Pages

25 June 2014

Matilah Segala yang Kau Ketahui!

Dok. Teater Kinasih (Rohro)
“Aku ingin bicara,” ucap Gerbong 4.

“Jangan!’” tahan Gerbong 1.

“Aku tetap inging bicara.”

“JANGAN!!” Gerbong 1 marah sambil membungkam mulutnya sendiri, sementara Gerbong 2 menutup matanya dan Gebong 3 menutup kupingnya.

Keempat tokoh itu saling beragumen antara ingin melanjutkan perkataannya atau tidak. Sampai akhirnya mereka berempat berbicara dengan suara yang tidak jelas, lalu semuanya tertawa dan perlahan keadaan mulai hening.

“Semakin kita tahu banyak, semakin semakin kita tidak tahu apa-apa. Semakin kita tahu, semakin kita tahu bahwa kita tidak tahu. Dan, semakin kita tahu bahwa kita tidak tahu, semakin kita sampai pada titik pengetahuan yang dashyat.” Gerbong 2, 3 dan 4 bergantian mengucapkan kalimat-kalimat tersebut, dalam naskah drama PRIIIIIIIIIIIIIIITTTT!!!!! KUNG-KUNG (unduh naskah drama di sini).

Naskah drama absurd yang ditulis Pry S Pry ini menceritakan tentang sebuah kondisi di mana semua mengetahui banyak hal, namun pada akhirnya semua harus celaka akibat pengetahuannya sendiri. Mereka, dengan pengetahuannya, memaksakan diri untuk terus mencari tahu sesuatu yang tak sepantasnya mereka tahu.

Saat membacanya, yang terbayang sebuah situasi di mana semua orang mengetahui segala hal, namun orang itu justru terjebak akibat pengetahuannya sendiri. Sebuah situasi yang dilematis, dan akhirnya orang-orang memilih untuk menjadi apatis berjamaah.

Kemajuan Teknologi dan Menghilangnya Jati Diri Bangsa 
Peradaban manusia semakin berkembang. Internet bukan lagi hal yang aneh di kuping seorang urban modern kota metropolitan sepanas Jakarta, ibukota negara yang katanya berasal dari dunia ketiga, dunia yang dianggap tak pernah maju. Saat ini, dengan internet dunia dapat tergambarkan dalam sebuah layar monitor yang berukuran tak lebih besar dari bungkus rokok sekalipun. Semakin banyak hal yang bisa dipelajari dari dunia yang teramat canggih seperti saat ini. Semuanya bersumber pada pengetahuan manusia.

Kemajuan peradaban manusia sangat membantu. Bayangkan. Seorang manusia yang berada di pinggiran kota Depok, mungkin saat ini bisa tahu apa yang terjadi di kota metropolitan sekelas New York, yang berada di belahan bumi lain.

TMC Polda Metro pun lebih nyaman memberitahukan jalan yang layak dihindari ketika kemacetan, sehingga kita dapat menghindarinya agar cepat sampai pada tujuan. Sehingga, wajah polisi kita akan selalu terlihat manis di linimasa Twitter -pun fungsinya untuk mengurai kemacetan menjadi tak berguna. Betapa mudah semuanya dilakukan.

Namun celakanya, kalau manusia hanya mengandalkan informasi dari dunia maya, mereka tentu tak akan pernah keluar dari ruang nyaman yang menghalangi sengatan panasnya matahari dan berhembus air conditioner (AC). Mereka hanya hidup dalam mitos-mitos dunia maya tanpa pernah tahu realitas yang sebenarnya. Dan, semakin kita mengetahui, semakin kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Kemajuan teknologi telah mempermudah segala hal. Namun, selalu ada orang-orang yang mengutuk kemajuan teknologi. Tidak sedikit orang yang hanya bisa menyumpahi keadaan tanpa bisa berbuat banyak. Kita lebih senang memaki jalanan Jakarta yang macet daripada harus berbuat sesuatu untuk menguranginya, seperti kita akan lebih senang menyapa lewat twitter, sementara tetap berdiam ketika ada fisik manusia membuka wacana.

Sudah menjadi sifat dasar bahwa manusia akan selalu mencari kambing hitam dari segala kerusakan yang ada. Tak ada lagi anak-anak yang bermain bola sepulang mengaji di sore hari. Tak ada lagi suara-suara bising anak-anak di bawah pohon beringin ketika akhir pekan tiba. Bahkan, pohon beringin itu pun ikut tiada.

Saat ini, semua nyaman dalam aliran permukaan yang tenang, meskipun di kedalaman, arus sedang mengalir kencang. Selalu kemuajuan peradaban yang menjadi kambing hitam atas hilangnya jati diri bangsa.

Tentu ada sistem yang salah. Pendidikan yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai budaya Indonesia, justru semakin terjerat dalam masifnya budaya populer.

Peran media, khususnya televisi, yang diharapkan bisa mencerdaskan justru semakin menyesatkan generasi muda dengan kenyataan palsu yang setiap hari semakin menjadi nyata. Generasi kita adalah generasi yang hidup dalam mitos-mitos yang diciptakan oleh lingkungan sekitarnya.

Lantas apa? Sekarang kita hanya bisa menyalahkan keadaan. Memang sifat dasar manusia adalah mencari pembenaran untuk sudut pandangnya sendiri. Dan lagi-lagi, keadaan menjadi kambing hitam.

Budaya Pikir Dulu, Jalan Nanti 
Informasi sudah dengan mudah dapat diakses. Bahkan, referensi untuk berbagai macam hal dapat ditemui sesaat setelah kita membuka mata. Dari situ, lahirlah generasi pemikir yang handal. Naskah PRIIIIIIIIIIIIIIITTTT!!!!! KUNG-KUNG pun rasanya memang diciptakan untuk generasi pemikir seperti kita sekarang.

Ya, sudah bukan hal yang mengherankan bila banyak orang-orang yang sudah menua berkata, “Anak-anak muda sekarang itu mukanya tua-tua ya?” Memang benar. Generasi kita adalah generasi pemikir yang handal. Saking benyaknya berpikir, raut wajah kita bertambah tua sebelum waktunya.

Bukan hanya itu yang mendasari bahwa generasi kita adalah generasi pemikir. Namun tak ada hasil konkret dari segala sesuatu yang kita pikirkan dalah bukti nyata bahwa kita lebih banyak berpikir daripada bertindak. Semua tindakkan yang akan dilakukan selalu dipikirkan. Bukan memikirkan langkahnya, namun memikirkan hal-hal yang tidak diingikan. Setelah itu, tidakkan terhalang oleh hambatan yang terpikirkan. Selalu seperti itu, selalu kalah sebelum perang.

Ada perasaan curiga yang muncul dalam setiap perkumpulan. Perasaan ketakutan akan adanya seseorang yang akan menusuk dari belakang. Dan, suatu tempat yang dikelilingi rasa curiga akan selalu menjadi tempat tidak nyaman.

Tak ada lagi kepercayaan antara satu dengan yang lainnya, sehingga rasa curiga melulu menjadi momok yang membuat kita mati langkah. Semua merasa paling tahu. Andai ia bisa membelah diri, pikirnya.

Segala bentuk pengetahuan telah menjerumuskan seseorang ke dalam raksasa ketidaktahuan yang lebih besar. Ketidaksiapan mental dalam menerima pengehatahuan juga hanya akan menjadi bumerang untuk menanam rasa curiga yang siap untuk dikulminasikan.

Dari segala kontradiksi yang terpaparkan, pantaskah pengetahuan menjadi sasaran amukredam atas rusaknya mental dan budaya bangsa? Tentu tidak. Manusia adalah makhluk yang berpikir (homosapiens) dan bermain (homoludens). Jadi alangkah naifnya kalau pengetahuan dijadikan kambing hitam dan kita harus meninggalkannya untuk hidup dalam ketidaktahuan.

Yang perlu kita lakukan adalah mempersiapkan mental untuk menerima pengetahuan yang lebih dahsyat dan mulai bermain-main dengan kedidaktahuan yang lebih mencekam.

Benar, kemajuan ilmu pengetahuan akan selalu mempunyai kelemahan, mempunyai efek negatif yang tidak bisa dianggap main-main. Kelemahan dari majunya ilmu pengetahuan bukan untuk terus-menerus dikutuk, tapi perlahan kita harus beradaptasi agar bisa bernegosiasi dengan sistem yang ada di dalamnya.
***

Dan, di akhir adegan cekcok antara Gerbong 2, 3 dan 4 di atas, Gerbong 1, yang merupakan pemimpin gerbong, membentak, “MATILAH SEGALA YANG KAU KETAHUI!” Seluruh gerbong terjatuh seperti lemas dan keracunan, sampai akhirnya mereka statis, kecuali Gerbong 1 yang pergi dan mencari gerbong baru untuk berjalan bersama.

No comments:

Post a Comment