Dalam satu kesempatan, seorang wartawan bertanya pada salah satu kader dari partai pendukung Prabowo-Sandiaga. Pertanyaannya kira-kira begini, "Pak gimana kalau debat nanti pakai bahasa inggris?"
"Yha boleh juga kali ya..," katanya seolah mengamini pertanyaan wartawan.
Jadilah kita saat ini disibukkan dengan duskusi kontra-produktif, memberikan alasan semasuk akalnya mendukung dan/atau menolak debat capres-cawapres dalam bahasa Inggris. Padahal, semua sama-sama tahu hal itu muskil dilakukan. Apalagi, dalam debat capres-cawapres 2019 nanti.
Sialnya, kubu sana dan sini, menjadikan itu sebagai bahan serang-menyerang, beradu argumen. Ramai. Seperti Gunung Gede kala akhir pekan menjelang.
Untungnya, sebagai wartawan, saya tak ikut memainkan isu (receh) itu. Tapi ada isu lain, tak kalah jenaka, seperti jenderal takut masuk neraka, mentor politik layaknya godfather tapi pernah ditempelengi muridnya itu semasa pendidikan militer di Magelang, atawa pendukung pertahana yang lebih taat ibadah versi lembaga survei di dekat kawasan industri.
Ya namanya juga isu. Cocok dijadiin gunjing-gunjing sambil ngopi segelas sampai malam, bahkan larut pagi. Teman saya, Andio yang baru saja lulus tentu senang sekali membahasnya.
Diam-diam, di satu pojokan, terpidana korupsi tetep ongkang-ongkang kaki. Setelah bebas, beliau bisa nyalon lagi. Salah satunya contohnya kini, anggota DPRD DKI.
Sementara kita, hanya bisa tertawa. Entah karena apa. Mungkin ada sedikit bahagia dalam tawa kita.
No comments:
Post a Comment