Pages

28 September 2014

Cerita dari Pojok Ruang V-2

Saya menulis ini dengan emosi. Pasalnya, kegiatan untuk berkarya dihalangi. Padahal Orde Baru telah lewat. Namun mentalnya masih tertanam. Mental untuk memberangus kebebasan.

Jadi ceritanya, saya sedang melakukan latihan teater untuk pementasan di Bulungan, dalam rangka mengikuti Festival Teater Jakarta Selatan. Seperti biasa, satpam datang mendatangi ruangan tempat kami latihan untuk segera menyudahi latihan. Saya berbicara sebentar dengan satpam tersebut, ia mengerti dan memberi waktu tambahan. Saya melanjutkan latihan.

Tak lama, satpam itu kembali lagi. Saya kembali meminta tenggang waktu untuk latihan sampai selesai. Ia mengalah, latihan berlanjut.

Ketika memasuki babak akhir pementasan, Yafis Lubis datang. Ia langsung menyuruh kami semua yang sedang latihan untuk pulang. Saya kembali harus berkordinasi untuk mendapatkan jam tambahan.

“Pak, di sini kami latihan kan untuk mewakili IISIP Jakarta di ajak Festival Teater Jakarta. Kan membawa nama kampus juga. Masa gak boleh sih?” ucap saya.

“Iya, itu bagus. Tapi harus tetap lihat peraturan dong. Kamu tahu peraturan yang baru kan?” bantahnya dengan mata yang tak mau melihat mata saya.

“Iya tahu. Tapi kita ini bawa nama kampus.”

“Kan bisa siang.”

“Lho kan kalau siang kita kuliah.”

“Kamu tahu berita tentang Unas?”

“Tahu. Tapi kita gak narkoba dan minum-minum kok. Kita latihan, berkarya. Masa gak diijinin?” ketus saya.

“Kalau kamu saya ijinin, nanti yang lain ikut minta diijinin.”

“Terus bagaimana, pak? Latihannya sebentar lagi juga selesai. Kalau bapak mau nonton, ya nonton aja di dalem.”

“Lho saya mesti pulang. Saya punya keluarga di rumah,” bantahannya mulai tidak masuk akal.

“Terus saya harus gimana, pak?”

“Kamu pakai surat izin, besok kasih ke saya di depan.”

“Pak, pakai surat izin itu lama. Biasanya seminggu baru keluar. Sedangkan pementasan ini minggu depan.”

“Besok kamu langsung ketemu saya, saya langsung kasih diizinin atau tidaknya.”

Saya mengiyakan dan kembali ke dalam untuk memberitahukan agar latihan tetap dilakukan sampai selesai.
***
Kampus memang kembali mengeluarkan peraturan yang kontroversial. Di depan gerbang masuk, spanduk besar terpampang bahwa mahasiswa reguler harus mengosongkan area kampus pukul 18.30 WIB. Setiap dosen yang masuk kelas pun membacakan peraturan tersebut. Tak ada catatan kaki, tak ada toleransi. Hanya disebutkan demi keamanan dan ketertiban. Saya tidak ingat kalimat-kalimat selanjutnya.

Memang peraturan baru ini sangat berhubungan dengan kejadian yang menimpa Universitas Nasional (Unas) beberapa waktu lalu. Kampus yang terkenal militan itu digrebek Badan Narkotika Nasional (BNN). Dan, barang bukti berupa ganja dan sabu, ditemukan di ruang sekretariat unit kegiatan mahasiswa.

Ada seorang dosen yang dengan remeh mengatakan bahwa kampus ini layaknya pabrik tekstil. Masuk pukul 8.00 pulang pukul 18.00 WIB.

“Ya seperti pabrik tekstil, begitu karyawannya keluar langsung membuat macet jalanan,” ucap dosen tersebut.

Pabrik tekstil. Saya terus-menerus tertawa pahit ketika kembali mengingatnya. Sebuah kampus yang mendidik mahasiswanya menjadi buruh. Bukan menjadi intelektual.

Kalau kampus takut mahasiswanya menggunakan narkoba, silakan digeledah Kampus Tercinta ini. Saya rasa itu lebih efektif daripada mengusir mahasiswa yang ingin berkarya –dalam bentuk apapun. Kampus yang mendidik mahasiswanya menjadi intelektual tak akan mengusir mahasiswanya yang sedang berkarya. Bahkan di SMU disediakan waktu untuk siswa melakukan kegiatan ekstra-kulikulernya. Mengapa di kampus, yang katanya sarang intelektual, harus dibatasi seperti di pabrik tekstil?

Ingat, Bung, para pendiri bangsa ini merumuskan teks proklamasi pada malam hari. Saat keadaan sunyi, saat pikiran menjadi tenang. Saya tidak ingin menginap juga di kampus, namun ayolah kita saling terbuka. Tidak saling mengajari untuk berbohong.

Saya ulangi kalimat saya di atas: Kalau kampus takut mahasiswanya menggunakan narkoba, silakan digeledah Kampus Tercinta ini. BNN menemukan narkoba di sekretariat UKM Unas. Bagaimana kami mau menyembunyikan narkoba kalau sekretariat saja tak setiap UKM memiliki?

Tabik!

No comments:

Post a Comment