Pages

25 September 2012

Durhaka Senja

Senja tak terlihat keemasan pada hari itu. Kampus yang lama kemarau menjadi semakin panas walaupun senja sudah datang. Gegap-gempita ratusan mahasiswa baru terdengar di sekitar. Seluruh kegiatan mulai dilakukan.

Seorang mahasiswa, Acong namanya, ingin memberikan surat perizinan ruangan kepada dosen, yang berusuran dengan kemahasiswaan, di kampusnya. Acong, pemuda berpenampilan kurang sopan, terpaksa harus membeli map –agar kelihatan formal-untuk menaruh suratnya itu. Dia menyulut sebatang rokok kretek lalu berjalan menuju gedung rektorat, ruangan dosen yang bersangkutan. Sebelum masuk, Acong, yang mesih menyimpan sedikit rasa sopan santun, menaruh rokoknya di bebatuan sebelum masuk ke gedung rektorat. Di meja resepsionis, seorang perempuan berparas manis yang sedang bertugas bertanya, “mau ngapain lu?”

“Mau ngasih ini(menunjukkan surat yang dibawanya, Mbak.”

“Surat apaan tuh?”

“Surat buat minjem ruangan, buat latihan UKM.”

“Oh... itu mah di kasih ke BAU (Badan Administrasi Umum) aja, nanti dari BAU langsung dikasih ke dosen. Yah, paling dua hari lu balik lagi!”

“Oh.. gitu, Mbak? Oke deh.”

Acong pergi ke BAU yang jaraknya beberapa meter dari meja resepsionis sambil melanjutkan menghisap rokoknya yang masih menyala. Jalan terasa panjang dengan kekesalan yang belum sempat memuncak. Langkah gontai terus dipaksa untuk sampai ke muka. Tiba saatnya berbicara.

“Mas, saya mau ngasih surat peminjaman ruangan, tapi katanya suruh ditaruh di BAU.” kata Acong kepada petugas BAU yang wajahnya berbanding terbalik dengan resepsionis yang sebelumnya ditemui.

“Sini coba saya lihat! Ini maha langsung kasih ke orangnya aja atau titip di meja resepsionis!”
“Lah, tadi kata resepsionis, ditaruh di BAU!!??”

“Enggaklah, BAU itu surat buat pimpinan doang.” Kilah penjaga BAU.

“Gitu ya? Yowes saya kasih ke resepsionis aja.” Tuntas Acong yang jadi jengkel.

Ia mencoba tetap tenang dengan menghisap kretek yang masih di tangannya dan kembali lagi ke meja resepsionis. Dihabiskan kreteknya itu sebelum sampai depan pintu masuk. Kemejanya yang lecek dibiarkan kancingya terbuka agar nampak layaknya seniman akademika yang tetap tenang meskipun kesal.

“Mbak, tadi saya disuruh orang BAU kasih langsung ke dosen”

“Masa sih? Sini suratnya, gue telepon dulu orangnya.”

Dua kali, resepsionis tersebut menelpon dengan sambungan pararel, namun tetap tak ada jawaban dari dosen yang bersangkutan.

“Gak diangkat terus... nih gue kasih nomernya aja.” Sambil dicatatkan nomer handphone dosen yang bersangkutan ke sobekan kertas yang baru saja dirobeknya.


Acong yang lelah dan jengkel karena sudah mondar-mandir namun tak juga dapat kepastian. Pikirannya tambah bingung ketika resepsionis tersebut memberikan nomer handphone kepadanya. “itu kan ada telepon, kenapa gak ditelepon sekalian?” gusar dalam hatinya. Ia lantas keluar meninggalkan meja resepsionis dan mencoba menelpon dengan handphone-nya sendiri. Tak lama kemudian teleponnya diangkat. Acong yang sudah lelah langsung menjelaskan maksudnya ingin menemui dosen itu. Setelah percakapan yang singkat dengan dosen yang bersangkutan lewat telepon, ia mendapat kepastian bahwa surat izinya itu tinggaharus ditaruh di BAU.

Acong yang semakin merasa dikerjai oleh sistem birokrasi ini bergegas ke BAU dan menyerahkan surat itu kepada petugasnya. “Mas, tadi dosennya sudah saya telepon. Katanya ditaru di BAU aja.”

“Oh, yaudah sini...” enteng petugas BAU itu menyaut.

Kekesalan berubah menjadi dendam yang membatu, berpotensi menghancurkan. Senja mulai hilang seraya mengakhiri seluruh kegiatan.