Pages

15 January 2018

Konser Liam, Transfer Playmaker, dan Kekalahan City

Noel dan Liam. (Foto: Istimewa)
Sekitar 12 hari sebelum konser mantan berandalan Oasis digelar di Jakarta, Agustus 2017, berita kontroversial datang. Liam Gallagher batal konser karena salah atur jadwal. Padahal ketika itu di tempat saya bekerja, teman saya Ricad Saka telah mem-booking untuk meliput konser itu. Karena batal, ia pun tak kesampaian menonton idolanya yang merusak gitar kakaknya dan menyebabkan bandnya yang melegenda bubar.

Berselang beberapa bulan, Ricad mengundurkan diri dan pindah kerja. Artinya, jatah meliput Liam yang ada di tempat saya bekerja tak mungkin jatuh ke tangan Ricad lagi. Bayangkan perasaannya, sudah bersiap meliput tapi harus digagalkan karena idulanya yang salah atur jadwal. Brengsek benar si Liam.

Lama tak terdengar kabar darinya, hingga tiba-tiba kabar penting yang tentu saja bukan dari teman saya datangnya. Kabar penting itu datang pada sebuah malam yang tenang. Dari sebuah akun ofisial kabar tentang sepakbola di Line, saya mendapat sebuah video. Video tersebut hanya berdurasi 22 detik. Singkat memang, namun menohok.

Sebuah ruang ganti dengan kostum Barcelona di dalam loker terlihat menganga tanpa nama. Loker itu kemudian tertutup dengan sendirinya, dan tak lama kembali terbuka itu perlahan dengan kostum utama Barca itu tertulis nama Coutinho. Secara semitika sudah jelas terpampang, Barca berhasil membawa playmaker Liverpool itu ke Camp Nou.

Memang tak mengejutkan bila tim sekelas Barca bisa menggaet gelandang berpaspr Brasil itu. Keduanya telah dikaitkan akan menjalin kisah bersama oleh berbagai media. Meski tak terlalu membuat dunia syok, tetap saja transfer itu menjadi berita besar, dan menyedihkan bagi Liverpudlian yang sudah bela-bela beli jersey yang tertulis nama COUTINHO.

Bayangkan, video itu mulai beredar tak berlelang lama setelah tim kesayangan mereka memenangi Derby Merseyside di lanjutan Piala FA. Rasanya seperti menaiki tornado, diterbangkan ke atas, lalu dibiarkan jatuh hingga jantung tak kuasa nyesss.

Apa boleh buat, intisari telah menjadi agar-agar. Dikonsumsi pun sudah tak berkhasiat lagi. Fans tim pelabuhan itu hanya bisa gigit jari, sambil diam-diam menikmati uang ganti rugi yang dikeluarkan manajemen The Reds. Manajemen menawarkan voucher sebesar £50 untuk pemilik kaus Coutinho yang dibeli di gerai resmi atau melalui situs Liverpool, setelah proses transfer ini selesai sepenuhnya.

Sudilah kita meninggalkan sesaat tentang drama transfer Liverpool ke Barca dan kembali melihat sejenak persiapan penampilan Liam di Jakarta pada 14 Januari 2018. Di baliho-baliho, besar terpajang tampang Liam yang tak enak dipandang. Di atanya, tulisan besar: Playmaker disematkan. Teman saya yang lain Heri Susanto, penggemar britpop dan Mancherter City menyebutnya sebagai iklan rokok Gudang Garam. Saya tak tahu pasti. Yang jelas, tulisan Playmaker itu seolah-olah ingin mengejek Liverpool yang baru saja kehilangan gelandang kreatifnya.

Jika memakai teori Asbuntoteles, wajar seorang Liam yang sejak lahir adalah penggemar Manchester Biru mengejek Liverpool. Tanya kenapa? Untuk kali pertama, Si Merah akan bertanding setelah Coutinho secara resmi meninggalkan Anfield. Tepat pada hari konsernya di Jakarta, setelah ditunda berbulan-bulan akibat kebodohannya mengatatur jadwal, tim yang kehilangan pemain dan mendapatkan tumpukan uang itu akan berhadapan Menchester City, penguasa sementara Liga Inggris itu. Psywar adalah hal yang lumrah, bagi pelatih, penggemar, apalagi seorang berandal seperti Liam.

Terlepas dari semua psywar sebelum pertandingan dan konser mantan vokalis Oasis itu, Liam berhasil membawakan lagu-lagunya yang terangkum di albym As You Were dengan meriah. Nyata, teriakan encore penonton bukan meminta Liam menyanyikan lagunya, tapi lagu kakaknya semasa dia masih bersama bertubuh Oasis.

Nahasnya lagi, psywar Liam sebelum konser, yang juga dilanjutkan dengan adanya fans membawa syal Manchester City saat menonton konser, tak membuat tim asuhan Pep Guardiola menang. Liam harus meratapi kekalahan dramatis 4-3 di kandang Liverpool, kota di mana kelompok musik yang menginspirasi mereka lahir, The Beatles. Peratapan yang dalam setelah konser meriah di Jakarta, tanah yang jauh dari tempat kelahirannya.

Nyatanya, Liverpool tanpa Coutinho baik-baik saja. Namun tidak untuk Liam tanpa Oasis, yang terlihat seperti manusia kehilangan pesonanya. Sayang, saya tak melihat langsung bagaimana kesalnya dia saat penonton meminta encore lagu-lagu Oasis. Kalau saya lihat, pasti saya foto mukanya.

2 comments: