Pages

07 December 2018

Isu #4

Sebagai anak muda yang pernah sok punk, tentu saja saya pernah mendengarkan lagu-lagu Superman is Dead (SID). Tapi, sebagai anak yang tinggal di pinggiran Jakarta, saya juga pernah (dan mungkin masih) mencintai dangdut cum koplo. "Gedung Tua", "SMS", adalah dua di antara lagu-lagu yang pernah mengisi waktu, ketika masih SMP kalau tak salah.

Pada fase-fase itu pula, saya mengenal Intisari, anggur cap Orang Tua dengan berbagai varian rasanya, juga minuman-minuman tak bernama. Bukan Radiohead atawa Stone Roses yang mengisi musik latar belakang, melainkan Endank Soekamti dan SID. Sesekali mencari, panggung dangdut hanya untuk merayakan hidup dalam goyangan aduhai.

Lantas setelah fase itu, saya mulai meninggalkan nada-nada band punk mapan Indonesia dan dangdut di kampung-kampung tetangga. Saat itu, The Upstairs membawa saya pada musik independen Indonesia lainnya, yang awalnya tak saya menegerti tapi tetap asyik saja.

Lebih dalam tentang musik, saya terjebak di Jakartabeat, situs budaya populer yang kini sedang rehat. Mulanya menjadi pembaca, kontributor, dan belajar untuk menjadi sok tahu tentang musik di sana. Karena, kalau kata Taufiq Rahman, co-founder Jakartabeat, menulis musik adalah menulis tentang manusia.

Masa itu adalah ketika saya kuliah dan mulai menginjak semester tengah. Tentu saya kesoktahuan itu sangat menjadi. Mengulas musik dengan berbagai teori, kadang mencampurnya dengan sepak bola juga agama. Atau sebaliknya.

Namun, setelah masuk ke industri media arus utama, kesoktahuan itu perlahan hilang. Entah kenapa. Mungkin karena hidup tak lagi selonggar dulu atau kini waktu selalu memburu. Padahal, mengutip lakon Jejalan yang dipentaskan Teater Garasi beberapa tahun silam, sebenarnya kita "Mau ke mana?"

Naluri kesoktahuan saya kembali muncul, ketika JRX, drumer SID itu menegur, mencibir, atau apapun istilahnya, Via Valen, yang membawakan lagu ciptaannya, "Sunset di Tanah Anarki", tanpa izin. Sudah tanpa izin, dilipatgandakan pula.

Saya tentu tahu perasaan JRX. Kesal pasti, karena lagunya dibawakan tak sesuai keingginannya. Tanpa pesan moral, kalau yang saya tangkap.

Saya harus paham, selama ini JRX menjadikan musik bukan hanya sebagai sarana berkarya. Lebih dari itu, ia menjadikan musik sebagai senjata melawan kekuasaan. Selayaknya ideologi punk itu sendiri sejauh yang saya mengerti.

Namun, menjadi punk bukan berarti harus menjadi penentu kehidupan. Pernah dengar istilah "the death of the author"? Kalau pernah, maksudnya jelas. Seorang pencipta tak bisa lagi menentukan kehidupan karya ciptaannya.

Tuhan pun, jika percaya, tak mampu mengendalikan manusia. Mengapa seorang JRX harus merasa memiliki hak untuk marah-marah melihat karyanya bertransformasi menjadi koplo?

Jika kemarahan itu mucul dari SBY, ketika lagunya dijadikan musik koplo, mungkin saya mafhum. Tapi ini, dari seorang JRX, yang katanya berjuang melalui karyanya?

Saya kaget. Cukup kaget saja, tapi tak menjadi benci. Hanya saja, simpati saya berkurang. Mungkin kemapanan membuatnya menjadi otoriter yang senang mendikte.

Seperti guru yang mengajari muridnya, "Gini lho, Le, bukan begitu."

Sebenarnya, agak terlambat menulis kesoktahuan saya ini. Namun, setelah peristiwa itu ramai, saya tak sengaja menemukan kalimat pembangkit syahat dalam Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam oleh Rusdi Mathari mengenai God Bless. Ia menulis,

"Ian (Antono) mengakui isi lirik lagu God Bless memang penuh kritik sosial, tapi God Bless tak bermaksud mengubah keadaan atau menjadi tukang kritik. God Bless memilih berada di pinggiran dan tak hendak membuat sejarah dengan dikenang sebagai kelompok musik atau penyanyi yang vokal dan kritis, sembari diam-diam mengambil keuntungan dari penjualan album; melainkan hanya ingin dikenang sebagai grup rock.

"Abadi (Soesman) menyebut, God Bless hanya band panggung. Hanya itu dan sesederhana itu."

No comments:

Post a Comment