Pages

01 April 2014

Janji Datangnya Kereta Kencana

Foto: Hana Sola Gracia

Bunyi selo dan piano mengisi ruangan yang gelap. Cukup lama hingga akhirnya lampu panggung perlahan menyala.

Dengan lilin yang masih menyala, orang tua itu (Indrasitas) memasuki ruang tamu –yang sekaligus menjadi ruang keluarganya. Umurnya, semenjak dua hari yang lalu, telah memasuki dua abad. Rambutnya putih, kumis dan janggutnya jua, menutupi seperempat wajahnya.

Kakek itu duduk di bangku panjang yang muram. Lama ia termenung, sebelum istrinya (Sugiyatisa) masuk, membuyarkan lamunannya.

Mereka berdua langsung berbicara tentang suara-suara yang mengatakan: sebuah janji akan datangnya kereta kencana yang ditarik oleh sepuluh kuda satu warna. Entah dari mana asal suara itu. Namun mereka, pasangan tua itu, seakan sudah hafal dengan suara yang muncul tersebut.

Kekosongan menyelimuti hidup kakek dan nenek yang sudah lama menikah ini. Tak satupun keturunan didapatkan, meski mereka sangat merindukannya. Namun mereka selalu punya cara mengisi kekosongan hidupnya. Kadang mereka bermain menjadi badut, menjadi layang-layang, menjadi pagi hari, membaca puisi, berpura-pura memiliki anak, hingga akhirnya kekosongan kembali mengisi hidupnya. Mereka tersadar, semuanya hanya sandiwara. Tak nyata.

Dalam keheningan, tiba-tiba pintu rumah terketuk. Pasangan tua itu kedatangan tamu, seorang perdana menteri. Tak hanya perdana menteri, menteri, presiden, raja, hingga kaisar pun datang berkunjung. Namun para tamu itu tak berwujud.

Ramai betul rumah kakek-nenek itu oleh para tamu. Sampai-sampai rumahnya yang sempit dan bangku yang terbatas, pasangan tua itu tak mendapatkan tempat duduk karena penuh diduduki para tamu. Sang kaisar, salah satu dari tamu itu, minta diri. Tamu lain pun mengikuti.

Foto: Hana Sola Gracia

Pasangan tua itu memang sangat dapat mengatasi kekosongan, mengisi dan terus mengisi, hingga akhirnya tak ada lagi yang perlu diisi dari kehidupan. Mereka seakan membuat yang tak ada menjadi ada.

Hingga akhirnya, kereta kencana itu datang jua. Tak dapat perasaan mereka tergambarkan. Entah harus takut, atau malah gembira. Namun yang pasti, langkah tegap pasangan tua itu menunjukkan bahwa mereka telah siap dijemput olehnya.

Lampu padam. Tepuk tangan penonton –yang tak terlalu banyak- memenuhi ruang pertunjukan.

Studiklub Teater Bandung (STB) telah selesai dalam membawakan lakon Kereta Kencana sekaligus pameran kilas balik 55 tahun STB, di Bentara Budaya Jakarta, 27 & 28 Maret 2014, kemarin. Sebagai teater modern tertua di Indonesia yang masih aktif berproduksi, STB terlihat seperti bermain seadanya.

Properti yang minim, tata cahaya yang praktis dari awal hingga akhir tak banyak berubah, secara otomatis mengurangi pengadeganan pemain di atas panggung. Yang mungkin menjadi nilai lebih adalah kekuatan para aktornya dalam segi dasar permainan. Nanum setidaknya, melalui lakon Kereta Kencana, STB dapat menghibur penonton yang datang.

Kereta Kencana adalah sebuah lakon tragi-komedi, saduran WS Rendra atas naskah Kursi-kursi (La Chaises) karya Eugene Ionesco. Dalam naskah asli yang ditulis oleh Ionesco maupun Rendra, kedua tokoh di atas panggung itu berakhir dengan kematian. Namun rupanya, IGN. Arya Sanjaya sebagai sutradara, memiliki dalih yang kuat untuk mengubah akhir lakon tersebut.

“Naskah aslinya yang ditulis oleh Ionesco berakhir dengan pasangan itu bunuh diri. Namun itu terlalu menunjukkan pesismisme, jadi di bagian akhir, oleh Rendra hanya dibiarkan meninggal, tidak bunuh diri. Tapi untuk menghindari pesismisme, akhirnya saya mencari jalan tengah lagi. Jadi di ending saya biarkan penonton yang menentukan,” tutur sang sutradara.

Arya Sanjaya juga menjelaskan bahwa alasan STB membawakan lakon ini adalah untuk memuliakan seni peran. Menurutnya, di dalam Kereta Kencana terdapat pertumbuhan karakter yang jelas, di mana pertumbuhan karakter adalah sebuah yang penting dalam seni peran.

“Jadi sebenarnya lakon ini sudah dipentaskan di Bandung, Oktober lalu, memperingati ulang tahun STB ke-55. Ketika itu, ya, hanya dua orang ini yang ada waktunya untuk proses latihan. Yang lainnya kebetulan lagi sibuk segala macam,” sambung Arya sambil tertawa.

Dalam naskah ini, sepasang kakek-nenek menunggu akhir dengan mengharapkan terpenuhinya janji akan datangnya kereta kencana. Kondisi yang sama juga terjadi dalam masyarakat saat ini, di mana janji datangnya Ratu Adil yang tak kunjung terpenuhi.

“Intinya, masih pantaskah kita mengharapkan kereta itu datang?” tutup sang sutradara dengan pertanyaan balik kepada saya.

NB: tulisan ini dimuat di Buletin Kinasih.

No comments:

Post a Comment