Ilustrasi karya Popo, yang pernah jadi ilustrasi cerpen "Perempuan Tua dalam Rashomon"Kompas (5/12/2011). |
Entah
kapan petama kali ia datang dalam kepalaku. Pagi itu, saat matahari belum sempat
menyapa embun yang hinggap dalam rentangnya hijau daun, aku termenung lagi. Di dalam
cangkir masih ada sisa-sisa ampas pengembaraanku tadi malam, saat pikiranku menjelajah
setiap kemungkinan adanya kenangan tentang sosok perempuan dalam kepalaku ini.
Aku
tahu namanya Siti. Semalam ia keluar dari dalam kepalaku melalui saluran eustachius, dan menjelma menjadi sosok
perempuan bersama dengan napasku yang memburu. Aku tak tahu wajahnya, namun aku
pernah mengenalnya. Ia memperkenalkan dirinya, hanya sebatas nama. Aku yang
terbengong-bengong melihat kejadian itu tak sempat berkata-apa-apa, sebelum ia
akhirnya masuk kembali ke dalam kepalaku bersama dengan tarikan napas untuk
memenuhi kesadaranku.
Pikiranku
tak karuan. Dari mana munculnya perempuan
bernama Siti ini?
Mungkin
saat guru tingkat pertama di sekolah dasar berbilik bambu dulu selalu
menggunakan nama itu ketika ia mengajarkan cara membaca kepadaku. Para guru itu
menanamkan imajinasi dalam kepalaku tentang nama itu, bersama dua rekannya, Ani dan Budi. Namun
bukan Ani dan Budi yang kini menggelayut di kepalaku. Hanya Siti.
Tiga
nama yang selama itu tak memiliki cukup ruang untuk hidup di kepalaku. Nama-nama
itu terlalu mudah untuk dilupakan sebagai konsep yang rumit.
Aku
ingat temanku saat di kampung dulu. Namanya juga Siti. Kakak kandung teman sebayaku,
Wati. Ia menikah dengan pacarnya setelah di dalam perutnya terkandung nyawa
yang baru berumur kurang dari tiga bulan. Perayaan pernikahannya biasa saja. Seingatku,
aku tak sempat membantu hajatannya, seperti hajatan-hajatan lain di kampung
yang selalu butuh bantuanku sebagai tukang cuci piring panggilan. Atau memang
tak dilangsungkan hajatan, aku lupa. Namun setelah menikah, Siti menghilang
bersama suaminya. Entah kemana. Aku tak lagi mendengar kabarnya.
Bukan. Bukan, Siti kakak kandung dari teman
kecilku yang hidup dalam kepalaku. Ada Siti lain yang menggangu.
Setelah
Siti, kakak kandung Wati, menghilang dan guru-guru di sekolah dasar itu tak
lagi menggunakan nama Siti sebagai bahan pelajaran, praktis ingatan tentang
nama itu pun menguap. Layaknya air yang diam-diam menjadi udara. Sampai
akhirnya, udara-udara itu mengadakan rapat tertutup di langit untuk memulangkan
air ke tempat asalnya melalui awan. Seperti itu juga perempuan yang muncul
dan hidup dalam kepalaku.
Aku mengenalnya, namun tak mengingatnya.
Aku mengenalnya, namun tak mengingatnya.
Pikiranku
kembali melayang. Entah berapa juta waktu berhenti malam itu. Waktu selalu
menurut pada kemauan hatiku. Konsep waktu memang selalu absurd untuk sebuah lamunan.
Tak usah buru-buru, bisikku kepada waktu. Biarlah malam ini menjadi malam untuk menenukan kembali.
Tak usah buru-buru, bisikku kepada waktu. Biarlah malam ini menjadi malam untuk menenukan kembali.
Waktu
mengangguk setuju. Aku lega melihat waktu yang mau bekerja sama malam itu.
Siti
di kepalaku belum juga menemukan jawaban. Dia hadir seperti air yang jatuh dari
awan, aku mengenal sosoknya namun tak bisa mengingat dari mana asalnya. Di dalam
kepalaku, perempuan itu sangat keras kepala. Ia ingin aku dengan segera dapat
menjawab seonggok kegelisahannya; Untuk
apa ia diciptakan dalam kepalaku.
Aku
memukul kepalaku. Berharap, di dalam sana ia akan terguncang dan mau untuk
keluar. Namun Siti nekat. Ia malah mulai mengeksploitasi segala sudut akal yang
terbentang dalam otakku. Aku seperti dikendalikan. Menurut saja untuk mencari
tahu eksistentinya dalam kepalaku.
Siti macam apa yang mampu mematikan segala
fungsi dalam otakku?
Aku tak mampu menjawab. Bukan karena tak bisa. Melainkan aku tak pernah bisa mengingat nama itu, selain nama temanku yang menghilang setelah menikah dan nama dalam papan tulis muram yang selalu menjadi bahan ajar guru-guru sekolah dasar.
Aku tak mampu menjawab. Bukan karena tak bisa. Melainkan aku tak pernah bisa mengingat nama itu, selain nama temanku yang menghilang setelah menikah dan nama dalam papan tulis muram yang selalu menjadi bahan ajar guru-guru sekolah dasar.
Sejak
malam itu, Siti tetap hidup di kepalaku.
NB: Naskah ini terbit juga terbit di Buletin Kinasih.
NB: Naskah ini terbit juga terbit di Buletin Kinasih.
Sitiek Wae Yoo.hehhee
ReplyDeleteObtai! Heu..
Delete