Pages

10 May 2018

Parodi


Dua bola matanya tak terlihat. Hanya dua garis sedikit lengkung dengan alis pendek yang terlihat. Kacamatanya tak bulat sempurna, bahkan tak sama antara kiri dan kanannya. Sedangkan dagunya yang berbentuk setengah lingkaran, seolah berusaha mengimbangi topi copetnya yang serupa eskrim cone.

Ialah Pramodya Anantatur, parodi sastrawan besar negeri ini Pramoedya Ananta Toer yang terpajang dalam pameran “Namaku Pram: Catatan dan Arsip” di Dia Lo Gue Artspace sepanjang 17 April hingga 20 Mei.

Sketsa yang tak bagus-bagus amat itu berjajar di Dinding Memorabilia, satu di antara sembilan titik perjalanan pameran, memang terlihat inferior dibanding karya lainnya. Bayangkan, sketsa dua dimensi itu dipaksakan sejajar dengan karya Enrico Soekarno, Mike Marjinal, Doyok, bahkan Kolektor Reaksi, yang tingkat kesenimanannya tak perlu diperdebatkan lagi.

Tentu, Dika Ratnasari, sang pelukis, tak berniat untuk menggambarkannya dengan gaya parodi. Saya kadung yakin, bocah yang masih duduk di sekolah dasar itu membuat sketsa pencipta ‘Tetralogi Buru’ dengan penuh penghayatan.

Dika sekolah di Blora, kota yang sama dengan tempat kelahiran Pram. Usianya saya kira belum mencapai belasan. Namun, rasanya bocah itu justru lebih jujur dalam membuat lukisan, tanpa tedeng aling-aling.

Dalam lukisannya itu, ia menambahkan –saya juga tak yakin dia yang menambahkan- sebuah kalimat yang diambil dari roman Bumi Manusia, pembuka 'Tetralogi Buru' yang sempat dilarang penerbitan juga peredarannya oleh Orde Baru. Mungkin karena saat itu ia merupakan tahanan politik yang disebut-sebut dekat dengan Partai Komunis Indonesia atawa PKI yang terlarang di negeri ini.

Padahal, jika pemerintah mau membaca dan menghayati isi empat roman itu, sesungguhnya tak ada urusannya dengan PKI. Roman itu bercerita tentang Minke, panggilan kecil pada Tirto Adhi Soerjo yang diplesetkan dari kata monkey.

Siapa tak kenal Tirto Adhi Soerjo? Namanya kini bahkan diabadikan menjadi nama media daring populer, yang mengusung jurnalisme data. Berkat siapa Minke menjadi tenar dan dianggap sebagai pelopor jurnalisme nasional pada hari-hari setelah kematiannya di Tenabang? Saya berani jawab karena jerih payah Pram yang mengisahkan sejarah dengan sangat asyik untuk dibaca.

Kalimat yang dinukil Dika jelas,”Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” Kalimat itu dikutip dari Bumi Manusia, halaman 233.

Saya tahu pasti Dika tak pandai-pandai amat di sekolah. Mangkanya kalimat itu yang dipilih buat pembenaran nilai-nilainya yang tak bagus-bagus amat. Untungnya, dia suka sastra. Jadilah, kalimat Pram menyelamatkannya.

Saya ketika masih berusia belasan, seperti juga Dika yang masih sekolah, adalah orang yang nilainya cenderung pas-pasan. Tentunya, tak begitu peduli sejarah nasional apalagi mengenal Pram. Dika mungkin masih mending karena sudah mengenal Pram.

Coba bayangkan, siapa yang akan peduli dengan sejarah setiap ulangan yang ditanyakan melulu perkara tanggal kejadian sejarah. Momok menghapal tanggal-tanggal itulah yang membuat nilai ulangan matematika saya hampir selalu melebihi pelajaran sejarah. Meski matematika juga tak melebihi nilai pas-pasan.

Namun, berkat Bumi Manusia saya mulai mengerti bahwa membaca sejarah bisa juga mengasyikkan. Saya lupa alasan saat itu membeli buku Pram. Namun saya ingat, buku Pram yang saya beli adalah Gadis Pantai bajakan di Pasar Senen dengan harga tak lebih dari setengah harga aslinya di Gramedia, meski kertasnya buram tak keruan.

Gadis Pantai-lah yang membawa saya tertarik membaca karya lain milik Pram. Perlahan, sangat pelan, tapi pasti saya mulai mencintai sastra, khususnya yang bertemakan sejarah bangsa ini. Meski, saya sadar untuk mengetahui sejarah, apalagi masa depan Indonesia akan bubar pada 2030, tak cukup hanya mengandalkan karya sastra. Karena pada dasarnya, sastra hanyalah fiksi atawa fiktif yang masih terus diperdebatkan, dan hanya kekuasaan politiklah yang nyata.

Alhirulkalam, lukisan Dika sedikit memberi tamparan. Bagaimana bisa, seorang bocah SD, yang mungkin ketika dia lahir Pram sudah tiada, bisa begitu menghargai sosok sastrawan besar Indonesia itu? Bukankah lebih dari 32 tahun Orde Baru memberi contoh sebaliknya, dengan mengirim Pram ke Pulau Buru dan membumihanguskan karya-karya Pram yang belum sempat diterbitkan?

Sementara Dika mencoba membumi-manusiakan seorang Pram, masih ada saja orang-orang yang ingin membangkitkan, mengenang, merindukan layaknya hamba kepada Tuhan, Orde Baru. Bukankah Dika sedang menampar?

Pertanyaannya sekarang, sampeyan merasa ditampar apa tidak? Kalau tak merasa, saya tak bisa apa-apa.

No comments:

Post a Comment