Pages

23 June 2014

Beranda Taman Seni: Ketika Seni Berdampingan dengan Perlawanan

Foto: Fachrul Irwinsyah (Kaphac32)
Kehidupan di dalam kampus, yang ketika pukul delapan malam sudah dipaksa pulang, adalah suatu yang (sangat) tidak mengasyikan bagi sebagian mahasiswa. Mahasiswa membutuhkan tempat untuk menyalurkan hasrat mudanya dengan berbagai kegiatan di luar kuliah, setelah dipaksa menyelesaikan 150 sks (sistem kredit semester) dalam ruangan kelas dengan sirkulasi udara dan cahaya yang seadanya.

Namun, suasana kondusif yang baru tercipta saat matahari telah tenggelam itu sayangnya harus ditebas dengan jam malam. Ekspresi mahasiswa pun menjadi mandul dengan sendirinya, miskin karya. Tak lagi terjadi pergulatan pikiran, selain melulu tugas kuliah yang sudah membebani.

Jam malam ini mengingatkan saya ketika menonton film Gie, di mana Soe Hok Gie (diperankan oleh Nicholas Saputra) dan kawan-kawannya terpaksa tidur di stasiun ketika itu karena tak boleh berkeliaran saat malam. Betapa kasihan masyarakat saat itu. Mereka dipaksa tidur, dipaksa tidak berkumpul. Ketika jam malam diberlakukan, ketika musik ngak-ngik-ngok dikekang. Lagi-lagi, kesenian akan selalu terlihat manis ketika berdampingan dengan perlawanan.

Kremmasi, sebagai unit kegiatan mahasiswa, adalah salah satu yang dapat mengatasi peraturan kampus dengan cara mengadakan acara di luar kampus, yang tidak harus bubar ketika jarum jam menunjuk arah delapan.

Beranda Taman Seni adalah salah satu pembuktian Kremmasi yang dilaksanakan sehari sebelum ulang tahun Jakarta, sekaligus dua hari sebelum ujian akhir semester. Bertempat Soeltan Coffee, Ampera, Jakarta Selatan, acara tersebut dengan hangat dan meriah meyambut pengunjung yang mulai berdatangan.

Acara dimulai pukul delapan malam, tepat dengan peraturan kampus yang mewajibkan mahasiswa bubar dari kampusnya. Dibuka oleh tarian tradisional Kenari Kremmasi, Beranda Taman Seni resmi dimulai.

Amukredam adalah band pertama yang naik ke atas panggung. Suara drum, bass dan gitar mengiringi pembacan puisi Tomo, sang vokalis, di antara lirik-lirik lagunya. ‘Tuhan di Reruntuhan’ menjadi salah satu lagu yang membuat pengunjung diam. Mereka membacakannya –lirik dalam ‘Tuhan di Reruntuhan’ lebih layak dibilang dibacakan daripada dinyanyikan- dengan keras, menggema bersama distorsi musik yang menyesakkan ruangan.

Daya bius Beranda Taman Seni tak berhenti pada Amukredam. Aman Perkusi adalah salah satu penampil yang berhasil membuat crowd bernyanyi bersama. Yang menarik adalah ketika lagu yang dibawakan oleh Aman Perkusi merupakan lagu tradisi, tapi di sisi lain, crowd tetap tak canggung untuk membuat kor.

“Saya berterima kasih di sini, karena kalian masih hafal lagu tradisi,” ucap Agil, salah satu pemain jimbe Aman Perkusi.

Tak hanya Aman Perkusi yang mencuri perhatian, Cheers Oi! dengan naluri punk-nya berhasil membuat crowd untuk moshing bersama. Hawa panas yang diciptakan Cheers Oi! berhasil diredam oleh Sanggar Roda, di mana wajah-wajah lugu itu bermain dan bernyanyi dengan sederhana. Terlalu sederhana bahkan untuk membuat penonton hanya berdiam tanpa ikut bernyanyi bersama.

Lo coba dengerin deh. Jangan dilihat, dengerin aja. Lo merem, nanti tau-tau badan lo bakal ikut goyang denger anak-anak ini nyanyi,” ucap teman saya ketika mendengarkan Sanggar Roda membawakan lagu-lagu yang sederhana, salah satunya adalah ‘Surat Buat Wakil Rakyat’ milik Iwan Fals.

Berbeda dengan Sanggar Roda yang berhasil membuat penonton bernyanyi bersama, The Godmother justru membuat semua diam. Atraksi mereka diawali dengan masuknya dua orang dengan jubah memasukin panggung dengan meniup dan memukulkan Didgeridoo, alat musik tiup khas suku Aborigin, yang mereka bawa ke atas level panggung.

Band yang melabeli dirinya sebagai experimental stoner rock psychedelic ini berhasil membius penonton dengan permainannya yang unik. Gendang telinga rasanya sudah tak mampu lagi menerima gelombang suara yang datang dari arah lain, kecuali dari efek gitar yang menyayat. Merusak.

Acara yang padat bergizi ini nampaknya harus merelakan panitia menambah durasi waktu. Pukul 12 malam yang seharusnya menunjukkan waktu selesainya acara tidak dipatuhi dengan baik. Namun, keputusan untuk menambah durasi acara adalah keputusan yang tepat.

Menu penutup malam itu adalah Ratman. Band yang seharusnya main pukul 23.30 ini harus menjadi korban atas kepadatan acara –kalau tidak mau dibilang kemoloran. Dari raut wajahnya, Arimami (bassis) dan Ervin Kumbang (gitaris) dan Cali (drumer) sempat kehilangan mood ketika menunggu gilirannya tampil yang terlalu lama. Namun teriakan penonton yang terus menyebut nama mereka, sepertinya membuat mood mereka sedikit membaik.

Meski datang tanpa vokalis, Ratman berhasil membuat penonton berjingkrak merebut mic di panggung ketika membawakan ‘Killing in The Name’ milik Rage Againts the Machine. Lirik Fuck you, I won't do what you tell me!// Motherfucker!// yang dinyanyikan sembarang orang yang merebut mic, kembali membuat crowd panas setelah sebelumnya didinginkan oleh penampilan akustik Bobby Junaidi Cs.

Crowd yang sedang klimaks akhirnya harus selesai, setelah pihak penyedia tempat –entah disengaja atau tidak- memberi tanda dengan menyalakan lampu utama ruangan dan mulai merapikan kursi, meja dan sampah yang berserakan. Anti klimaks dengan cepat.

Harus diakui memang, Beranda Taman Seni berhasil menunjukkan bahwa Kremmasi dapat menggabungkan kesenian tradisi dengan band punk macam Cheer Oi! dalam satu panggung yang meriah.

Kremmasi, sebagai penyelenggara Beranda Taman Seni, memang terkenal dengan nilai-nilai tradisi. Bukan sekali ini saja mereka mencoba menggabungkan kesenian tradisi dengan modern. Namun, Beranda Taman Seni ini adalah puncaknya. Dan, mereka berhasil. Berbagai jenis kesenian –mulai dari tarian tradisi, kontemporer, punk, steady rock, reggae, rap, sampai nevermind sekalipun- berhasil, tak hanya menghibur, namun membuat pengunjung kelelahan.

Malam itu, 21 Juni 2014, Beranda Taman Seni bukan lagi milik Kremmasi, tapi menjadi milik siapa saja yang hadir di Soeltan Coffee. Konsep kepemilikan melebur menjadi kebersamaan. Ruang dan waktu, yang selama ini terpaku pada tempat dan jam dinding, seakan menjadi abstrak kembali. Menjadi sesuatu yang tak terdefinisikan.

Dalam hati, saya berucap, ”Kesenian kami berada di tempat seperti ini.”

Tulisan juga dimuat di Buletin Kinasih.

No comments:

Post a Comment