Kredit ilustari: Remotivi
Jurnalis dianggap sebagai nabi.
Ia menyampaikan kebenarannya melalui media massa. Media massa adalah agama. Peran
jurnalisme yang seperti itu, dahulu pernah dibahas dalam diskusi di Jakartabeat
(Jurnalis
Belum Mati: Tanggapan Untuk Esai Kompas Minggu Edy Effendi dan Jurnalis
Belum Mati: Sebuah Kritik).
Di tengah partai politik yang
sedang giat-giatnya berkampanye, kenetralan media massa, terutama televisi dan
radio, kembali dipertanyakan. Kepada siapa media massa berpihak? Roy Thaniago
mengungkapkan bahwa frekuensi, yang digunakan oleh televisi dan radio, itu
milik publik. “Koran boleh partisan, koran bertanggung jawab pada hutan yang
pohonnya harus menjadi kertas. Namun televisi dan radio menggunakan frekuensi
yang dimiliki publik,” ucap Roy.
Wacana frekuensi itu milik publik
memang masih menjadi asumsi. Dasar sebenarnya, frekuensi dimiliki oleh negara
dan digunakan untuk kepentingan rakyat. Lalu, bila tanah yang kasat mata saja
bisa di jual oleh negara, mengapa frekuensi tidak?
Berikut adalah laporan jalannya
diskusi yang berlangsung di Teras Kita, Kamis (3/4) kemarin;
Sudah lumayan banyak orang-orang
yang berkumpul di Lantai tiga, gedung yang beralamat di jalan Kemang Raya no 83
H, Jakarta Selata. Mereka adalah orang-orang yang datang untuk mengikuti Seri
Diskusi Pemilih Muda yang digelar oleh Pamflet.
“Mas, ayo, mas. Acaranya mau
mulai,” tegur seorang penitia perempuan kepada saya. Saya pun langsung memasuki
ruangan, yang telah dijajar beberapa bangku dalam empat barisan untuk peserta
diskusi.
Seorang moderator yang kecil dan
manis itu membuka acara dengan memperkenalkan para pembicara kepada semua yang
hadir. Adalah Indah Yusari (Pamflet), Aryo Wisanggeni (divisi advokasi Aliansi
Jurnalis Independan Indonesia), John Muhammad (Public Virtue) dan Roy Thaniago
(Remotivi). Tema yang diangkat dalam hari ke dua Seri Diskusi Pemilih Muda ini
adalah “Media Massa, Masa Sih?”
Indah Yusari mendapat giliran
pertama dalam memaparkan materinya. Dari data yang tertembak oleh proyektor di
dinding ruangan Teras Kita, ia menyebutkan bahwa sebagian besar anak muda di
timur dan utara Jakarta masih mengandalkan media mainstream untuk memperoleh
informasi.
Di sisi lain, peran media massa
dalam menentukan pilihan anak muda itu masih sangat besar. Alih-alih memberikan
informasi yang independen kepada mereka, media justru menggunakan kelebihannya
untuk mengasung partai politik tertentu.
“Perlu gak sih kita percaya pada
media?” tegas Ayu dalam mengahiri penjelasannya.
Kali ini giliran Om John –sapaan
akrab si moderator manis kepada John Muhammad- yang berbicara menerangkan
pembahasannya. Ia tak membawa data yang ditembakkan oleh proyektor ke dinding
ruangan, hanya berdasarkan ingatan.
John banyak mengutip Sherry
Arnstein dalam mwnyampaikan materinya. “Demokrasi akan berjalan sempurna bila
partisipasi rakyat juga kuat,” ucapnya mengutip Arnstein. Menurutnya, salah
satu sarana bagi masyarakat untuk menjalankan partisipasinya adalah melalui
media.
Sebagai contoh, John
mengungkapkan bahwa melalui internet, jarak penguasa dan rakyat seakan semakin
dekat. Orang-orang bisa berinteraksi, bahkan mengolok penguasa , hanya lewat
internet. “Internet merupakan sebuah potensir, ruang intervensi terhadap
informasi ada di tangan rakyat. Tanpa keterlibatan rakyat, ruang kosong itu
akan terebut oleh korporasi yang telah menguasai media konvensional lainnya
–televisi, koran dan radio,” jelasnya.
Namun, menurut John, ada satu
yang masin menjadi ancaman dari Internet; kebodohan masih menjadi momok dalam
kebanjiran informasi tersebut. Akibatnya, seluruh informasi diserap dengan
setengah-setengah, lalu disuguhi oleh informasi yang lain lagi. Dan seterusnya
menjadi seperti itu, tanpa ada satu informasi yang tuntas.
Sepakat dengan John, Aryo
Wisanggeni yang juga merupakan wartawan Harian Kompas, berpendapat bahwa
internet merupakan media yang dapat dioptimalkan untuk menggalang partisipasi
rakyat dalam mengontrol negara.
Aryo memulai penjelasannya dari
sejarah pers di Indonesia. Dari masa penjajaha hingga reformasi. Mulai dari
Tirto Adhi Soerjo sampai Mochtar Lubis.
Ia nampak menguasai bahan sejarah
pers di Indonesia. Tirto Adhi Soerjo dijelaskan, melalui gambarannya mengenai
tokoh Mingke dalam Tetralogi Buru milik Pramoedya Ananta Toer. Medan
Prijaji, sebagai koran pertama milik pribumi disebut-sebut sebagai
pers perjuangan. Koran tersebut tak hanya menyediakan ruang untuk masyarakat
dalam mengemukakan kritiknya kepada Hindia Belanda, namun juga menyediakan
advokasi untuk membela mendampingi pribumi yang terjerat hukum.
“Sesuatu yang saat ini dilakukan
oleh lembaga bantuan hukum, pada jaman kolonial sudah dilakukan oleh media
massa,” ungkap Aryo yang menyayangkan perilaku media massa saat ini.
Menurutnya, semengat Medan Prijaji hanya bertahan sampai
Mochtar Lubis dengan Indonesia Raya-nya.
“Pada era Soekarno (1957), Lubis mengungkap dugaan korupsi Menteri Penerangan
Roeslan Abdul Gani. Abdul Gani tak diproses, Lubis justru menjadi tahanan dan
tahanan rumah hingga jatuhnya Soekarno oleh Soeharto,” terangnya.
Tak berhenti sampai di situ,
Lubis yang menyatakan mendukung Orde Pembangunanisme justu dibredel oleh
penguasa setelah laporan Indonesia Raya
tentang kasus Malari (Malapetaka 17 Januari) 1974. Laporan itu bukan penyebab
utamanya. Penyebab utamanya adalah investigasinya pada korupsi di Pertamina,
yang menyebabkan dipecatnya Ibnu Sutowo. Ironisnya, reportase investigasi saat
ini justru hanya menjadi merek dagang di salah satu televisi swasta,
memberangus pedagang kecil curang secara perlahan dan tutup mata terhadap
bisnis waralaba mini market tak
sesuai dengan peraturan daerah.
Peran jurnalisme, menurut Aryo,
telah dikebiri dengan munculnya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Media
massa segera beradaptasi dengan adanya aturan baru dari menteri penerangan
tersebut. Dan bila media massa terkena bredel, maka hilang pulalah SIUPPnya.
“Saat ini, ketika SIUPP tak lagi
diperlukan untuk membuat media massa, justru media dikuasai oleh sedikit
kelompok usaha,” jelas Aryo dan, “dari semua kelompok usaha itu, tak ada yang
tidak memiliki usaha lain di luar bidang jurnalisme.”
Hal tersebut berarti media massa
saat ini memihak kepada pasar. Dan yang paling menyakitkan, menurut Aryo,
“Watak pemimpin redaksi atau editor media massa saat ini adalah watak
orang-orang yang dibesarkan di bawah ancaman pembredelan.” Lembaga sensor fakta
telah ada di dalam diri pemred dan editor hari ini.
Diskusi semakin asyik, dan moderator
manis itu memberikan untuk pembacara terakhir menyampaikan materinya, Roy
Thaniago dari Remotivi. Sejak awal, Roy nampak lebih kalem dari ketiga orang
pembicara lainnya. Seingat saya, ia memulai dengan, “Materi yang saya bawa
hampir sama dengan yang dijelaskan Aryo tadi. Nampaknya panitia tidak
menentukan materi pembicara.”
Satu pukulan untuk panitia yang
kurang sigap. Tak ada tanggapan, diskusi dilanjutkan.
Dari Roy, memang tak banyak
materi baru yang dipaparkan. Ia hanya tak sepaham bisa media sosial di internet
dapat dijadikan peluang. Menurutnya, isu utama yang dibahas di internet juga
berasal dari media mainstream. “Saya lebih setuju mengubah pola pikir
masyarakat lewat pendidikan, bukan hanya cuma ngetwit dan tak berbuat nyata,” ungkapnya.
Roy juga mengatakan bahwa motif
seseorang membuat media massa saat ini, sangat berbeda dengan orang semacam
Tirto Adhi Soerjo, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, dan angkatannya yang lain.
“Motif orang sekarang dalam membuat media massa adalah berbisnis, bukan untuk
perjuangan.”
Diskusi lalu menjadi dua ara
ketika beberapa orang datang mengajukan pertanyaan, tentu saja melalui
moderator yang manis itu. Dari berbagai kesimpulan yang disebutkan oleh
moderator manis itu, saya hanya mengingat satu. “Ya, selemah-lemahnya iman
adalah ngetwit untuk menyebarkan
informasi yang berguna kepada yang lain,” ucap om John.
No comments:
Post a Comment