Dalam perjalanan yang kesiangan menuju sebuah rumah di Jalan Cemara, Menteng, Jalarta Pusat, kerumunan di jembatan mengalihkan perhatian saya. Para pengendara motor yang berhenti menunggu kereta lewat, kepala saya semua mengarah ke kiri, melihat aliran kali. Kali Ciliwung.
Di sisi kiri kali dari arah jembatan, beberapa petugas sedang melongok ke gorong-gorong. Saya lantas memarkir motor di pinggir jalan layaknya jagoan. Di depan saya, seorang polisi sudah memarkirkan motornya terlebih dahulu. Saya hanya mengikutinya, merasa seperti jagoan.
"Ada mayat," katanya, tentu setelah ditanya.
Ketika saya cek, memang benar sesosok mayat terlihat di gorong-gorong Kali Ciliwung. Tubuhnya sudah menghitam, berbalutkan spanduk layaknya selimut. Baunya anyir, seperti sudah berhari-hari tak ada yang mengetahui.
Adalah dua orang petugas taman yang menemukan mayat itu. Mereka terganggu dengan bau busuk terbawa angin, ketika membersihkan bahu Jalan Galunggung yang rindang.
"Beda kan baunya sama bangke tikus," kata dia.
Merasa terngganggu, dua orang itu mencari sumber bau busuk. Ketemu. Ada di gorong-gorong.
Mereka tak kenal mayat itu. Memang sering orang-orang tak punya rumah dan penghasilan tetap tidur di situ, juga di kolong jembatan, kata mereka.
Proses evakuasi memang dilakukan dengan cepat. Hanya sekitar dua jam sejak mayat pertama ditemukan. Mayat lantas dibawa ke RSCM menggunakan ambulans.
Sementara, seorang berpakaian preman berambut cepak polisi mencari informasi dua orang saksi itu. Di sampingnya, anak-anak berpakaian seragam sekolah dasar seolah ingin mencari perhatian, memberi tahu pak polisi bahwa bau busuk telah terendus sejak hari-hari sebelumnya, ketika mereka berjalan pulang sekolah.
Isunya, mengapa bisa masyarakat sekitar menganggap wajar banyak orang-orang yang tidur di gorong-gorong dan kolong jembatan, setiap hari layaknya rumah sendiri? Bukankah fakir miskin dan anak terlantar menjadi tenggung jawab negara?
Ironisnya, tempat itu hanya berjarak sekira 100 meter dari kantor Komnas HAM. Tempat orang-orang paling giat mewacanakan persoalan hak asasi di Indonesia. Nyatanya, mereka di pinggir kali tetap menikmati tidur lelap berselimut selembar spanduk.
Lagi, dan lagi, saya teringat diktum di halaman Facebook almarhum Cak Rusdi, "Teruslah bekerja, jangan berharap pada negara."
No comments:
Post a Comment