore tadi, entah karena apa, saya menyalakannya.
Banyak file lawas tertumpuk Local Disk (C). Salah satu di antaranya, lagu-lagu
The Adams. Dari “Konservatif” sampai bonus-bonus lagunya yang saya unduh secara
ilegal. Peduli setan. Angin yang kencang seolah menyuruh saya untuk
mendengarkannya. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Sejak azan magrib selesai, saya terpaku di depan layar monitor yang berdebu. Lagu-lagu The
Adams terus melantun. Lagu-lagu yang mengingatkan saya pada film <i>Janji Joni</i>,
pada seragam sekolah yang mirip seragam supir taksi, pada tiga bulan di
Jatinangor. Lagu-lagu yang dahulu menjadi <i>soundtrack </i>masa transisi kemaluan
yang tadinya rapi, menjadi berbulu. Konservatif.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<i>Dan aku kan berada di teras rumahmu/</i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<i>Saat air engkau suguhkan/</i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<i>dan kita bicara tentang apa saja//</i> </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Saya
begitu hafal The Adams, wabil khusus lagu “Waiting” yang selalu menemani
Backside Terror –baik di panggung atau di studio. Ah, Backside Terror! Band idola
SMK Desa Putera era 2007-2010. Tak pernah saya bayangkan pernah membuat band
yang menjadi idola pemuda-pemudi SMK –kalau tak mau disebut STM- Desa Putera. </div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Dus,
Backside Terror saat ini sedang dalam hiatus. Sejak berapa tahun lalu, saya
juga lupa. Yang pasti, semenjak itu pula saya jarang membawakan dan/atau
mendengarkan lagu-lagu The Adams. Cukup lama, sampai akhirnya malam ini tiba.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
The
Adams adalah masa lalu, saat saya tak mengenal waktu. Bukan masa kini, di mana
saya mengenal waktu, namun diam-diam tak mau berteman dengannya. Ia harus ditinggalkan.
Ditaruh dalam folder-folder tak terjamah dengan balutan perangkat keras yang
berdebu. <i>Suddenly everything has changed</i>, kalau kata The Flaming Lips. Bukan The Adams, tapi waktunya.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
Malam
ini terang bulan. Saya keluar sebentar untuk memandangnya. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ikan-ikan pasti sedang mencari makan</i>, lamunan saya saat tersadar, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">pasti banyak yang lagi mancing di Setu
Babakan</i>. Sayup-sayup, “Waiting” berganti “Halo Beni”</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<i>Bicara/ </i><br />
<i>Tiada arah dan juga tujuan/ </i><br />
<i>Apa saja muncul ke permukaan/ </i><br />
<i>Semoga matahari
terlamat datang/</i><br />
<br />
<i>Oh
crazy.../</i><br />
<i>Oh
Beni.../</i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<i>Oh
crazy.../</i></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-left: 0cm; text-align: justify; text-indent: 0cm;">
<br />
<i>Haloooo..../</i><br />
<i>Beni-beni-beni-beni....//</i></div>
Bayu Adji Phttp://www.blogger.com/profile/13571079205438666703noreply@blogger.com0