Pages

23 September 2018

Isu #3

Badannya besar, tinggi dan lebar. Ia tak gemuk, tapi tentu tidak kurus. Namun sulit mengatakan postur tubuhnya proporsional. Entah apa sebutan yang cocok untuk mencirikan bentuk tubuhnya. Memang tak sepatutnya dicirikan.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden keenam republik ini, memang istimewa. Hingga saat ini, hanya dia satu-satunya orang yang bisa memenangi hati rakyat Indonesia dalam ajang lima tahunan, pemilu, yang diadakan pascareformasi.

Pada 2004, pensiunan jenderal TNI itu mulai berkuasa. Bersama pasangannya Jusuf Kalla, ia mengatasi beragam masalah di negeri ini. Salah satu janji yang paling dikenang hingga kini adalah menuntaskan kasus pembunuhan seorang Munir di atas pesawat. Namun, lima tahun pertama kepemimpinannya, tak juga bisa tuntas.

Ketidaktuntasan itu bukan menjadi penghalang bagi lelaki yang sempat menjabat sebagai Kepala Staf Teritorial TNI itu melanjutkan masa jabatannya sebagai presiden pada 2009. Bersama Boediono, SBY bahkan berhasil mengalahkan duet maut Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto.

Namun, konstitusi negara ini membatasi masa bakti SBY sebagai presiden. Di penghujung jabatannya itu, satu demi satu kasus korupsi terkuak. Apalagi, janji menuntaskan kasus pembunuhan Munir belum juga terealisasi.

Ironis memang. Mungkin, karena itulah di akhir-akhir masa jabatannya itu SBY lebih sering nge-jam dengan gitar kopongnya. Kita semua --yang bisa bermain alat musik meski hanya sedikit-- mafhum betul kalau nge-jam bisa jadi penawar kemurungan dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika turun dari singgasana kursi kepresidenan, SBY bersama partainya tak mendukung calon presiden yang tersedia kala itu, Joko Widodo dan Prabowo. Ia beralasan lebih memilih berada di tengah tanpa memihak, alih-alih tak ada kader yang layak dicalonkan karena banyak tersandung kasus korupsi.

Empat tahun berselang, tepat tahun ini, ketika partai-partai sibuk mengusung dan mendeklarasikan pasangan calon presiden, SBY dengan santai menunggu peluang. Pertama, putra sulungnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sempat digadang-gadang akan dilobi oleh SBY kepada dua pasangan calon, lagi-lagi Joko Widodo dan Prabowo.

Nama terakhir bahkan hampir pasti merekrut AHY. Sayang, ada pihak-pihak yang menentang. AHY dibilang masih terlalu dini, belum cukup pengalaman. Alhasil, posisinya direbut oleh Sandiaga Uno dan memunculkan adanya isu mahar politik yang sempat membuat Andi Arief, wakil sekretaris jenderal partai yang dipimpimpin SBY, kembali hampir "diculik" Bawaslu. Bukan diculik seperti era reformasi. Toh ia sendiri mengakui tak pernah diculik kan?

Namun, isu itu menguap.

SBY memang tak akur dengan Mega. Entah kenapa. Karena itu, sulit baginya bergabung dengan koalisi Joko Widodo yang merupakan asuhan Mega.

Sementara menatap Prabowo, ia juga masih setengah rela. Anaknya, yang ditarik dari dunia militer hanya untuk mengisi posisi politik tak dilirik. Malah digantikan pengusaha.

Namun, mau tak mau, SBY harus bersikap. Ia harus mendukung antara Joko Widodo atau Prabowo, jika partainya ingin mencalonkan kader sebagai presiden pada 2024. Ia tak bisa lagi beridiri di tengah secara de jure. Namun, secara de facto, ibarat pepatah, banyak cara menuju Roma.

Di menit akhir batas pendaftaran bakal calon, SBY memutuskan bergabung dengan Prabowo. Ikhlas karena memang posisi tawar yang lemah. Sebagai ganti, Prabowo menjulukinya sebagai Godfather. Mentor politik di balik layar.

Kita --kamu dan aku yang pernah nonton film yang dibintangi Marlon Brando-- sama-sama tahu, seperti apa sosok Godfather. Dihormati, memiliki pengaruh besar, dan yang penting sayang keluarga. Jika merasa terhina, ia hanya tersenyum dan diam-diam si penghina tak lagi bernyawa keesokan harinya. Atau paling minimal, ada saja yang celaka.

Tentu saja, SBY bukan seorang penjahat kelas kakap layaknya Corleone.

SBY mungkin dihormati, memiliki pengaruh besar, dan sayang keluarga. Namun ia bukan penjahat, meski disebut Prabowo layaknya Godfather.

SBY hanya manusia biasa. Ketika merasa tak suka, wajar bila tersinggung dan pulang tanpa pamitan. Hal itu ditunjukkan SBY ketika deklarasi kampanye damai pada Minggu 23 September 2018 di Monumen Nasional. Bahkan, beberapa media dengan opini berlebihan, menyebutnya ngambek.

Tapi, percayalah, lebih baik seorang Godfather ngambek daripada kalian semua ditunjukan betapa mengerikannya melihat pintu surga. Lebih baik melihat Godfather yang suka nge-jam daripada sosok Corleone yang menghadiahi kepala kuda kepada musuhnya, yang menolak permintaanya.

No comments:

Post a Comment