Buku Gambar Sketsa J. H. Dowd |
Rokok
di dalam kotak merah itu hanya tersisa tiga batang. Kata-kata yang kujanjikan
untuknya belum lagi selesai kutuliskan. Entah mengapa, malam ini sungguh tak
menginspirasi. Tak seperti kemarin, ketika malam menerbangkan balon udara
berisi aksara yang rakus untuk keluar, bergerak pelan mengelilingi ruangan. Aku
telah mati akal.
Rokok
pertama aku hisap. Kata-kata untuknya tak juga mau keluar. Aku ingat ketika
pertama melihatnya –atau mendengar suaranya- di sebuah ruangan gelap berisi debu
yang entah hadir dari mana. Badanku lelah saat itu. Namun suaranya membawa angin
yang terasa nyata dalam ruangan gelap dan penuh debu itu.
“Sudah lama aku menantikanmu,” ucapnya dingin saat itu.
Aku
diam. Aku kenal suara itu, namun tak tahu dari mana datangnya. Ruangan
itu begitu gelap dan berdebu. Aku buka lebar telingaku, mencoba merasakannya.
“Kamu yang menyuruhku datang ke tempat ini, datang menemuimu sendiri,” ucapnya lagi.
Kali
ini aku bisa melihat sosoknya, namun aku tetap diam. Aku lupa kapan pernah
menyuruhnya datang ke tempat ini. Aku sendiri, tak tahu kenapa hari itu
berada di tempat itu. Gelap, kotor dan penuh debu.
“Kenapa
kamu diam? Apa yang ingin kamu bicarakan hingga harus mengajakku ke tempat ini?
Mengapa wajahmu terlihat begitu lelah? Apa kamu sudah makan?” tanyanya bagai
berondongan peluru.
Aku
belum juga tahu harus menjawab apa. Aku tak juga mengerti kejadian ini. Aku tak
ingat siapa dia, namun aku mengenal suaranya. Siapa dia, gerutuku dalam hati. Antara
ingin pura-pura kenal dan bersikap acuh, aku bingung harus melakukan apa. Aku memilih untuk tetap diam.
“Kalau
kamu terus diam, aku lebih baik pergi,” perlahan ia membalik tubuhnya, berjalan
menuju cahaya kecil di ujung sana yang membentuk tubuhnya menjadi siluet.
Aku
tetap diam, dia pergi. Sebelum bayangan menghilang, dia sempat menoleh ke
arahku dan aku janjikan untuk menemuinya kelak, tanpa suara. Aku akan mencarinya meski tak
tahu dimana harus mencarinya. Atau sesungguhnya aku tahu, namun pura-pura tidak
tahu. Pikiranku membawa berkeliling kegelapan yang berdebu itu. Aku terus berbicara dalam diam.
***
Kata-kata
itu belum juga selesai. Bahkan untuk memulai kalimat pertama pun tanganku
gemetar, membayangkan suaranya yang dalam namun tenang, kecewa, melihatku tetap diam.
Jam
di tangan kiriku sudah menunjukan pukul 02.32 am. Jam itu lebih cepat sepuluh
menit dari jam di layar telepon genggamku. Memang sengaja, agar hidupku tak
berpatok pada satu jenis waktu yang sama.
Rokok
pertama yang tadi kuhisap hampir habis. Aku mencoba memulai, namun tak ada yang
keluar. Hanya kepulan asap yang perlahan mengangkasa, bergabung menjadi awan
untuk menciptakan jutaan kilowatt listrik yang mengagetkan, dan cepat
menghilang.
Aku
membayangkan dirinya seperti seperti petir, menyengat tak teratur, meninggalkan
luka bakar yang entah kapan bisa menghilang. Atau luka itu akan permanen, membekas dalam ingatan. Aku ingin ia menjadi kelinci
mungil yang berlari kecil ketika ada wortel yang kujulurkan. Menyantap habis
wortel itu dengan giginya yang rakus, lalu memasang muka menggemaskan. Tapi ia
bukan kelinci yang bisa dimiliki. Ia juga bukan petir yang menghasilkan energi. Ia adalah segala sesuatu yang belum, mungkin tak pernah kuketahui. Sesuatu
yang hadir dalam ruang di mana aku pernah di dalamnya. Ia adalah suara, yang hadir dan menyejukkan.
Rindunya
ayam memanggil matahari telah terdengar. Rokok di dalam kotak merah itu masih
tersisa dua batang. Aku putuskan pagi ini, aku masih belum punya keputusan. Namun
suaranya lagi-lagi hadir. Mengagetkan.
“Aku
menunggumu, di tempat dulu kita bertemu. Dalam kegelapan ruangan yang berdebu.”
Suara
itu terus berulang. Aku pusatkan kemampuan telingaku mendengar, mengikuti arah suaranya. Suara itu semakin jelas, besaral dari Timur dan kemudian mendekat.
***
“Bangun
luh! Udah jam berapa nih? Solat subuh dulu sana,” dengus Emak, dengan rambutnya yang masih
berantakan seperti singa, membangunkanku
di depan laptop yang masih menyala di ruang tamu.
Pagi
ini kepalaku sangat pusing namun gelombang alfa otak membawa pikiranku terdampar pada satu tujuan. Perutku lapar namun juga mulas. Aku tak bisa
mengingat apa yang terjadi semalam. Hanya satu yang kupikirkan, aku mengirimkan pesan
untuknya yang entah apa isinya karena langsung kuhapus bersih kotak masuk dan
keluar dalam menu pesan. Balasan juga tak kunjung datang. Semalam aku minum terlalu banyak. Aku tak solat subuh
dan melanjutkan tidur di kamarku.
No comments:
Post a Comment