Kredit foto: Bewok Buletin Berisik
|
Suasana kampus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP)
Jakarta menjadi lebih cepat sepi. Tak seperti biasa, para keamanan kampus tidak
harus memaksa para mahasiswa keluar agar kampus sepi. Sepertinya, mahasiswa yang
biasanya diusir paksa, malam itu dengan sukarela meninggalkan kampus menuju
tempat di mana semua akan berjumpa.
Jalan Raya Lenteng Agung, TB Simatupang, Ampera, sampai
Cipete, cukup ramai malam itu. Jakarta kala Sabtu malam memang selalu punya cerita
tentang jalan raya. Merupakan sesuatu yang biasa bila tulisan ini membahas
jalan-jalan di Jakarta yang semakin membuat gila. Namun ada yang tidak biasa,
kembali digelarnya acara Disini Kita Berjumpa (DKB).
Dalam perjalanannya, DKB telah menjaga konsistensi acara ini
hingga bisa disematkan embel-embel #5. Daftar penampil yang tercantum pun sudah
tak asing lagi oleh masyarakat kampus, yang memang produk lokal dalam kampus
dan sekitarnya. Adalah Forbidden Zone, Nation Ska, Error X, KWA!, Gamelanoink,
Scarabaeus Saccer, Ratman, Rastamanis dan The Khe-Q, yang masuk dalam daftar
pengisi acara. Memang terciptanya acara ini merupakan sebuah ajang apresiasi
bagi para pecinta musik di lingkungan kampus –yang katanya- “tercinta” IISIP
Jakarta.
Kurang lebih pukul tujuh malam, saat kalender menunjuk
tanggal 26 Oktober, acara dimulai. Tepat di samping Taman Pemakaman Umum Jeruk
Purut, tempat di mana Borneo Beer House berdiri, tak lantas membuat suasana
menjadi menyeramkan. Yang terdengar adalah riuh rendah suara manusia-manusia
bernyanyi, bergoyang dan berbahagia, dalam bangunan tersebut. Dalam bangunan
sederhana berlantai dua dan penuh dengan asap rokok yang mengepul, satu per
satu penampil menunjukkan kebolehannya.
Tak ada batasan genre
yang memisahkan. Mulai dari reggae, ska, punk, balada, pop, post rock, sampai
metal, silih berganti memanaskan panggung yang tak terlihat sakral. Penonton
dengan bebas merebut mic yang
dipegang oleh sang vokalis untuk ikut bernyanyi. Tak ada jarak tercipta, sesuai
slogan yang tercetak di pamflet yang beredar, “Datang :: Main :: Gembira.”
Akhirnya, berkaraoke-ria adalah santapan penutup dari
pegelaran DKB #5. Dengan iringan musik punk a la Sex Pistols yang keluar lewat sound dan lirik ‘Anarchy in The UK’
dalam tembakkan proyektor, semua bernyanyi seakan mereka menjadi John Lydon
yang menentang kekuasaan monarki yang semakin mengekang. Semakin padu lirik
‘Anarchy in The UK’ dinyanyikan, semakin terasa ada sesuatu yang salah di
lingkungan kita yang harus dihancurkan. I
wanna be an anarchy/ And I wanna be an anarchy//
Tak henti sampai Sex Pistols, alunan new wave a la The Clash
pun ikut mengiringi lirik lagu ‘Rock The Casbah’ yang tercanpar dalam layar
putih. ‘Rock The Casbah’ merupakan anekdot tentang sebuah tempat di Timur
Tengah, di mana sang raja melarang penduduknya memainkan atau mendengar musik
rock. Sang raja memerintahkan para pilot pesawat tempur untuk yang menghabisi mereka yang melanggar dengan
menjatuhkan bom. Namun para pilot justru mendengarkan musik rock di kokpit
mereka dan mengabaikan perintah sang raja. Ironis, ketika ada kabar bahwa lagu
ini menjadi soundtrack awak tank
Amerika saat menggempur Irak. Sharif don't like it/ Rockin’ the Casbah/ Rock
the Casbah//
DKB #5 akhirnya benar-benar berhenti ketika semua telah puas
meneriakkan lirik tembang ‘First of The Gang to Die’ milik Morrissey. Where Hector was the first of the gang with
a gun in his hand/ And the first to do time/ the first of the gang to die/ Oh
my// ...He stole all hearts away/ He
stole all hearts away//
DKB, sebagai sebuah acara musik yang berawal dari
tongkrongan Tikungan Maut (Tikma) IISIP, telah sukses membuat semua bernyanyi
dalam satu irama, musik. Terselenggaranya DKB #5 adalah peran dari mereka yang
menamakan diri sebagai Lovely Crew dan Tikma Crew serta dukungan UKM Kremmasi,
Kampung Segart dan Obtai.
Ada kontradiksi yang terjadi. Tikma sering disebut sebagai
tempat yang paling menyeramkan di lingkungan kampus IISIP. Bukan karena di
tempat itu banyak kejadian gaib, melainkan yang berdiam di tempat tersebut
adalah para angkatan tua dan bahkan alumni yang sesekali datang, yang membuat
banyak mahasiswa menunduk bila melewatinya. Sementara kesan DKB yang berawal
dari Tikma, jauh dari kesan yang menyeramkan, di mana semua bebas berekspesi
tanpa mengenal angkatan. Imej sebagai tempat angker tersebut, mungkin yang
ingin dihilangkan melalui DKB.
DKB memang sengaja digelar di luar area kampus. Menurut
Kadol, salah satu pencetus pertama acara tersebut, suasana di luar itu
menjadikan kita menjadi lebih leluasa dan tak ada rasa kaku. “Kampus itu
identik dengan belajar. Kalau di luar kita udah punya waktu luang satu sama
lain antara alumni dan mahasiswa, dan dari situ timbul rasa saling
memperhatikan,” jelas Kadol sesaat setelah berkaraoke-ria.
Dengan diadakan di luar kampus, pemberian nama ‘Disini Kita
Berjumpa’ pun terasa cocok karena perjumpaan antara alumni dan mahasiswa tak
melulu berada di kampus, yang terkenal dengan istilah “ribet”-nya.
Junaidi Bobby, sebagai salah satu penampil yang memeriahkan
acara tersebut, juga menyatakan hal senada. “IISIP kan bukan kampus musik, jadi
apresiasi yang diberikan itu minim. Sering-sering aja sih, gak harus nunggu DKB
untuk membuat apresiasi,” paparnya.
Sebagai alumni yang pernah terlibat dalam kepanitiaan DKB,
Bobby juga menambahkan kalau acara di kampus itu selalu terbatas oleh waktu.
“Anak-anak itu maunya full, dari sore sampai malam. Kalau di kampus gak bisa,”
ucap Bobby sambil mengingat masa kepanitiaannya di DKB saat digelar di Magical
Cafe, Depok.
Mungkin anggapan bahwa DKB adalah acara yang hanya diperuntukkan
bagi angkatan tua dan para alumni masih beredar di kalangan mahasiswa pada
umumnya. Banyak yang masih sungkan untuk terlibat atau sekedar datang. Namun
Bobby kembali mengeluarkan petuahnya, “Coba aja dulu dateng, di sini kita bisa
ketemu dengan orang-orang yang belum dikenal. Kalau enak ya terus, kalau enggak
yaudah,” tutup Bobby dengan tawa.
Nb: naskah ini terbit untuk Buletin Kinasih
No comments:
Post a Comment