Pages

24 November 2013

Lenong Betawi Masa Kini

Kredit foto: Google

Seperti suasana hari-hari biasa, jalan-jalan di Jakarta terlihat macet oleh kendaraan pribadi yang hendak mengisi akhir pekan. Tidak banyak pilihan untuk mengisi liburan di Jakarta. Hanya ada Kebun Binatang Ragunan, Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, dan mungkin sedikit jauh ke Bogor, kita telah sampai di Puncak. Namun yang menarik adalah suasana Setu Babakan, sebuah kampung budaya Betawi di pinggiran selatan Jakarta.

Siang itu, suasana Setu Babakan terlihat ramai. Dari balita hingga paruh baya, semua terlihat sedang santai dan sesekali melihat aliran air yang tenang di Setu Babakan untuk mengisi hari libur mereka. Sementara para pemain lenong tetap berusaha menghibur wisatawan yang datang. Namun, hanya sedikit orang yang tertarik mendengarkan candaannya, sedangkan yang lain memilih untuk sibuk dengan lamunannya.

Setiap akhir pekan, Kampung Betawi Setu Babakan memangselalu menampilkan Lenong sebagai hiburan. Acara tersebut merupakan salah satu program dari pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk melestarikan budaya Betawi. Namun yang terlihat justru pemain Lenong yang kebanyakan adalah orang tua. Tak terlihat lagi wajah-wajah baru setiap minggunya.

Lenong pada awalnya adalah komedi stambul (dari kota Istanbul, Turki) dan teater bangsawan yang dimainkan dengan menggunakan bahasa melayu. Orang Betawi menirunya dan memolesnya, hingga perlahan lenong menjadi ciri khas Jakarta yang selalu dipentaskan ketika acara ngawinin. Lenong menjadi primadona di antara kesenian lain yang ada di Jakarta, karena ciri khasnya yang merupakan banyolan. Sampai akhir abad ke19, teater tradisional Betawi ini terus berkembang.

Lenong saat itu bukan hanya sebagai sarana hiburan atau rekreasi, namun, seperti teater pada umumnya, juga mencerminkan perjuangan dan protes sosial. Lakon-lakonnya mengandung pesan moral dan mengedepankan humanisme yang membela rakyat kebanyakan seperti lakon Si Pitung, Si Jampang dan Macan Kemayoran.

Hingga pertengahan abad ke-20, lenong masih tenar namanya seiring lahirnya Mandra, sebagai salah satu pemain lenong yang sukses. Mandra, sebagai pemain Lenong, memiliki pengalaman susah payahnya bermain lenong hingga akhirnya dapat terkenal. “Saya masih ingat dulu waktu ingin pentas di Serpong, kami haru jalan kaki dari rumah di Cisalak sampai ke Serpong,” tutur Mandra menceritakan pengalamannya. Mereka mengisi pentas di tengah lapangan yang diterangi obor, dari kampung ke kampung, sambil meminta saweran kepada penonton.

Pada tahun 1970, lenong mulai terangkat ke panggung yang lebih besar ketika gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memberikan kesempatan kepada para pemain lenong untuk tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM). Hasilnya, lenong mendapat semangat baru dan mulai digemai di masyarakat yang lebih luas. Berkat dibukanya pintu TIM untuk lenong, para pemain lenong dapat mengembangkan sayapnya di dunia televisi dan film.

Sayangnya, saat ini kesenian lenong semakin sulit dicari. Sudah sangat jarang masyarakat yang menanggap lenong ketika hajatan. Masyarakat kini lebih memilih dangdut dan organ tunggal untuk mengisi hiburan mereka. Bukan merupakan kesalahan, karena dangdut dan organ tunggal juga merupakan produk kebudayaan Nusantara. Namun ketika lenong kehilangan tempatnya di tanahnya sendiri, itu merupakan sesuatu yang ironis.

Dalam upaya melestarikan budaya Betawi, hadirlah Kampung Betawi Setu Babakan, yang hampir setiap minggunya menampilkan lenong. Lenong diharapkan dapat menemukan kembali masa keemasannya, yang hingga kini mulai terlupakan.

No comments:

Post a Comment