Bukan hal yang baru, bila ada yang mengatakan bahwa negeri kita kaya. Sumber daya alam melimpah, lautan yang indah, sampai ratusan suku bangsa, menyatu atas nama Indonesia.
Namun, bukan hal yang baru pula bila pada kenyataan menunjukkan Indonesia masih hidup dalam kemiskinan. Semua yang berubah dari anugrah menjadi bencana, berakar dari satu hal, korupsi. Korupsi seperti telah mengakar dalam masyarakat kita. Semua korup. Tak peduli status sosial, jenis kelamin, agama, suku bangsa, bahkan usia sekalipun, semua telah mengenal—mungkin sudah pernah dan biasa—untuk korupsi.
Kita dengan mudah mengutuk korupsi, namun diam-diam melakukannya dengan senang hati. Bayangkan bila tak ada korupsi, mungkin kita orang yang paling bahagia karena pernah dilahirkan di Indonesia. Tanah yang tak hentinya mengeluarkan berbagai macam kehidupan sebelum akhirnya kita menggantinya dengan beton dan memaksakan diri untuk jadi negara industri.
Pada akhirnya untuk sekadar menikmati tahu dan tempe pun kita harus impor. Tak henti sampai di situ. Di Ibu Kota tak ada tempat lagi untuk menanam. Jangankan menanam, untuk berangkat kerja pun harus berjuang mempertaruhkan jiwa dan raga. Jalanan yang terbatas yang seharusnya digunakan untuk transportasi publik justru ditambah dengan kebijakan mobil murah yang tidak masuk akal.
Kebijakan yang kental dengan nuansa “bagi-bagi proyek” pemerintahan. Kita harus pasrah dalam menghadapi kebijakan, kemacetan, dan kegilaan jalanan dengan berkata, “Mau bagaimana lagi, orang dapat kerjanya di Jakarta.” Sampai akhirnya kita harus mati di jalanan, terjebak kemacetan. Dalam kepasrahan rakyat, manusia-manusia korup akan semakin merajalela.
Sikap pasrah adalah sebuah kesalahan. Tak akan ada perubahan dalam kepasrahan. Lantas, apa yang harus dilakukan? Menurut Francis Fukuyamna dalam bukunya, The Origins of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution, keberhasilan negara-negara Barat dalam menciptakan kesejahteraan adalah keseimbangan antara hukum, negara, dan pemerintahan yang baik.
Untuk Indonesia, kiranya jalan kita masih panjang menuju kesejahteraan. Namun, dalam kelas yang jumlah mahasiswanya terbatas, dosen saya yang juga seorang seniman mural berkata dengan sikapnya yang sederhana, “Cara yang paling mudah menghilangkan korupsi adalah menutup mata kalian dan berjanji dalam hati tak akan pernah menjadi korup.”
Nb: Terbit untuk Koran Sindo
No comments:
Post a Comment