RAMOS. Kalah di partai final sebuah kompetisi kelas wahid di benua pusat peradaban sepakbola memang bukan hal yang mudah. Skor 3-1 mengantarkan Real Madrid membawa pulang trofi Liga Champions untuk ketiga kalinya secara beruntun, menyisakan dendam di hati para Liverpudlian. Dendam itu mengarah pada satu nama: Sergio Ramos.
Betapa tidak, aksi Ramos disebut-sebut menjadi biang keladi kekalahan Liverpool di final yang mereka nantikan sejak 2005 itu. Ketika pertandingan belum juga berjalan setengah jam, dalam sebuah perebutan bola, tangan Ramos mengapit lengan Mohamed Salah, menjatuhkannya, dan Salah terkapar. Kejadian itu memang sekilas nampak seperti adegan piting gulat MMA.
Pemain muslim pujaan hati para hooligans Liverpool itu memang sempat melanjutkan pertandingan untuk beberapa saat. Namun, ia kembali terjatuh. Matanya berkaca. Lidah basahnya sesekali membasuh bibir yang sehabis berpuasa. Salah keluar dengan berat hati. Menangis ia karena tak bisa melanjutkan pertandingan yang dinantikan semua pecinta sepak bola itu.
Seperti kita semua tahu, pertandingan harus terus berlangsung tanpa Salah. Laga di babak pertama berjalan sama ketat hingga turun minum. Namun, gol kelas dunia Karim Benzema pada menit 50 merupakan kunci kemenangan Real Madrid, raksasa asal Spanyol itu.
Benzema dengan cerdik memotong bola sepersekian detik setelah dilempar oleh penjaga gawang Liverpool, Loris Karius, dan mengkonversikannya menjadi catatan nama di papan skor. Meski Sadio Mane sempat membuka asa bagi Liverpudlian, tapi sepasang gol Gareth Bale membuat mereka akhirnya terdiam hingga akhir pertandingan.
Dua dari tiga gol Real madrid, boleh dikatakan merupakan kelalaian Karius. Entah karena gugup, grogi, nerves, atau memang tak merasa pantas berada di final, Karius tampil tak seperti biasa, kalau tak mau dibilang bermain jelek. Di ujung laga, Karius pun tak kuasa menahan tangis. Ia menunduk, untuk kemudian sadar bahwa ada pihak yang menanti pertanggungjawabannya; Liverpudlian.
Ia terhuyung berjalan menuju tribun yang masih mengangkat syal merah, menjulurkan tangannya, meminta maaf kepada fans. Tentu, fans mau tak mau menerima permintaan maaf tersebut. Toh, mereka sudah kalah. Masuk ke lapangan dan gebukin Karius sama saja mempermalukan lagi diri sendiri. Mereka sadar, dalam setiap pertandingan final, akan selalu ada pihak yang kalah.
Kelapangan hati dan penerimaan maaf memang diberikan untuk Karius. Tapi untuk Ramos, nanti dulu, Bung!
Agar lebih jelas, saya sedikit uraikan latar belakangnya. Salah memang baru satu musim membela Liverpool. Namun, peran pemain yang didatangkan dari tim yang mereka kalahkan di semi final Liga Champions, AS Roma, begitu istimewa. Ia telah mencetak 43 gol bersama Liverpool, menjadi pemain terbaik Premier League, dan bahkan telah mengubah perspektif masyarakat Inggris dalam memandang kaum muslim. Banyak orang menyebut Salah sebagai calon kuat perusak dominasi superhuman Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo dalam perebutan Ballon d’Or. Final Liga Champions tentu menjadi panggung untuk membuktikan semua harapan itu, sekaligus membawa membawa trofi Champions ke hadapan publik Anfield.
Bersamaan dengan itu, pengharapan Liverpudlian bahwa tim kesayangan mereka akan juara dibarengi dengan segala mitos-mitos tak masuk akal, seperti perkawinan Pangeran Hary dan Megan Markle hingga terpilihnya Mahathir Mohammad sebagai Perdana Menteri Malaysia. Masa lalulah yang membuat mitos itu subur. Pada 1981, Liverpool keluar sebagai juara Piala Champions (versi lawas Liga Champions), berbarengan dengan pernikahan Pangeran Charles dengan Lady Diana dan terpilihnya Mahathir sebagai PM Malaysia.
Sayangnya, semua teori asbuntoteles Liverpudlian itu dirusak oleh aksi piting Ramos. Ya, pemain dengan rambut sok mowhawk itu! Pemain yang mematahkan tulang bahu Salah, dan membuatnya harus meninggalkan lapangan dengan air mata membasahi wajahnya. Pemain yang merusak impian Salah, dan mengancam membuatnya absen dari Piala Dunia.
Kok tega sih Ramos berbuat seperti itu kepada Salah? Padahal kan, Salah merupakan salah satu pemain yang tak bisa dibenci, seperti juga Ronaldinho. Padahal juga, semua pertanda weton yang terjadi pada 1981 telah mirip dengan yang ada tahun ini, 2018.
Memang, keluarnya Salah dari lapangan karena cedera memang membuat partai final pincang sebelah. Namun, Ramos, seperti hal juga bek-bek yang kasarnya bukan main macam Nesta, Materazi, Alves, dan Stam, sesungguhnya hanya melalukan pekerjaannya. Menghentikan bola, kalau perlu si pembawa bola.
Sialnya, para fans Liverpool perlu kambing hitam untuk kekalahannya. Mereka memang telah memaafkan Karius, jadi tak mungkin memasukan nama Karius menjadi alasan. Mengakui gol hebat Benzema dan Bale, sama saja dengan mengakui Madrid lebih baik ketimbang Liverpool. Madrid boleh saja menjadi juara, tapi bukan berarti lebiperkasa dibanding The Reds. Ramos mau tak mau jadi sasaran empuk.
Mereka percaya, Salah merupakan pemain yang dapat mewujudkan kejayaan kejayaan pada 1981. Meski mereka harus insaf, saat ini adalah tahun 2018. Meghan pun tak secantik Diana, sementara Mahathir sudah di usia senjanya. Masa para fans Liverpool masih saja berharap juara?
Tak ada alasan lain, semua salah Ramos!
No comments:
Post a Comment