Pages

05 December 2014

Antara Desember, Hujan dan Beberapa Lagu untuk Menemaninya

Air, Lampu, dan Blur di Lenteng Agung
Hujan. Hujan. Hujan mulai datang.

Desember akan selalu dekat dengan hujan. Rasa gelisah, yang hadir ketika duduk diam memandang gemericik air membasahi tanah di luar jendela, itu akan selalu muncul saat Desember. Desember dan hujan selalu membawa kita pada khayalan, masa lalu, dan masa depan.

Bagai sayur tanpa garam, Desember dan hujan belum lengkap bila musik sebagai latar belakang mengisi khayalan tidak berkumandang. Jangan berpikir kalau saya akan memutar 'Desember' milik Efek Rumah Kaca. Hal itu hanya akan membuat keadaan menunggu hujan semakin memburuk.

Hujan di bulan Desember tak melulu harus menjadi sendu. Benyamin Sueb membuktikannya. Hujan tak selalu harus deras. Bagi Benyamin, gerimis pun sudah jadi. Alhasil ‘Hujan Gerimis’, yang dinyanyikan duet dengan pasangan legendarisnya, Ida Royani, menawarkan keceriaan ketika hujan tiba. Sentuhan pantun dan lenong yang kental, membuat cerita lirih dalam 'Hujan Gerimis' menjadi riang.

Lupakan yang hilang. Lupakan rancana kawinan di bulan Syawal. Kalau mau cari jodoh, "Cari yang item seperti saya." Ah, masa? Coba deh!

Hujan di Indonesia, yang hanya memiliki dua musim, kata guru saya selalu datang bertepatan dengan datangnya bulan yang berakhiran ber. Pemanasan global pun tak berdaya mengubahnya. Terutama saat bulan Desember. Hujan pasti datang.

Hujan menawarkan sejuta lamunan. Benyamin tak tergoda untuk melamun. Namun tidak untuk Leilani. Leilani, yang di panggung berubah menjadi Frau, saya rasa adalah korban lamunan hujan. Musisi muda asal Joga ini, lewat ‘Mesin Penenun Hujan’ pernah menyihir ratusan orang dalam aksinya di Salihara beberapa tahun lau. Lewat 'Mesin Penenun Hujan' pula ia meraih penghargaan tokoh seni majalah Tempo pada 2010 lalu.

Lagunya bercerita tentang hati yang bersiap patah. Hujan dalam liriknya adalah tentang seorang teman yang selalu setia mendengarnya. Seorang yang berusaha menciptakan mesin penenun hujan. Namun semua itu tak berlangsung lama, karena hujan akan kembali menjadi awan.

Beda Frau, beda Banda Neira. Banda Neira, duo akustik lintas provinsi ini menafsirkan hujan sebagai keadaan teduh yang seperti mimpi. Hujan adalah sosok yang jujur, tanpa sandiwara. Dengan satu gitar, satu xylophone, dan dua vokal, Ananda Badudu dan Rara Sekar bersenandung ria. Mereka bermain dengan kata-kata, meramu lirik-lirik nelangsa menjadi lagu-lagu sederhana yang menyenangkan hati dan memanjakan telinga. 'Hujan dalam Mimpi' adalah salah satu hasil permainan kata-kata mereka. Sebuah cerita menggambarkan perasaan yang di luar dugaan. Seperti yang tertulis di reff-nya:

Seperti hadirmu, di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
Berdua kita berlari...

Hujan tak hanya menjadi inspirasi bagi sosok legendaris sekaliber Benyamin atau jagoan lirik macam Cholil ERK, Leilali dan duo Banda Neira. Band industrial rock macam Koil pun menggunakan hujan sebagai inspirasi. Lewat 'Lagu Hujan'. Otong, sang vokalis, menarasikan seseorang yang terjebak hujan. Ia menunggu, malamun, dan nada reda hujan tak jua terdengar.

Otong memang sebuah ilusi.

Hujan belum juga reda. Lamunan belum juga selesai. Saya tahan untuk tidak memutar 'Desember'-nya ERK. Namun tak bisa. Populer memang. Namun, saya adalah manusia yang terlahir dalam generasi yang telinganya terbiasa dengan sesuatu yang populer.

Desember memang populer. Hal itu tak terbantahkan. Namun, dalam kepopulerannya, ada senandung lirih hujan yang selalu merayu untuk ditemani.

Hujan. Hujan. Hujan belum berhenti. 

Saya tak bisa tenang. Lima lagu telah berulang terputar. Hujan belum mau berhenti.

Saya mengingat ke belakang. Sepertinya saya salah membaca mantra atau memberi sesembahan pada pencipta hujan. Hujan ini memang sengaja saya panggil untuk kebutuhan dan, tentu saja, rasa nyata dalam tulisan ini. 

Sebelum menulis, saya melalukan ritual memanggil hujan. Dan tentu, dengan backsound 'Pesta Memohon Hujan'. Suara senar Bass yang nyaring, drum yang berisik bak asal pukul-injak, ambient tak karuan dan vokal yang selalu berubah, dengan latar hujan di pengantar menuju penghabisan ritual, adalah sebuah sabda untuk berdansa. Berpesta memohon hujan.

Telapak berjabat, kawan musuh berpelukan..
Yang muda berdansa, bercanda..
Yang tua berdoa, bersama..
Gendang ditabuh, gelas bertubrukan..
Keringat dibasuh, pencipta hujan diagungkan..

Zoo memang juara, untuk hal-hal yang tak saya pikirkan dalam hidup ini. Untuk memohon hujan atau memuja hari, misalnya. Zoo tak ada lawannya.

Satu yang pasti, 'Pesta Memohon Hujan' bukan untuk dirituskan saat hujan, karena hujan tidak akan berhenti. Dan saya yakin, untuk anda yang mengais hidup menjadi kelas menengah urban ngehek Jakarta, tidak mau hujan tak berhenti. Karena, mengutip RA Kartini dengan sedikit adaptasi, “Habis hujan terbitlah banjir.”

Hujan. Hujan. Hujan belum juga berhenti.

Saya telah kehabisan kata. Selamat menikmati hujan. Kalau tak hujan, lakukan ritual yang saya ajarkan.

Tabik!

No comments:

Post a Comment