Pages

07 July 2019

Mengenang Sutopo dan Sistem Kebencanaan di Negeri Ini

Tulisan ini, saya muat ulang untuk mengantar Sutopo Purwo Nugroho ke alamnya yang baru. Saya menulis ini sekitar awal Agustus 2016. Momen itu, kalau tak salah, menjadi kali pertama saya menuliskan sosok untuk sebuah media arus utama.

Tulisan mengenai sosok ini terbit di Harian Nasional edisi 6-7 Agustus 2016. Format tulisannya tanya-jawab. Saya bertanya satu menit, Sutopo menjawab 30 menit.

Sehabis mewawancari di siang itu, saya ditawari beberapa kaos dan buku terkait kebencanaan. Saya mau ambil bukunya, tapi tak jadi. Entah saat itu alasannya apa.

Silakan mengenang kembali sosok humas terbaik pernah saya kenal.


___
Di balik berita kebencanaan, hampir pasti nama Sutopo Purwo Nugroho disebut sebagai sumber utama. Ia merupakan Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Di dalam buku kontak telepon pintarnya, ada lebih dari 2.000 nomor telepon wartawan. Setiap terjadi bencana di Indonesia, ia lalu menulis atau menyampaikan data tersebut ke seluruh kontak wartawan di telepon pintarnya.

Pria yang mengaku memiliki hobi membaca dan bermain badminton, ketika masih muda dulu, ini tak hanya aktif di BNPB. Ia juga mengajar di beberapa universitas. Menurutnya, mengatur waktu adalah hal yang penting di tengah banyaknya pekerjaan yang dijalani.

Sutopo mengaku banyak belajar dari pengalaman hidup. Dilahirkan dari keluarga sederhana, ia pernah bertelanjang kaki untuk pergi ke sekolah. Rumahnya hanya beralsakan tanah, yang ketika hujan akan banyak laron datang bergelandangan. Namun itu merupakan rejeki tersendiri, karena laron-laron itu akan berakhir menjadi peyek dan mauk ke dalam perut Sutopo.

Sampai kelas 3 SD, Suropo mengaku belum lancar membaca. Karena itu semua, ia merasa sering disisihkan oleh lingkungannya. Namun pada kelas 4 SD, ia mengaku pernah dipuji oleh gurunya. Perkara sepele, hanya karena Ibu Sri, guru Sutopo kala itu, melihat dirinya menyapu halaman rumah. Namun Sutopo merasakan kehangatan dalam pujian tersebut.

Anak dari pasangan ayah guru dan ibu pegawai di kantor pengadilan Boyolali ini bertekad untuk semakin rajin belajar. Ia lagi-lagi mendapat pujian, perkara nilainya meningkat. Orang tuanya ikut senang. karena itu, ia terus bertekad untuk belajar dan membuat orang tua bahagia.

Ia mengatakan saat itu belum mampu membahagiakan melalui materi, karena itu prestasi sekolah merupakan pilihan yang paling realistis. Saat di SMP dan SMA, ia selalu menjadi juara kelas. Bahkan lulus sarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan predikat cumlaude tercepat.

Lulus dari UGM pada 1994, ia langsung mendaftar di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sutopo ditempatkan di UPT Hujan Buatan. Ia ingat BJ Habibie memberikan wejangan ketika itu, “Anda dititipkan orang tua anda ke saya. Saya tidak memberikan jaminan anda akan sukses. Tapi berhasil tidaknya bergantung dari anda.”
Dok. Sutopo Purwo Nugroho
Bisa dijelas peran, tugas, dan fungsi BNPB?

Jadi BNPB itu memiliki tiga fungsi. Ketika tidak terjadi bencana atau pasca bencana, fungsinya adalah koordinator dalam penanggulangan bencana. Baik itu pra bencana atau darurat. Saat terjadi bencana, maka fungsinya adalah komando. BNPB bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai komando, yang mengoordinir seluruh potensi nasional, seperti TNI, Polri, Basarnas, kementerian/lembaga, NGO, relawan, masyarakat, dunia usaha, dan lainnya.

Selain itu, BNPB juga membangun masyarakat yang tanggung dalam menghadapi bencana. Artinya, kita siap menghadapi bencana, kita tahu bagaimana melindungi  masyarakat saat terjadi bencana, ketika terjadi bencana bagaimana melakukan penanganan yang baik.

Begitu selesai, masyarakat kita tempatkan kembali dengan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Karena itu, pasca bencana kita bangun lima sektor, diantaranya pemukiman, infrastruktur, ekonomi produktif, sosial budaya dan lintas sektor.

Jadi tugas BNPB sangat besar, karena bukan menangani saat bencana tetapi juga menyiapkan masyarakat.

Mengapa?

Kita ini rawan bencana, yang bisa terjadi kapan saja. Kalau kita melihat, peradaban Indonesia tumbuh dan utuh bersama bencana itu. Contoh Samudera Pasai di Aceh, Kerajaan Barus di Sumatera Utara, Mataram Kuro di Yogyakarta, Majapahit di Jawa Timur, hancur bukan hanya semata-mata serangan musuh atau konfik internal. Tapi lebih dominan karena ada ancaman bencana tadi.

Mangkanya bencana itu pasti selalu menyertai bangsa Indonesia.

Bagaimana agar siap menghadapi itu?

Kesadaran masyarakat kita tetang pentingnya bencana baru tumbuh saat tsunami Aceh tahun 2004. Ketika terjadi bencana yang demikian besar, kita belum punya sistem nasional penanggulangan bencana. Mangkanya penanganannya tidak berjalan dengan baik. Masyarakat tidak tahu arti tsunami. Air surut, malah semua berlarian ke bawah mengambil ikan di pantai. Sehingga timbul korban yang hampir 200.000 orang meninggal.

Ketika kita masih menangani tsunami Aceh, tiba-tiba muncul gempa 8,5 SR di Nias yang disusul tsunami. Belum selesai, gempa juga terjadi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. 5.000 orang lebih meninggal. Lalu banjir Jakarta, gempa Sumatera Barat, dan lainnya. Mangkanya, kita baru memahami arti pentingnya penanggulangan bencana ya tahun 2007.

Bagaimana awal kelahiran BNPB?

Tahun 2008 baru lahirlah BNPB, kemudian disusul BPBD di daerah. Saat ini sudah ada sekitar 500 BPBD di provinsi maupun di kabupaten/kota. dalam 8 tahun ini, kita masih perlu banyak upaya yang lain. Meskipun kita melihat bahwa banyak negara mengakui tentang kemajuan Indonesia dalam menanggulangi bencana. Tetapi kita menyadari masih perlu perjalanan panjang. Penanggulangan bencana itu adalah sesuatu yang lintas generasi. Dan harus dilakukan secara terus menerus.

Kita bandingkan dengan Jepang, misalnya. Jepang itu menyiapkan masyarakat mereka yang tangguh menghadapi gempa dan tsunami sudah berjalan hampir sekitar 2.000 tahun. Dalam kurun waktu itu, Jepang sudah memiliki proteksi-proteksi untuk mengantisipasi gempa dan tsunami. Pendidikan usia dini juga dilakukan secara terus menerus.

Sebelum lahir BNPB, bagaimana penanggulangan bencana di Indonesia?

Dulu tidak ada koordinasi tetap. Sifatnya satuan laksana yang ditangani di bawah Badan Koordinaso Nasional, di bawah Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Jadi fungsinya hanya ad hoc begt ada bencana. Ketika selesai, dikembalikan ke kementerian/lembaga, yang masing-masing punya program sendiri.

Jadi dengan adanya BNPB dan BPBD, fungsi koordinasi menjadi lebih mudah. Di Indonesia banyak sekali pemain-pemain penanggulangan bencana. Itu harus dikoordinir. Kalau tidak, semua melakukan sehingga seringkali terjadi duplikasi dan bantuan berlebih di satu tempat namun tempat lain kekurangan.

Sementara di daerah, ekspetasi masyarakat kepada BPBD dan BNPB itu luar biasa. BPBD bukan hanya menangani bencana, namun permasalah yang ada di masyarakat pun mereka lapor ke BPBD. Seperti sapi kecebur sumur, orang gantungdiri, ternak hilang, mereka lapor BPBD.

Kalau seperti itu, bukankan akan memberatkan tugas BPBD?

Karena panggilan. Dalam hal ini juga kami tidak sendirian, pasti didukung TNI, Polri, PMI, Basarnas, relawan dan SKPD yang ada.

Selama ini, tantangan dan masalah apa yang selalu dihadapi?

Yang paling berat adalah wilayah Indonesia terlalu luas dan aksesibilitas menuju lokasi sering menjadi kendala. Seperti banjir bandang di Kepulauan Sangihe bulan lalu, kita menuju ke sana tidak mudah. Kita mau menggunakan helikopter tidak bisa karena angin kencang, menggunakan kapal lau tidak bisa karena gelombang tinggi. Sehingga kita hanya berkomunikasi dengan menggunakan radio komunikasi. BPBD setempat pasti melakukan penanganan, namun kita tidak tahu bagaimana kebutuhan ekstrem yang perlu disediakan. Sehingga komunikasi menjadi sangat penting.

Sering kali wilayah tersebut juga belum bisa melakukan komunikasi karena aksesibilitas yang masih sangat terbatas.

Yang lain, faktor penyebab bencana bukan hanya dari alam, namun juga campur tangan manusia. Longsor tahun 2014 hingga saat ini menjadi bencana yang paling mematikan, karena masyarakat memang tinggal di daerah yang rawan longsor tinggi. Seharusnya, kemeringan lereng 45 derajat itu menjadi kawasan lindung. Tetapi sekarang berkembang menjadi pemukiman.

Artinya, masih ada kelemahan dalam penataan ruang, penegakan hukum, dan masih adanya kemiskinan. Masyarakat ingingnya tinggal di daerah yang datar dan tidak rawan bencana, namun adanya hanya di situ yang paling murah. Akhirnya tinggal di situ.

Tentu saja BNPB tidak bisa melakukan penanganan. Itu merupakan kewenangan kementerian/lembaga terkait. Tapi kita ajak bicara bersama untuk mengatasi hal ini. Idealnya memang daerah tersebut kosong, tapi mau kemana masyarakat yang sudah ada. Relokasi itu tidak mudah.

Sampai saat ini, apa yang belum dilakukan?

Saya rasa semua sudah melakukan, tapi dengan kemampuan masing-masing. Ini merupakan proses perjalanan sejarah kita. Tentu perlu jangka waktu yang panjang. Pada saat latihan kebencanaan, semua nurut. Namun dalam kondisi panik semua tidak beraturan. Saat sosialisasi kita mengatakan kalau evakuasi tidak usah bawa kendaraan, ternyata saat terjadi 63 persen membawa kendaraan. Karena itu jadi macet.

Ini perlu perjalanan waktu. Karenanya, urusan bencana bukan hanya urusan BNPB. Ini tanggung jawab bersama, tidak mungkin semua ditangani pemerintah.

Contohnya Jakarta, yang rawan gempa. Semua gedung bertingkat, namun saya kira belum semua yang menghuni gedung mengerti cara evakuasi yang benar. Harusnya pemilik gedung wajib mengadakan latihan evakuasi.

Di Indonesia, pengetahuan masyarakat terkait bencana sudah ada. namun pengetauan itu belum menjadi sikap dan perilaku. Itu perlu waktu panjang, yang disertai dengan penegakan hukum, tata ruang, dan ekonomi yang baik.

Bagaimana peran pemerintah daerah?

Alokasi anggaran BPBD dari APBD itu kecil sekali. Rata-rata hanya 0,02 persen. Padahal minimum adalah 1 persen. Ini memang masih berupa kesepakatan. Karena itu penanggulangan bencana belum menjadi prioritas. Leadership kepala daerah sangat menentukan berhasil atau tidaknya penanggulangan bencana.

Semakin kepala daerah tahu tentang penanggulangan bencana, anggaran BPBD akan semakin dinaikan. BNPB tidak bisa intervensi. Contoh Kota Surabaya belum memiliki BPBD, karena walikotanya mengetahui tentang bencana sepotong-sepotong. Dikiran BPBD itu pemborosan anggaran.

Salah satu yang bagus adalah Provinsi Jawa Tengah. Kepala daerah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap penanggulangan bencana. Karena itu anggaran BPBD-nya juga sudah di atas 1 persen.

Bagaimana anggaran di pusat?

Kita melihat anggaran mencukupi. Di BNPB sendiri ada 1,5 hingga Rp 2 triliun untukkepegawaian, penanganan darurat, pasca bencana, dan lain-lain. Selain itu BNPB juga punya dana cadangan Rp 4 triliun di Kementerian Keuangan. Anggaran tersebut Rp 2,5 triliun untuk penanganan darurat, dan sisannya untu rehabilitasi dan rekonstruksi (RR). Memang cukup besar.

Tapi melihat kebutuhan nasional, jelas masih kurang. Kebutuhan kita rata-rata hampir Rp 30 triliun per tahun. Anda bayangkan, Sinabung untuk RR butuh Rp 3,6 triliun. Kalu kita alokasikan ke sana semua, daerah lain pasti teriak. Karena dana itu kita bagi ke daerah terdampak bencana, sehingga setiap daerah perlu waktu beberapa tahun. Belum selesai RR, datang lagi bencana berikutnya.

Ini memang anggaran yang kita miliki. Sehingga kita mampunya hanya seperti itu. Karena itu dunia usaha juga harus ikut terlibat menangani bencana. Jangan semuanya mengandalkan pemerintah. Saat ini kepedulian dunia usaha terkait bencana tidak sampai 1 persen.

No comments:

Post a Comment