Lembar
kertas masih itu tergeletak di dasar kamar. Surat yang dulu pernah dikirmkan
kepadaku. Aku masih belum mau membukanya lagi. Aku ingat, saat dulu membukanya,
aku tak berani untuk datang ke kamar ini, hingga hari ini kuberanikan diri. Kata-kata
yang ada di dalamnya adalah diksi tebaik yang pernah ada di semesta: Kematian.
Dadaku
akhir-akhir ini terasa sesak. Entah sudah berapa lama dada ini sesak. Aku tak
ingat. Entah berapa lama pula kamar ini kosong. Aku tak ingat kapan terakhir
kali menempatinya. Yang kuingat, ada pengirim surat yang datang, lalu pergi
sekelibat. Tak ada yang kuingat lagi. Bahkan wujud si pengirim surat itu pun
aku lupa. Mengapa aku begitu pelupa? Tapi sesak ini tak juga mau pergi.
Bayangan
pengirim surat itu masih terus menggerogoti ubun-ubun kepalaku. Aroma tubuhnya
masih melekat dalam hidungku. Aku mencoba tenang, berpikir tenang, sambil
perlahan menyalakan sebatang rokok yang baru kubeli di lantai bawah rumah
susun. Asap yang kuhembuskan membawakan keberanian untuk mulai mengambil kertas
yang hampir menguning itu.
“Kalau
kau membaca surat ini, tahulah kau bahwa aku telah menjadi udara. Ya, udara
yang saat itu kita hisap bersama. Malam yang perjudian terbesar dalam hidupku.
Mungkin kau sudah lupa tentang nikmatnya udara malam itu. Tapi aku telah
memustuskan untuk menjadi udara. Aku akan selalu kau hisap. Aku akan membantu
mempercepat kerja jantungmu yang kau rusak perlahan dengan rokok busukmu itu.”
Aku
menghela nafas, melihat ke arah jemari yang mengapit sebatang rokok yang
kuhisap. Tak terasa ludahku telah tertelan lagi saat aku memandangi rokok yang
abunya mulai jatuh itu.
“Kau
tahu, aku tak pernah menyesal melakukan perjudian denganmu. Aku telah
menikmatinya, menikmati segala udara yang kita hisap bersama. Alangkah indahnya
bila kau juga masih mengingatnya. Aku adalah udara yang kau hisap hari ini.
Udara sesak dalam kamar kecil. Udara yang mempengaruhi kerja otakmu. Udara yang
membawa kau kembali ke tempat ini. Aku adalah udaramu.”
Aku
melipat kertas itu, tak sanggup melanjutkannya. Aku hapal benar dengan
peristiwa yang dituliskan si pengirim surat. Namun yang paing menjijikan
adalah, aku tak bisa ingat siapa pengirim itu.
Rokok
yang belum sebat kumatikan telah mati dengan sendirinya. Aku rubuhkan tubuhku
di atas kasur. Tenggelam. Dalam ruang sempit itu, segala kesesakan terasa dalam
udara yang kuhisap.
Aku
mencoba berhenti bernafas agar dirinya tak lagi ada. Aku tak bisa. Pikiranku berkejar-kejaran
dengan bayangannya yang telah menyatu. Hanya bayangan dan selalu aku yang
kalah. Situasi membuatku harus membutuhkan udara. Aku tersenyum kecut,
menemukan titik lemahnya.
Tak
bisa tidak, aku pun menjadi udara.
No comments:
Post a Comment