Meminjam kata-kata dalam kumpulan esai, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara milik
Seno Gumira Ajidarma, "Jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala,
dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, namun kendala
sastra hanyalah kejujurannya sendiri. Buku Sastra bisa dibredel, tetapi
kebenaran dan kesustraan menyatu bersama udara, tak tergugat dan tak
tertahankan."
Jurnalisme sudah
bebas dari agen pembredelan yang telah runtuh bersama jatuhnya kekuasaan
yang telah berdiri 32 tahun. Reformasi membuat media massa yang tadinya
tunduk berubah menjadi bingung. Bingung mencari musuh bersama yang
dapat dilawan secara diam-diam. Musuh tak pernah datang, dan perlahan,
media menjadi ladang industri yang subur. Yang dahulu dipaksa bungkam,
sekarang justru sengaja bungkam.
Saat ini, dalam era
yang selalu dibanjiri oleh informasi serba cepat seperti ini, kita terus
tenggelam dalam tumpukan kata demi kata yang semakin lama semakin tak
terarah. Setiap menit, muncul berita demi berita yang kurang memikat.
Para pewarta terus-menerus membuat tanda demi terpenuhinya dapur
keluarga. Di tengah gempuran informasi dangkal tak mendalam, kita semua
hampir tak sempat lagi meluangkan waktu untuk mengalisa informasi yang
lewat dengan serba cepat tersebut.
Tak hanya itu,
berita-berita yang disajikan lebih memilih isu tentang dunia yang rumit,
yang kita pun tak bisa berbuat banyak untuk merubahnya. Teks kacangan,
yang hanya berpedoman pada struktur 5W + 1H, terus ditampilkan hingga
pada saatnya kita tak lagi bisa melihat kemanusiaan dalam tumpukan kata
yang tersedia. Semuanya melulu masalah yang berat dan menghilang secara
cepat, mungkin yang bisa sedikit bertahan hanyalah gosip-gosip
selebriti, pun hanya di kalangan antar-pagar rumah tangga. Tak telihat
lagi adanya isu humanisme yang terangkat secara jelas. Pun muncul kisah
yang humanis, bisa diperkirakan bahwa hal itu merupakan setingan
realitas, yang lebih kita kenal dengan reality show.
Mengutuk media arus
utama merupakan sebuah teriakan yang sia-sia. Dalam kebobrokan industri
media yang semakin merajalela, beruntunglah masih ada segelintir manusia
yang berusaha menciptakan medianya sendiri. Merebaknya situs-situs
independen yang masih bersih dari tuntutan ‘menampilkan berita pesanan’,
adalah angin segar dalam kehidupan di bangsa yang melulu kacau ini. Isu
humanisme mulai terangkat kembali melalui berbagai teks.
Penulis-penulis amatir mulai menggandrungi isu humanisme yang terlihat
lebih seksi ketimbang curhatan cengeng a la remaja urban. Dengan
analisis seadanya, mereka mencoba mengangkat sesuatu yang tak seharusnya
terlupakan. Isu kemanusiaan.
Bolehlah kita sedikit
tersenyum melihat fenomena yang sedang terjadi. Tapi tunggu. Berapa
banyak masyarakat kita yang membaca situs-situs independen? Mungkin yang
membaca hanyalah teman-teman kita yang sepaham, paling banter temannya
teman kita. Ya, masih bekutat di lingkaran kecil. Media dalam bentuk
berbeda –berani melawan arus yang semakin memberikan kenyataan palsu-
mutlak diperlukan sebagai penyebaran isu humanisme kepada lingkaran yang
lebih besar.
Seno Gumira Ajidarma,
sebagai orang yang pernah hidup dalam bayangan teror Orde Baru, tak
berhenti melawan melalui karya-karyanya. Kumpulan cerpennya yang
dibukukan menjadi Saksi Mata,
lebih dipercaya sebagai kebenaran –mengenai pembantaian di Santa Cruz
pada tahun 1991- daripada naskah-naskah berita yang diterbitkan oleh
media-media Palmerah, yang satu suara kala itu. “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara,” begitu pikirnya, yang juga menjadi judul buku yang menutup rangkaian Trilogi Insiden.
Tak berhenti lewat
sastra, Seno juga memanfaatkan panggung pertunjukan sebagai cara untuk
mengangkat isu humanisme. Saat media yang diasuhnya dimatikan oleh agen
pembredelan, Seno mengubah kantor media yang kosong sebagai tempat
latihan teater. Ia telah kehilangan harapan untuk menyampaikan isu
kemanusiaan melalui media arus utama. Menurut Seno, headline
di media massa seharusnya diisi oleh masalah kemanusiaan, tentang para
korban yang hilang, bukan tentang perilaku badut-badut politik di
Senayan dan sekitarnya atau peristiwa sensasional tentang apapun yang
tidak penting.
Melalui teater, ia
mencoba menuangkan fakta-fakta yang tak sempat terbit di media massa,
secara jujur. Itu adalah cara Seno untuk meneruskan profesinya sebagai
wartawan. Pertunjukkan teater, sadar atau tidak, adalah usaha
menyampaikan pernyataan kepada penonton, layaknya berkomunikasi.
Lewat naskah, lakon
dan pementasan teater, kemanusiaan dapat kembali terangkat ke lingkaran
yang lebih besar. Syukur-syukur bisa diliput oleh media arus utama dan
akhirnya muncul juga di media yang tersebar masyarakat luas –pun kecil
kemungkinan menjadi headline.
Dengan kesempatan
untuk menyampaikan pesan melalui pementasan, teater tak harus
meninggalkan esensinya sebagai hiburan. Seperti itulah kerja teater,
menyampaikan pesan tentang manusia secara menghibur. Memaksa sutradara,
pemain, tim produksi dan bahkan penonton untuk berpikir, berusaha untuk
jujur dengan menertawakan diri sendiri, menangis dalam canda, marah
kepada angkasa. Karena teater, selain menjadi sebuah hiburan, merupakan
ilmu tentang manusia.
Pernah dimuat juga di Buletin Kinasih.
Pernah dimuat juga di Buletin Kinasih.
sangat membantu sekali gan..terima kasih. silakan kunjungi balik di sini.
ReplyDelete