Pages

24 June 2014

Realitas dalam Sastra


Meminjam kata-kata dalam kumpulan esai, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara milik Seno Gumira Ajidarma, "Jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, namun kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Buku Sastra bisa dibredel, tetapi kebenaran dan kesustraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tak tertahankan."

Jurnalisme sudah bebas dari agen pembredelan yang telah runtuh bersama jatuhnya kekuasaan yang telah berdiri 32 tahun. Reformasi membuat media massa yang tadinya tunduk berubah menjadi bingung. Bingung mencari musuh bersama yang dapat dilawan secara diam-diam. Musuh tak pernah datang, dan perlahan, media menjadi ladang industri yang subur. Yang dahulu dipaksa bungkam, sekarang justru sengaja bungkam.

Saat ini, dalam era yang selalu dibanjiri oleh informasi serba cepat seperti ini, kita terus tenggelam dalam tumpukan kata demi kata yang semakin lama semakin tak terarah. Setiap menit, muncul berita demi berita yang kurang memikat. Para pewarta terus-menerus membuat tanda demi terpenuhinya dapur keluarga. Di tengah gempuran informasi dangkal tak mendalam, kita semua hampir tak sempat lagi meluangkan waktu untuk mengalisa informasi yang lewat dengan serba cepat tersebut.

Tak hanya itu, berita-berita yang disajikan lebih memilih isu tentang dunia yang rumit, yang kita pun tak bisa berbuat banyak untuk merubahnya. Teks kacangan, yang hanya berpedoman pada struktur 5W + 1H, terus ditampilkan hingga pada saatnya kita tak lagi bisa melihat kemanusiaan dalam tumpukan kata yang tersedia. Semuanya melulu masalah yang berat dan menghilang secara cepat, mungkin yang bisa sedikit bertahan hanyalah gosip-gosip selebriti, pun hanya di kalangan antar-pagar rumah tangga. Tak telihat lagi adanya isu humanisme yang terangkat secara jelas. Pun muncul kisah yang humanis, bisa diperkirakan bahwa hal itu merupakan setingan realitas, yang lebih kita kenal dengan reality show.

Mengutuk media arus utama merupakan sebuah teriakan yang sia-sia. Dalam kebobrokan industri media yang semakin merajalela, beruntunglah masih ada segelintir manusia yang berusaha menciptakan medianya sendiri. Merebaknya situs-situs independen yang masih bersih dari tuntutan ‘menampilkan berita pesanan’, adalah angin segar dalam kehidupan di bangsa yang melulu kacau ini. Isu humanisme mulai terangkat kembali melalui berbagai teks. Penulis-penulis amatir mulai menggandrungi isu humanisme yang terlihat lebih seksi ketimbang curhatan cengeng a la remaja urban. Dengan analisis seadanya, mereka mencoba mengangkat sesuatu yang tak seharusnya terlupakan. Isu kemanusiaan.

Bolehlah kita sedikit tersenyum melihat fenomena yang sedang terjadi. Tapi tunggu. Berapa banyak masyarakat kita yang membaca situs-situs independen? Mungkin yang membaca hanyalah teman-teman kita yang sepaham, paling banter temannya teman kita. Ya, masih bekutat di lingkaran kecil. Media dalam bentuk berbeda –berani melawan arus yang semakin memberikan kenyataan palsu- mutlak diperlukan sebagai penyebaran isu humanisme kepada lingkaran yang lebih besar.

Seno Gumira Ajidarma, sebagai orang yang pernah hidup dalam bayangan teror Orde Baru, tak berhenti melawan melalui karya-karyanya. Kumpulan cerpennya yang dibukukan menjadi Saksi Mata, lebih dipercaya sebagai kebenaran –mengenai pembantaian di Santa Cruz pada tahun 1991- daripada naskah-naskah berita yang diterbitkan oleh media-media Palmerah, yang satu suara kala itu. “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara,” begitu pikirnya, yang juga menjadi judul buku yang menutup rangkaian Trilogi Insiden.

Tak berhenti lewat sastra, Seno juga memanfaatkan panggung pertunjukan sebagai cara untuk mengangkat isu humanisme. Saat media yang diasuhnya dimatikan oleh agen pembredelan, Seno mengubah kantor media yang kosong sebagai tempat latihan teater. Ia telah kehilangan harapan untuk menyampaikan isu kemanusiaan melalui media arus utama. Menurut Seno, headline di media massa seharusnya diisi oleh masalah kemanusiaan, tentang para korban yang hilang, bukan tentang perilaku badut-badut politik di Senayan dan sekitarnya atau peristiwa sensasional tentang apapun yang tidak penting.

Melalui teater, ia mencoba menuangkan fakta-fakta yang tak sempat terbit di media massa, secara jujur. Itu adalah cara Seno untuk meneruskan profesinya sebagai wartawan. Pertunjukkan teater, sadar atau tidak, adalah usaha menyampaikan pernyataan kepada penonton, layaknya berkomunikasi.

Lewat naskah, lakon dan pementasan teater, kemanusiaan dapat kembali terangkat ke lingkaran yang lebih besar. Syukur-syukur bisa diliput oleh media arus utama dan akhirnya muncul juga di media yang tersebar masyarakat luas –pun kecil kemungkinan menjadi headline.

Dengan kesempatan untuk menyampaikan pesan melalui pementasan, teater tak harus meninggalkan esensinya sebagai hiburan. Seperti itulah kerja teater, menyampaikan pesan tentang manusia secara menghibur. Memaksa sutradara, pemain, tim produksi dan bahkan penonton untuk berpikir, berusaha untuk jujur dengan menertawakan diri sendiri, menangis dalam canda, marah kepada angkasa. Karena teater, selain menjadi sebuah hiburan, merupakan ilmu tentang manusia.

Pernah dimuat juga di Buletin Kinasih.

1 comment:

  1. sangat membantu sekali gan..terima kasih. silakan kunjungi balik di sini.

    ReplyDelete