Pages

16 June 2014

Sesosok Suara dari Timur Dekat

Buku Gambar Sketsa J. H. Dowd
Rokok di dalam kotak merah itu hanya tersisa tiga batang. Kata-kata yang kujanjikan untuknya belum lagi selesai kutuliskan. Entah mengapa, malam ini sungguh tak menginspirasi. Tak seperti kemarin, ketika malam menerbangkan balon udara berisi aksara yang rakus untuk keluar, bergerak pelan mengelilingi ruangan. Aku telah mati akal.

Rokok pertama aku hisap. Kata-kata untuknya tak juga mau keluar. Aku ingat ketika pertama melihatnya –atau mendengar suaranya- di sebuah ruangan gelap berisi debu yang entah hadir dari mana. Badanku lelah saat itu. Namun suaranya membawa angin yang terasa nyata dalam ruangan gelap dan penuh debu itu.

“Sudah lama aku menantikanmu,” ucapnya dingin saat itu.

Aku diam. Aku kenal suara itu, namun tak tahu dari mana datangnya. Ruangan itu begitu gelap dan berdebu. Aku buka lebar telingaku, mencoba merasakannya.

“Kamu yang menyuruhku datang ke tempat ini, datang menemuimu sendiri,” ucapnya lagi.

Kali ini aku bisa melihat sosoknya, namun aku tetap diam. Aku lupa kapan pernah menyuruhnya datang ke tempat ini. Aku sendiri, tak tahu kenapa hari itu berada di tempat itu. Gelap, kotor dan penuh debu.

“Kenapa kamu diam? Apa yang ingin kamu bicarakan hingga harus mengajakku ke tempat ini? Mengapa wajahmu terlihat begitu lelah? Apa kamu sudah makan?” tanyanya bagai berondongan peluru.

Aku belum juga tahu harus menjawab apa. Aku tak juga mengerti kejadian ini. Aku tak ingat siapa dia, namun aku mengenal suaranya. Siapa dia, gerutuku dalam hati. Antara ingin pura-pura kenal dan bersikap acuh, aku bingung harus melakukan apa. Aku memilih untuk tetap diam.

“Kalau kamu terus diam, aku lebih baik pergi,” perlahan ia membalik tubuhnya, berjalan menuju cahaya kecil di ujung sana yang membentuk tubuhnya menjadi siluet.

Aku tetap diam, dia pergi. Sebelum bayangan menghilang, dia sempat menoleh ke arahku dan aku janjikan untuk menemuinya kelak, tanpa suara. Aku akan mencarinya meski tak tahu dimana harus mencarinya. Atau sesungguhnya aku tahu, namun pura-pura tidak tahu. Pikiranku membawa berkeliling kegelapan yang berdebu itu. Aku terus berbicara dalam diam.
***

Kata-kata itu belum juga selesai. Bahkan untuk memulai kalimat pertama pun tanganku gemetar, membayangkan suaranya yang dalam namun tenang, kecewa, melihatku tetap diam.

Jam di tangan kiriku sudah menunjukan pukul 02.32 am. Jam itu lebih cepat sepuluh menit dari jam di layar telepon genggamku. Memang sengaja, agar hidupku tak berpatok pada satu jenis waktu yang sama.

Rokok pertama yang tadi kuhisap hampir habis. Aku mencoba memulai, namun tak ada yang keluar. Hanya kepulan asap yang perlahan mengangkasa, bergabung menjadi awan untuk menciptakan jutaan kilowatt listrik yang mengagetkan, dan cepat menghilang.

Aku membayangkan dirinya seperti seperti petir, menyengat tak teratur, meninggalkan luka bakar yang entah kapan bisa menghilang. Atau luka itu akan permanen, membekas dalam ingatan. Aku ingin ia menjadi kelinci mungil yang berlari kecil ketika ada wortel yang kujulurkan. Menyantap habis wortel itu dengan giginya yang rakus, lalu memasang muka menggemaskan. Tapi ia bukan kelinci yang bisa dimiliki. Ia juga bukan petir yang menghasilkan energi. Ia adalah segala sesuatu yang belum, mungkin tak pernah kuketahui. Sesuatu yang hadir dalam ruang di mana aku pernah di dalamnya. Ia adalah suara, yang hadir dan menyejukkan.

Rindunya ayam memanggil matahari telah terdengar. Rokok di dalam kotak merah itu masih tersisa dua batang. Aku putuskan pagi ini, aku masih belum punya keputusan. Namun suaranya lagi-lagi hadir. Mengagetkan.

“Aku menunggumu, di tempat dulu kita bertemu. Dalam kegelapan ruangan yang berdebu.”

Suara itu terus berulang. Aku pusatkan kemampuan telingaku mendengar, mengikuti arah suaranya. Suara itu semakin jelas, besaral dari Timur dan kemudian mendekat.
***

“Bangun luh! Udah jam berapa nih? Solat subuh dulu sana,” dengus Emak, dengan rambutnya yang masih berantakan seperti singa, membangunkanku di depan laptop yang masih menyala di ruang tamu.

Pagi ini kepalaku sangat pusing namun gelombang alfa otak membawa pikiranku terdampar pada satu tujuan. Perutku lapar namun juga mulas. Aku tak bisa mengingat apa yang terjadi semalam. Hanya satu yang kupikirkan, aku mengirimkan pesan untuknya yang entah apa isinya karena langsung kuhapus bersih kotak masuk dan keluar dalam menu pesan. Balasan juga tak kunjung datang. Semalam aku minum terlalu banyak. Aku tak solat subuh dan melanjutkan tidur di kamarku.

No comments:

Post a Comment