Kredit foto: Google
Seperti suasana hari-hari biasa, jalan-jalan di Jakarta
terlihat macet oleh kendaraan pribadi yang hendak mengisi akhir pekan. Tidak
banyak pilihan untuk mengisi liburan di Jakarta. Hanya ada Kebun Binatang
Ragunan, Ancol, Taman Mini Indonesia Indah, dan mungkin sedikit jauh ke Bogor,
kita telah sampai di Puncak. Namun yang menarik adalah suasana Setu Babakan,
sebuah kampung budaya Betawi di pinggiran selatan Jakarta.
Siang itu, suasana Setu Babakan terlihat ramai. Dari balita
hingga paruh baya, semua terlihat sedang santai dan sesekali melihat aliran air
yang tenang di Setu Babakan untuk mengisi hari libur mereka. Sementara para
pemain lenong tetap berusaha menghibur wisatawan yang datang. Namun, hanya
sedikit orang yang tertarik mendengarkan candaannya, sedangkan yang lain
memilih untuk sibuk dengan lamunannya.
Setiap akhir pekan, Kampung Betawi Setu Babakan memangselalu
menampilkan Lenong sebagai hiburan. Acara tersebut merupakan salah satu program
dari pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk melestarikan budaya Betawi. Namun
yang terlihat justru pemain Lenong yang kebanyakan adalah orang tua. Tak
terlihat lagi wajah-wajah baru setiap minggunya.
Lenong pada awalnya adalah komedi stambul (dari kota
Istanbul, Turki) dan teater bangsawan yang dimainkan dengan menggunakan bahasa
melayu. Orang Betawi menirunya dan memolesnya, hingga perlahan lenong menjadi
ciri khas Jakarta yang selalu dipentaskan ketika acara ngawinin. Lenong menjadi primadona di antara kesenian lain yang ada
di Jakarta, karena ciri khasnya yang merupakan banyolan. Sampai akhir abad
ke19, teater tradisional Betawi ini terus berkembang.
Lenong saat itu bukan hanya sebagai sarana hiburan atau
rekreasi, namun, seperti teater pada umumnya, juga mencerminkan perjuangan dan
protes sosial. Lakon-lakonnya mengandung pesan moral dan mengedepankan
humanisme yang membela rakyat kebanyakan seperti lakon Si Pitung, Si Jampang dan Macan
Kemayoran.
Hingga pertengahan abad ke-20, lenong masih tenar namanya
seiring lahirnya Mandra, sebagai salah satu pemain lenong yang sukses. Mandra,
sebagai pemain Lenong, memiliki pengalaman susah payahnya bermain lenong hingga
akhirnya dapat terkenal. “Saya masih ingat dulu waktu ingin pentas di Serpong,
kami haru jalan kaki dari rumah di Cisalak sampai ke Serpong,” tutur Mandra
menceritakan pengalamannya. Mereka mengisi pentas di tengah lapangan yang
diterangi obor, dari kampung ke kampung, sambil meminta saweran kepada
penonton.
Pada tahun 1970, lenong mulai terangkat ke panggung yang
lebih besar ketika gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memberikan kesempatan
kepada para pemain lenong untuk tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM). Hasilnya,
lenong mendapat semangat baru dan mulai digemai di masyarakat yang lebih luas.
Berkat dibukanya pintu TIM untuk lenong, para pemain lenong dapat mengembangkan
sayapnya di dunia televisi dan film.
Sayangnya, saat ini kesenian lenong semakin sulit dicari.
Sudah sangat jarang masyarakat yang menanggap lenong ketika hajatan. Masyarakat
kini lebih memilih dangdut dan organ tunggal untuk mengisi hiburan mereka.
Bukan merupakan kesalahan, karena dangdut dan organ tunggal juga merupakan produk
kebudayaan Nusantara. Namun ketika lenong kehilangan tempatnya di tanahnya
sendiri, itu merupakan sesuatu yang ironis.
Dalam upaya melestarikan budaya Betawi, hadirlah Kampung
Betawi Setu Babakan, yang hampir setiap minggunya menampilkan lenong. Lenong
diharapkan dapat menemukan kembali masa keemasannya, yang hingga kini mulai
terlupakan.
No comments:
Post a Comment