Pages

20 April 2016

Perwakilan Penambak Udang Datangi Komnas HAM



Perwakilan penambak udang Desa Bratasena Mandiri dan Adiwarna, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung, mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Senin (18/4). Para penambak ini mengaku telah diperlakukan tidak adil dalam kemitraan bersama PT Central Pertiwi Bahari (CPB).

Pendamping Sosial Masyarakat Penambak Subiyanto mengatakan dengan kedatangannya ke Komnas HAM, pemerintah dapat menyelesaikan masalah yang terjadi di desanya. Hal ini dillakukan agar konflik yang terjadi tidak meluas.
“Saat ini, ada sekitar 100 KK (Kartu Keluarga) yang diusir dari rumahnya dan mengungsi di kampung penyanggah sekitar desa,” katanya saat ditemui di Komnas HAM, Jakarta.

Pengusiran ini dilakukan, lanjut Subiyanto, akibat kedatangannya bersama beberapa warga ke Jakarta menemui Menteri Ketenagaankerjaan Hanif Dhakiri, Kamis (31/4). Dalam pertemuan itu, para penambak mengadukan nasibnya dan Menteri Hanif telah bersedia membentuk tim untuk meninjau lokasi.

Sepulang dari Jakarta, Perwakilan ini menyosialisasi hasil pertemuan dengan Menteri Ketenagakerkaan, namun dibubarkan oleh warga lainnya. Sampai akhirnya rumah mereka disegel dan diusir dari desa.

“Pengurus Forsil (Forum Silaturahmi) justru mendiskriminasi kami dengan tuduhan memecah belah. Bahkan, kepala kampung rumahnya disegel,” katanya.

Kronologi awal terjadinya konflik adalah ketika PT CPB masuk ke desa mereka tahun 1993. Subiyanto menuturkan warga awalnya sudah memiliki garapan seperti bertambak, bertani, dan berladang. Namun CBP menawarkan kerja sama kepada warga untuk usaha, dengan dijanjikan akan dibuatkan sarana dan prasarana yang lebih baik.

Pada awal kerja sama tersebut, masing-masing warga diminta melakukan kredit pada bank sebesar RP 145 juta untuk investasi dan modal. “Pada waktu itu kami tidak berani untuk melakukannya, namun karena ada pemaksaan dengan pembakaran rumah, perusakan dan pengusiran, akhirnya kami terima,” jelasnya.

Saat ini, biaya kredit tersebut membengkak hingga lima hingga 10 kali lipat. Padahal mereka mengaku telah bekerja puluhan tahun untuk menutup hutang tersebut. Menurut Subiyanto, keuntungan tambak saat panen selalu masuk perusahaan.

“Karena sering merugi dan operasional tinggi sementara harga jual udang rendah. Yang membeli hanya perusahaan itu, tidak boleh kepada yang lain. Kalau kami sudah bekerja puluhan tahun justru hutang yang membekak, kemudian kami harus bayar dengan apa?” kata Subiyanto.

No comments:

Post a Comment