Pages

04 May 2014

Menjadi Udara


Lembar kertas masih itu tergeletak di dasar kamar. Surat yang dulu pernah dikirmkan kepadaku. Aku masih belum mau membukanya lagi. Aku ingat, saat dulu membukanya, aku tak berani untuk datang ke kamar ini, hingga hari ini kuberanikan diri. Kata-kata yang ada di dalamnya adalah diksi tebaik yang pernah ada di semesta: Kematian.

Dadaku akhir-akhir ini terasa sesak. Entah sudah berapa lama dada ini sesak. Aku tak ingat. Entah berapa lama pula kamar ini kosong. Aku tak ingat kapan terakhir kali menempatinya. Yang kuingat, ada pengirim surat yang datang, lalu pergi sekelibat. Tak ada yang kuingat lagi. Bahkan wujud si pengirim surat itu pun aku lupa. Mengapa aku begitu pelupa? Tapi sesak ini tak juga mau pergi. 

Bayangan pengirim surat itu masih terus menggerogoti ubun-ubun kepalaku. Aroma tubuhnya masih melekat dalam hidungku. Aku mencoba tenang, berpikir tenang, sambil perlahan menyalakan sebatang rokok yang baru kubeli di lantai bawah rumah susun. Asap yang kuhembuskan membawakan keberanian untuk mulai mengambil kertas yang hampir menguning itu.

“Kalau kau membaca surat ini, tahulah kau bahwa aku telah menjadi udara. Ya, udara yang saat itu kita hisap bersama. Malam yang perjudian terbesar dalam hidupku. Mungkin kau sudah lupa tentang nikmatnya udara malam itu. Tapi aku telah memustuskan untuk menjadi udara. Aku akan selalu kau hisap. Aku akan membantu mempercepat kerja jantungmu yang kau rusak perlahan dengan rokok busukmu itu.”

Aku menghela nafas, melihat ke arah jemari yang mengapit sebatang rokok yang kuhisap. Tak terasa ludahku telah tertelan lagi saat aku memandangi rokok yang abunya mulai jatuh itu.

“Kau tahu, aku tak pernah menyesal melakukan perjudian denganmu. Aku telah menikmatinya, menikmati segala udara yang kita hisap bersama. Alangkah indahnya bila kau juga masih mengingatnya. Aku adalah udara yang kau hisap hari ini. Udara sesak dalam kamar kecil. Udara yang mempengaruhi kerja otakmu. Udara yang membawa kau kembali ke tempat ini. Aku adalah udaramu.”

Aku melipat kertas itu, tak sanggup melanjutkannya. Aku hapal benar dengan peristiwa yang dituliskan si pengirim surat. Namun yang paing menjijikan adalah, aku tak bisa ingat siapa pengirim itu.

Rokok yang belum sebat kumatikan telah mati dengan sendirinya. Aku rubuhkan tubuhku di atas kasur. Tenggelam. Dalam ruang sempit itu, segala kesesakan terasa dalam udara yang kuhisap.

Aku mencoba berhenti bernafas agar dirinya tak lagi ada. Aku tak bisa. Pikiranku berkejar-kejaran dengan bayangannya yang telah menyatu. Hanya bayangan dan selalu aku yang kalah. Situasi membuatku harus membutuhkan udara. Aku tersenyum kecut, menemukan titik lemahnya.

Tak bisa tidak, aku pun menjadi udara.

No comments:

Post a Comment