Pages

05 April 2014

Dari Teras Kita untuk Pemilih Muda

Kredit ilustari: Remotivi

Jurnalis dianggap sebagai nabi. Ia menyampaikan kebenarannya melalui media massa. Media massa adalah agama. Peran jurnalisme yang seperti itu, dahulu pernah dibahas dalam diskusi di Jakartabeat (Jurnalis Belum Mati: Tanggapan Untuk Esai Kompas Minggu Edy Effendi dan Jurnalis Belum Mati: Sebuah Kritik).

Di tengah partai politik yang sedang giat-giatnya berkampanye, kenetralan media massa, terutama televisi dan radio, kembali dipertanyakan. Kepada siapa media massa berpihak? Roy Thaniago mengungkapkan bahwa frekuensi, yang digunakan oleh televisi dan radio, itu milik publik. “Koran boleh partisan, koran bertanggung jawab pada hutan yang pohonnya harus menjadi kertas. Namun televisi dan radio menggunakan frekuensi yang dimiliki publik,” ucap Roy.

Wacana frekuensi itu milik publik memang masih menjadi asumsi. Dasar sebenarnya, frekuensi dimiliki oleh negara dan digunakan untuk kepentingan rakyat. Lalu, bila tanah yang kasat mata saja bisa di jual oleh negara, mengapa frekuensi tidak?

Berikut adalah laporan jalannya diskusi yang berlangsung di Teras Kita, Kamis (3/4) kemarin;

Sudah lumayan banyak orang-orang yang berkumpul di Lantai tiga, gedung yang beralamat di jalan Kemang Raya no 83 H, Jakarta Selata. Mereka adalah orang-orang yang datang untuk mengikuti Seri Diskusi Pemilih Muda yang digelar oleh Pamflet.

“Mas, ayo, mas. Acaranya mau mulai,” tegur seorang penitia perempuan kepada saya. Saya pun langsung memasuki ruangan, yang telah dijajar beberapa bangku dalam empat barisan untuk peserta diskusi.

Seorang moderator yang kecil dan manis itu membuka acara dengan memperkenalkan para pembicara kepada semua yang hadir. Adalah Indah Yusari (Pamflet), Aryo Wisanggeni (divisi advokasi Aliansi Jurnalis Independan Indonesia), John Muhammad (Public Virtue) dan Roy Thaniago (Remotivi). Tema yang diangkat dalam hari ke dua Seri Diskusi Pemilih Muda ini adalah “Media Massa, Masa Sih?”

Indah Yusari mendapat giliran pertama dalam memaparkan materinya. Dari data yang tertembak oleh proyektor di dinding ruangan Teras Kita, ia menyebutkan bahwa sebagian besar anak muda di timur dan utara Jakarta masih mengandalkan media mainstream untuk memperoleh informasi.

Di sisi lain, peran media massa dalam menentukan pilihan anak muda itu masih sangat besar. Alih-alih memberikan informasi yang independen kepada mereka, media justru menggunakan kelebihannya untuk mengasung partai politik tertentu.

“Perlu gak sih kita percaya pada media?” tegas Ayu dalam mengahiri penjelasannya.

Kali ini giliran Om John –sapaan akrab si moderator manis kepada John Muhammad- yang berbicara menerangkan pembahasannya. Ia tak membawa data yang ditembakkan oleh proyektor ke dinding ruangan, hanya berdasarkan ingatan.

John banyak mengutip Sherry Arnstein dalam mwnyampaikan materinya. “Demokrasi akan berjalan sempurna bila partisipasi rakyat juga kuat,” ucapnya mengutip Arnstein. Menurutnya, salah satu sarana bagi masyarakat untuk menjalankan partisipasinya adalah melalui media.

Sebagai contoh, John mengungkapkan bahwa melalui internet, jarak penguasa dan rakyat seakan semakin dekat. Orang-orang bisa berinteraksi, bahkan mengolok penguasa , hanya lewat internet. “Internet merupakan sebuah potensir, ruang intervensi terhadap informasi ada di tangan rakyat. Tanpa keterlibatan rakyat, ruang kosong itu akan terebut oleh korporasi yang telah menguasai media konvensional lainnya –televisi, koran dan radio,” jelasnya.

Namun, menurut John, ada satu yang masin menjadi ancaman dari Internet; kebodohan masih menjadi momok dalam kebanjiran informasi tersebut. Akibatnya, seluruh informasi diserap dengan setengah-setengah, lalu disuguhi oleh informasi yang lain lagi. Dan seterusnya menjadi seperti itu, tanpa ada satu informasi yang tuntas.

Sepakat dengan John, Aryo Wisanggeni yang juga merupakan wartawan Harian Kompas, berpendapat bahwa internet merupakan media yang dapat dioptimalkan untuk menggalang partisipasi rakyat dalam mengontrol negara.

Aryo memulai penjelasannya dari sejarah pers di Indonesia. Dari masa penjajaha hingga reformasi. Mulai dari Tirto Adhi Soerjo sampai Mochtar Lubis.

Ia nampak menguasai bahan sejarah pers di Indonesia. Tirto Adhi Soerjo dijelaskan, melalui gambarannya mengenai tokoh Mingke dalam Tetralogi Buru milik Pramoedya Ananta Toer. Medan  Prijaji, sebagai koran pertama milik pribumi disebut-sebut sebagai pers perjuangan. Koran tersebut tak hanya menyediakan ruang untuk masyarakat dalam mengemukakan kritiknya kepada Hindia Belanda, namun juga menyediakan advokasi untuk membela mendampingi pribumi yang terjerat hukum.

“Sesuatu yang saat ini dilakukan oleh lembaga bantuan hukum, pada jaman kolonial sudah dilakukan oleh media massa,” ungkap Aryo yang menyayangkan perilaku media massa saat ini.

Menurutnya, semengat Medan Prijaji hanya bertahan sampai Mochtar Lubis dengan Indonesia Raya-nya. “Pada era Soekarno (1957), Lubis mengungkap dugaan korupsi Menteri Penerangan Roeslan Abdul Gani. Abdul Gani tak diproses, Lubis justru menjadi tahanan dan tahanan rumah hingga jatuhnya Soekarno oleh Soeharto,” terangnya.

Tak berhenti sampai di situ, Lubis yang menyatakan mendukung Orde Pembangunanisme justu dibredel oleh penguasa setelah laporan Indonesia Raya tentang kasus Malari (Malapetaka 17 Januari) 1974. Laporan itu bukan penyebab utamanya. Penyebab utamanya adalah investigasinya pada korupsi di Pertamina, yang menyebabkan dipecatnya Ibnu Sutowo. Ironisnya, reportase investigasi saat ini justru hanya menjadi merek dagang di salah satu televisi swasta, memberangus pedagang kecil curang secara perlahan dan tutup mata terhadap bisnis waralaba mini market tak sesuai dengan peraturan daerah.

Peran jurnalisme, menurut Aryo, telah dikebiri dengan munculnya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Media massa segera beradaptasi dengan adanya aturan baru dari menteri penerangan tersebut. Dan bila media massa terkena bredel, maka hilang pulalah SIUPPnya.

“Saat ini, ketika SIUPP tak lagi diperlukan untuk membuat media massa, justru media dikuasai oleh sedikit kelompok usaha,” jelas Aryo dan, “dari semua kelompok usaha itu, tak ada yang tidak memiliki usaha lain di luar bidang jurnalisme.”

Hal tersebut berarti media massa saat ini memihak kepada pasar. Dan yang paling menyakitkan, menurut Aryo, “Watak pemimpin redaksi atau editor media massa saat ini adalah watak orang-orang yang dibesarkan di bawah ancaman pembredelan.” Lembaga sensor fakta telah ada di dalam diri pemred dan editor hari ini.

Diskusi semakin asyik, dan moderator manis itu memberikan untuk pembacara terakhir menyampaikan materinya, Roy Thaniago dari Remotivi. Sejak awal, Roy nampak lebih kalem dari ketiga orang pembicara lainnya. Seingat saya, ia memulai dengan, “Materi yang saya bawa hampir sama dengan yang dijelaskan Aryo tadi. Nampaknya panitia tidak menentukan materi pembicara.”

Satu pukulan untuk panitia yang kurang sigap. Tak ada tanggapan, diskusi dilanjutkan.

Dari Roy, memang tak banyak materi baru yang dipaparkan. Ia hanya tak sepaham bisa media sosial di internet dapat dijadikan peluang. Menurutnya, isu utama yang dibahas di internet juga berasal dari media mainstream. “Saya lebih setuju mengubah pola pikir masyarakat lewat pendidikan, bukan hanya cuma ngetwit dan tak berbuat nyata,” ungkapnya.

Roy juga mengatakan bahwa motif seseorang membuat media massa saat ini, sangat berbeda dengan orang semacam Tirto Adhi Soerjo, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan angkatannya yang lain. “Motif orang sekarang dalam membuat media massa adalah berbisnis, bukan untuk perjuangan.”


Diskusi lalu menjadi dua ara ketika beberapa orang datang mengajukan pertanyaan, tentu saja melalui moderator yang manis itu. Dari berbagai kesimpulan yang disebutkan oleh moderator manis itu, saya hanya mengingat satu. “Ya, selemah-lemahnya iman adalah ngetwit untuk menyebarkan informasi yang berguna kepada yang lain,” ucap om John.

No comments:

Post a Comment