Pages

26 November 2013

Menikmati Rekreasi dan Nyamuk yang Mati dengan Jempol Kaki


Di pagi yang tak terlalu dingin dengan kipas angin di nomor dua, kejadian hari Minggu yang baru dua hari berlalu masih teringat. Berwisata bersama kawan dari Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.

Terasa aneh memang, perihal saya tak pernah mengikuti satu pun kegiatan LDK di kampus, bahkan saya salah satu orang yang tidak memedulikan keberadaannya di kampus. Teringat kata kawan saya, May Rahmadi, “Jadi kerjaan LDK cuma begini doang? Ngapain sampe ngabisin uang kampus setiap semester?” sambil menunjuk selebaran yang kurang lebih bertuliskan ‘jagalah kebersihan’ tertempel di tukang fotokopi depan IISIP.

Baiklah, kita kembali ke acara hari minggu itu. Saya diajak oleh Oci, teman yang saya kenal lewat teater. Katanya, saya menggantikan ruang kosong undangan yang diberikan ke anak Himajur yang tidak mengirimkan perwakilan. Saya pun dengan senang hati ikut. Yah lumayanlah hari minggu jalan-jalan gratisan. Oh iya, konon nama acaranya itu Wisata Orientasi Alam Sehari (WOAS).

Kumpul di kampus jam 06.00 dan yang terlihat adalah para akhwat dan ikhwat lengkap dengan pakaian yang menutup aurat. Subhanallah!! Tapi, sesaat berselang, ada juga perempuan yang kepalanya tak tertutup jilbab dan lelaki yang celananya yang habis di dengkul. “Mas, kayaknya saya salah kostum nih,” ucapnya sembari muka yang konyol ketika orang itu –saya lupa namanya- berkenalan dengan saya. Namun perihal pakaian tak menjadi masalah, yang penting iman. Berbeda iman pun rasanya tak dilarang, yang penting tak bermusuhan.

Sekitar jam 07.00 kami berangkat ke Puncak, Bogor. Saya berada di dalam mobil (lupa merek) yang berisikan delapan orang. Isinya semua mahasiswa, dan seperti tak ada aturan di dalamnya. Hanya satu yang tercatat, sang supir, yang juga mahasiswa nampak kesal ketika temannya mengarahkan untuk masuk melalui gerbang tol Citeureup, karena katanya bila lewat tol TB Simatupang lebih mahal. Perbandingannya, kalau dari TB Simatupang; Rp 8000 dan dari Citeureup; Rp 4000. Betapa mereka sangat berhemat-ria. Walhasil, mobil kami terjebak buka-tutup selama kurang-lebih satu jam. Saya hanya bisa tidur, karena malas mengobrol dan kebetulan belum tidur semalaman.

Sampai di tempat tujuan, tepatnya di Curug Panjang, Mega Mendung, para peserta yang baru sampai dikumpulkan di sebuah pos, dan diberi materi. Isinya, sambutan alumni, ketua LDK dan suasana syahdu dari lantunan pembacaan Al Quran. Tak lama berselang, saatnya makan siang. Satu hal yang sangat disayangkan. Ketika ayam goreng melambangkan kebersamaan tak didukung oleh sambal yang tepat, kebersamaan akan hilang dengan sendirinya. Yak! Sambalnya kurang nikmat sedikit merusak selera makan. Pun begitu, patutnya saya bersyukur sudah bisa diberi makan, apalagi gratis.

Waktu Zuhur pun menjelang. Kami, dan tentu saja saya ikut di jemaahnya, melakukan solat berjamaah. Dingin.

Foto: Dok. LDK

Sudah selesai Zuhur, acara pun dilanjukan dengan tracking menembus hutan dan melewati sungai. Kelompok dipisahkan menjadi empat, dua kelompok ikhwat dan dua kelompok akhwat. Sedkit lelah berjalan naik dan turun melalui jalur tanah, tiba juga di mana air berjatuhan dari tebing yang curam. Pelampung dibagikan dan, byurrr.... Semua berenang.

Selesai, kami kembali ke pos awal melalui jalan sungai. Menantang, itulah yang tergambarkan bila saya boleh memakai majas hiperbola. Aliran sungai yang lumayan deras dan batu-batu berlumut membuat satu per satu jatuh dan berguguran –bukan makna sebenarnya. Ada yang pingsan karena ketakutan, ada yang curi-curi kesempatan menggandeng tangan, ada pula yang jatuh dengan kepala duluan (hehehe.. sorry, Ci. Untung pala lu gak napa-napa).

Karena waktu sudah tak memungkinkan –menghindari buka-tutup jalur Puncak- ketika sampai di pos awal, seluruh peserta disuruh membasuh diri dan bersiap-siap pulang ke Jakarta. Saya yang tak bawa sempak ganti akhirnya harus rela pulang dengan sempak basah dan mengkerut di dalam mobil ber-ac.

Perjalanan pulang saya isi dengan tidur. Saya sempat bangun ketika jalan tol, yang nama lainnya adalah jalan bebas hambatan, itu macet dan rombongan pun memilih beristirahat di rest area Bogor. Saya menuju toliet, karena tak tahan dengan sempak yang masih cenderung basah. Berdiri beberapa detik di tempat kencing tak jongkok, saya baru sadar kalau saya tak bisa mengeluarkan air seni dalam tekanan antrian orang-orang kebelet. Akhirnya saya memilih antri di tempat kencing berpintu.

Selesai istirahat di rest area, kami pun melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Saya pun kembali tidur di antara sembilan orang bedesakan di mobil yang harusnya diisi oleh delapan orang.

Catatan kepada Kawan

Dari perjalanan itu, saya akhirnya tahu kegiatan LDK IISIP Jakarta tidak hanya menempelkan selebaran hitam-putih di sembarangan sudut-sudut kampus. Setidaknya, ada yang lain. Walaupun lebih bersifat menghabiskan anggaran, namun setidaknya...

Dalam perjalanan itu pula, saya merasakan ada niat baik dari LDK untuk memasyarakatkan organisasinya. Agus, salah seorang panitia meminta pendapat saya, sebagai seorang mahasiswa yang berada di luar lingkaran LDK, mengenai seminar yang akan –entah jadi atau tidak- dilaksanakan oleh LDK. Saya pun menjawab sekenanya.

Agus merasa bosan dengan tema-tema kewirausahaan yang selalu dikemas payah menurutnya. "Basi!" sekiranya itu yang saya ingat dari ucapannya. Ia ingin mengangkat tentang Timur Tengah, politik Islam, dan hal yang bisa mewakili seluruh jurusan yang ada di kampus. Merupakan hal positif, mengingat citra Islam di kampus sudah sedikit mengerikan dengan kelompok-kelompok ekstra yang mengatasnamakan Islam dan memimpin Badan Permusyawaratan Mahasiswa, yang belum kunjung turun pun periodenya sudah lewat.

Akhirnya, saya harus tuntaskan tulisan ini sampai di sini. Tulisan ini pun sebagai balas budi atas kebaikan Oci mengajak saya. Dan insya Allah, tulisan ini tak bias, pun bias adalah suatu kepastian. Ketika ditanya Oci mengenai kesan saya tentang WOAS, saya hanya menjawab, “Cakep Ci, tapi... ya gitulah kayak rekreasi aja sih kalo buat gw..”

Oci pula yang menanyakan saya apakah dapat inspirasi setelah diajak ke alam. Dan akhirnya, nyamuk yang terbunuh dengan jempol kaki pagi tadi membangkitkan inspsirasi menulis lanjutan ucapan saya sebelumnya.

No comments:

Post a Comment