Pages

28 December 2014

Penyair Pemalu yang Abadi


JAMES DOUGLAS MORRISON dan Alain Ronay duduk di kafe kecil nan sumpek di pusat fashion dunia, Paris. Hari itu adalah 2 Juli 1971. Mereka sama-sama gelisah. Morrison gelisah perkara nasibnya yang berubah cepat selama empat tahun belakangan. Ronay gelisah, mengingat pacarnya pasti memasang muka dengan bibir mengerut ke depan saat nanti ia sampai ke tempat janjiannya. 

Ronay belum bisa pergi. Morrison, temannya, masih belum stabil untuk ditinggalkan. Ia seperti anak kucing yang tak mau ditinngal ibunya. Merayu untuk ditemani seharian. Ronay pasrah. Biarlah nanti pacarnya marah dengan cemberut, pikirnya. Toh wajah pacarnya saat cemberut lebih menggemaskan daripada saat libidonya berada di puncak.

Morrison tak banyak bicara. Ia merenungi kesepiannya. Puisi, lirik, ketenaran, popularitas, keonaran, narkoba, seks dan segalanya empat tahun belakangan, membuatnya tak banyak bicara. Ia duduk sambil sesekali menenggak bir.

Ronay gemas, ingin meninggalkan rock star yang sudah terkapar itu. Namun ia masih ragu.

“Ada apa, Jim? Bicaralah. Aku sedang ditunggu pacarku dan ia pasti marah ketika nanti aku datang,” Ronay coba membuka percakapan.

Morrison tetap diam. Ronay semakin gemas.

“Aku tahu kau habis bertengkar dengam Pam. Tapi bukankan itu biasa? Kalian bertengkar setiap hari sepanjang ingatanku. Dan ini bukan konflik kalian yang terhebat. Aku masih ingat bagaimana Pam mengamuk hebat saat tahu kau berpesta anggur dan darah dengan jurnalis perempuan itu, sebelum akhirnya kalian bersetubuh. Dan aku rasa, konflik ini tak bisa dibandingkan dengan itu,” pancing Ronay sekali lagi.

“Ayolah, kawan. Saat ini aku hanya ingin duduk minum bir di sampingmu. Sesederhana itu. Duduklah dulu di sini sampai senja mengemas.”

“Tapi, pacarku sudah lama mengung...”

Morrison langsung memotong keluhan Ronay dengan memesan bir untuk yang ke sekian kalinya. Ronay tak tahan. Ia berdiri, lantas mengucapkan salam kepada Morrison untuk pergi. Morrison pasrah.

Ia memandang ke luar, mengamati langkah Ronay yang perlahan menjauh menuju stasiun. Beberapa kali ia melihat temannya itu menatap kembali ke arah tempatnya duduk. Ada rasa iba di mata temannya saat melihat ke arahnya. Iba yang tak pernah dibayangkan seorang Morrison dapat menatap dirinya empat tahun terakhir.

Morrison masih duduk di kafe kecil di Paris dan mengahabiskan bir yang terlanjur dipesan itu. Kenangannya mengarah pada suatu hari ketika ia membacakan puisinya di tengah pantai, di hadapan Ray Manzarek. Itu adalah mula ia berlabuh ke tempat ini. Ke kesepian ini.

Senja sudah datang. Tak ada suara azan magrib di Paris. Mungkin ada, namun tak terdengar. Morrison bangkit, berniat pulang ke hotel tempatnya menginap.

Sampai di kamar, ia bertemu dengan Pamela Courson, pasangannya dalam segala bentuk. Mereka kembali mesra malam itu melupakan konflik yang terjadi sebelumnya. Morrison malam itu menjadi penyair pemalu, yang puistis nan romantis, berhasil kembali membuat hubungan mereka rujuk. Mereka berdua terlelap dalam heningnya kota Paris.

Dini hari menjelang pagi, Morrison melangkah menuju kamar mandi. Ia ingin membersihkan diri. Kesepiannya sejak siang tadi belum juga menemukan kepastian yang menenangkan. Dengan pelan, ia masuk ke dalam bath up. Air dari keran pun perlahan memenuhi tempatnya tertidur.

Morrison masih gelisah. Di ingatannya, kejadian-kejadian empat tahun belakangan mulai mengulang. Ketika ia masih menjadi penyair yang malu dengan kepala yang selalu tertunduk, hingga dirinya yang disejajarkan dengan tuhan, mengencani setiap manusia, memasukkan segala macam obat dalam tubuhnya. Morrison mengenang dalam diam.

Ingatannya terhenti pada kematian orang-orang Indian di gurun pasir New Mexico, 23 tahun silam. Ia ingin menolong saat itu, namun apa daya, umurnya yang masih empat tahun. Belum bisa menentang kehendak ayahnya, yang seorang angkatan laut.

Dalam bath up yang airnya menggenang, dengan lirih ia membacakan puisinya untuk kematian orang Indian itu: Dawn’s Higway

Indians scattered on dawn's highway bleeding
Ghosts crowd the young child's fragile eggshell mind.

Me and my -ah- mother and father - and a
grandmother and a grandfather - were driving through
the desert, at dawn, and a truck load of Indian
workers had either hit another car, or just - I don't
know what happened - but there were Indians scattered
all over the highway, bleeding to death.

So the car pulls up and stops. That was the first time
I tasted fear. I musta' been about four - like a child is
like a flower, his head is just floating in the
breeze, man.
The reaction I get now thinking about it, looking
back - is that the souls of the ghosts of those dead
Indians...maybe one or two of 'em...were just
running around freaking out, and just leaped into my
soul. And they're still in there.

Indians scattered on dawn's highway bleeding
ghosts crowd the young child's fragile eggshell mind.
Blood in the streets in the town of New Haven
Blood stains the roofs and the palm trees of Venice
Blood in my love in the terrible summer
Bloody red sun of Phantastic L.A.

Blood screams her brain as they chop off her fingers
Blood will be born in the birth if a nation
Blood is the rose of mysterious union
Blood on the rise, it's following me.

Indian, Indian what did you die for?
Indian says, nothing at all.

Napasnya memberat. Detak jantungnya perlahan menghilang. Morrison mati dalam kesunyian kamar mandi.

Pam terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Tak melihat kekasihnya di samping tubuhnya, ia seperti biasa, menuju kamar mandi, mencarinya. Pintu kamar mandi terkunci dari dalam. Pam panik, berteriak, namun tak ada respon dari dalam. Dengan cepat ia mengambil gagang telepon di samping tempat tidurnya. Menelpon Jean de Breteuil, pacar gelapnya.

Jean langsung menuju kamar Pam, memecahkan kaca kamar mandi, dan merusak knop pintunya. Pam menjerit. Kekasihnya tewas. Dengan mata terpejam, kepala terkulai ke sebelah kiri, dan senyum tipis yang malu-malu ala James Douglas Morrison sang penyair, itu adalah wajah terdamai Morrison selama Pam melihatnya. Wajah seorang penyair pemalu yang dulu membuntutinya ke rumah hanya untuk menyatakan perasaannya.

Penyair pemalu yang hidup abadi.
***

NB: Cerita ini adalah fiksi yang dikembangkan dari beberapa data dan dan dibumbui daya imajinasi manusia yang liar. Terima kasih untuk Nuran Wibisono karena telah menulis begitu banyak tentang Morrison dengan sangat apik di Jakartabeat.net. Pernah terbit di Buletin Berisik edisi Desember 2014.

No comments:

Post a Comment