Pages

14 November 2013

Disini Kita Berjumpa, Bukan di Kampus Tercinta

Kredit foto: Bewok Buletin Berisik

Suasana kampus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta menjadi lebih cepat sepi. Tak seperti biasa, para keamanan kampus tidak harus memaksa para mahasiswa keluar agar kampus sepi. Sepertinya, mahasiswa yang biasanya diusir paksa, malam itu dengan sukarela meninggalkan kampus menuju tempat di mana semua akan berjumpa.

Jalan Raya Lenteng Agung, TB Simatupang, Ampera, sampai Cipete, cukup ramai malam itu. Jakarta kala Sabtu malam memang selalu punya cerita tentang jalan raya. Merupakan sesuatu yang biasa bila tulisan ini membahas jalan-jalan di Jakarta yang semakin membuat gila. Namun ada yang tidak biasa, kembali digelarnya acara Disini Kita Berjumpa (DKB).

Dalam perjalanannya, DKB telah menjaga konsistensi acara ini hingga bisa disematkan embel-embel #5. Daftar penampil yang tercantum pun sudah tak asing lagi oleh masyarakat kampus, yang memang produk lokal dalam kampus dan sekitarnya. Adalah Forbidden Zone, Nation Ska, Error X, KWA!, Gamelanoink, Scarabaeus Saccer, Ratman, Rastamanis dan The Khe-Q, yang masuk dalam daftar pengisi acara. Memang terciptanya acara ini merupakan sebuah ajang apresiasi bagi para pecinta musik di lingkungan kampus –yang katanya- “tercinta” IISIP Jakarta.

Kurang lebih pukul tujuh malam, saat kalender menunjuk tanggal 26 Oktober, acara dimulai. Tepat di samping Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut, tempat di mana Borneo Beer House berdiri, tak lantas membuat suasana menjadi menyeramkan. Yang terdengar adalah riuh rendah suara manusia-manusia bernyanyi, bergoyang dan berbahagia, dalam bangunan tersebut. Dalam bangunan sederhana berlantai dua dan penuh dengan asap rokok yang mengepul, satu per satu penampil menunjukkan kebolehannya.

Tak ada batasan genre yang memisahkan. Mulai dari reggae, ska, punk, balada, pop, post rock, sampai metal, silih berganti memanaskan panggung yang tak terlihat sakral. Penonton dengan bebas merebut mic yang dipegang oleh sang vokalis untuk ikut bernyanyi. Tak ada jarak tercipta, sesuai slogan yang tercetak di pamflet yang beredar, “Datang :: Main :: Gembira.” 

Kredit foto: Bewok Buletin Berisik
Akhirnya, berkaraoke-ria adalah santapan penutup dari pegelaran DKB #5. Dengan iringan musik punk a la Sex Pistols yang keluar lewat sound dan lirik ‘Anarchy in The UK’ dalam tembakkan proyektor, semua bernyanyi seakan mereka menjadi John Lydon yang menentang kekuasaan monarki yang semakin mengekang. Semakin padu lirik ‘Anarchy in The UK’ dinyanyikan, semakin terasa ada sesuatu yang salah di lingkungan kita yang harus dihancurkan. I wanna be an anarchy/ And I wanna be an anarchy//

Tak henti sampai Sex Pistols, alunan new wave a la The Clash pun ikut mengiringi lirik lagu ‘Rock The Casbah’ yang tercanpar dalam layar putih. ‘Rock The Casbah’ merupakan anekdot tentang sebuah tempat di Timur Tengah, di mana sang raja melarang penduduknya memainkan atau mendengar musik rock. Sang raja memerintahkan para pilot pesawat tempur untuk  yang menghabisi mereka yang melanggar dengan menjatuhkan bom. Namun para pilot justru mendengarkan musik rock di kokpit mereka dan mengabaikan perintah sang raja. Ironis, ketika ada kabar bahwa lagu ini menjadi soundtrack awak tank Amerika saat menggempur Irak.  Sharif don't like it/ Rockin’ the Casbah/ Rock the Casbah//

DKB #5 akhirnya benar-benar berhenti ketika semua telah puas meneriakkan lirik tembang ‘First of The Gang to Die’ milik Morrissey. Where Hector was the first of the gang with a gun in his hand/ And the first to do time/ the first of the gang to die/ Oh my// ...He stole all hearts away/ He stole all hearts away//

DKB, sebagai sebuah acara musik yang berawal dari tongkrongan Tikungan Maut (Tikma) IISIP, telah sukses membuat semua bernyanyi dalam satu irama, musik. Terselenggaranya DKB #5 adalah peran dari mereka yang menamakan diri sebagai Lovely Crew dan Tikma Crew serta dukungan UKM Kremmasi, Kampung Segart dan Obtai.

Ada kontradiksi yang terjadi. Tikma sering disebut sebagai tempat yang paling menyeramkan di lingkungan kampus IISIP. Bukan karena di tempat itu banyak kejadian gaib, melainkan yang berdiam di tempat tersebut adalah para angkatan tua dan bahkan alumni yang sesekali datang, yang membuat banyak mahasiswa menunduk bila melewatinya. Sementara kesan DKB yang berawal dari Tikma, jauh dari kesan yang menyeramkan, di mana semua bebas berekspesi tanpa mengenal angkatan. Imej sebagai tempat angker tersebut, mungkin yang ingin dihilangkan melalui DKB.

DKB memang sengaja digelar di luar area kampus. Menurut Kadol, salah satu pencetus pertama acara tersebut, suasana di luar itu menjadikan kita menjadi lebih leluasa dan tak ada rasa kaku. “Kampus itu identik dengan belajar. Kalau di luar kita udah punya waktu luang satu sama lain antara alumni dan mahasiswa, dan dari situ timbul rasa saling memperhatikan,” jelas Kadol sesaat setelah berkaraoke-ria.

Dengan diadakan di luar kampus, pemberian nama ‘Disini Kita Berjumpa’ pun terasa cocok karena perjumpaan antara alumni dan mahasiswa tak melulu berada di kampus, yang terkenal dengan istilah “ribet”-nya.

Junaidi Bobby, sebagai salah satu penampil yang memeriahkan acara tersebut, juga menyatakan hal senada. “IISIP kan bukan kampus musik, jadi apresiasi yang diberikan itu minim. Sering-sering aja sih, gak harus nunggu DKB untuk membuat apresiasi,” paparnya.

Sebagai alumni yang pernah terlibat dalam kepanitiaan DKB, Bobby juga menambahkan kalau acara di kampus itu selalu terbatas oleh waktu. “Anak-anak itu maunya full, dari sore sampai malam. Kalau di kampus gak bisa,” ucap Bobby sambil mengingat masa kepanitiaannya di DKB saat digelar di Magical Cafe, Depok.

Mungkin anggapan bahwa DKB adalah acara yang hanya diperuntukkan bagi angkatan tua dan para alumni masih beredar di kalangan mahasiswa pada umumnya. Banyak yang masih sungkan untuk terlibat atau sekedar datang. Namun Bobby kembali mengeluarkan petuahnya, “Coba aja dulu dateng, di sini kita bisa ketemu dengan orang-orang yang belum dikenal. Kalau enak ya terus, kalau enggak yaudah,” tutup Bobby dengan tawa.

Nb: naskah ini terbit untuk Buletin Kinasih

No comments:

Post a Comment