Wahai kau Evan Dimas, aku menonton pertandinganmu saat melawan Korea Selatan yang takluk dalam guyuran hujan. Malam ini, aku sempatkan untuk menulis surat ini. Semoga kau membaca.
Tak kusangka, di balik wajahmu yang lemas, engkau memiliki napas yang tak kunjung henti. Larimu seperti harimau, goyanganmu seperti lebah, sujud syukurmu seperti manusia. Engkau adalah persatuan yang sempurna.
Tak ingin aku melewati untuk memujimu malam ini. Sungguh.
Sebenarnya, aku bukanlah orang yang bisa menulis surat untuk manusia yang kupuja. Aku tidak bisa menulis kata mesra. Ah bajingan kepada wasit yang memberikan penalti dan tendangan bebas untuk Korea Selatan. Harusnya kita bisa menang tiga kosong. Tapi itulah pertandingan. Janganlah kau menaruh dendam pada wasit itu, meskipun dia seorang Malaysia. Sayanglah, Dimas.
Hey Dimas, aku sungguh merasa malu. Tadinya aku ingin memasang taruhan untuk Korea Selatan. Namun, hati nurani ini melarangku untuk jangan. Beruntunglah aku. Engkau mencetak hat-trick ke gawang Korea Selatan dengan tembakan dari mukamu yang lemas, hingga Korea tak jadi menang.
Dimas, namamu seperti nama temanku. Dulu temanku pernah dipukuli oleh bapaknya karena disangka minum minuman keras di depan sekolah. Ternyata bapaknya salah. Yang mabuk di depan sekolah adalah temannya Dimas, bukan Dimas. Tapi tetap saja, muka temanku sudah babak belur dipukuli. Ah, kasihan sekali. Semoga nasibmu tidak seperti temanku.
Evan Dimas, aku melihat komentarmu di berita. “Semua bisa dikalahkan, kecuali Tuhan.” Begitu kira-kira bunyinya. Semoga saja, engkau dapat mengalahkan PSSI, dan bahkan Menpora yang sungguh tak indah mukanya untuk di tampilkan dalam tulisan ini. Oh Dimas, doaku selalu untukmu. Tidak janji, namun akan kuusahakan.
Satu lagi, Dimas. Janganlah engkau tergiur untuk menjadi bintang iklan sebuah merek makanan, yang sebenarnya rasanya enak, namun tak memilik tim kreatif iklan yang baik. Nanti pasti kau akan disuruh nyanyi. Namun semua keputusan ada di tanganmu. Jangan sampai kau menyesal.
Mungkin hanya sampai di sini aku dapat menyapamu. Jangan dengarkan komentator-komentator di layar kaca pertandinganmu disiarkan. Karena komentator adalah kosong, dan kau adalah isi. Isi dan kosong, semoga saja memiliki banyak perbedaan.
Dimas, di paragraf terakhir ini akan kutuliskan namamu dengan sebuah rasa, kebanggaan. Evan Dimas, engkau, ..ah, sudahlah!
*Sudah pernah terbit di blog busuk ini.
*Sudah pernah terbit di blog busuk ini.
No comments:
Post a Comment