“Nih lagu jama-jaman
gue suka sama cewek pertama kali, nih,” ucap saya saat itu kepada sejenis
manusia di samping saya ketika lagu itu berbunyi kencang –selayaknya kencang-
dari dalam kafe. Tak ada yang istimewa dari lagu tersebut. Nilai penjualan albumya
pun tak menghebohkan seperti Peterpan pada masa suramnya, tapi mungkin lebih
tinggi dari standar penjualan album musik masa kini di mana rilisan fisik hanya
merupakan sebuah fashion, bukan merupakan esensi. Tak jelas apa yang menjadikan
lagu itu istimewa.
Seberapapun laris
penjualan rilisan fisik, ringtone, konser langsung, tak akan ada maknanya tanpa
menghadirkan latar belakang sebuah kenangan. Pun ketika ada sebuah ulasan yang
berhasil membuat sebuah lagu menjadi mempunyai latar belakang, yang layak
diacungi jempol adalah penulis ulasan tersebut, bukan lagu yang diulasnya.
Kesuksesan sebuah
lagu adalah ketika lagu tersebut bisa membangkitkan tentang kejadian pada
sebuah masa. Ah, bertele-tele rupanya. Mungkin ini subyektif dan memang akan
selalu subyektif. Siapa yang tahu bahwa Karl Marx pada masa mudanya senang
mendengarkan lagu sejenis boyband? Anda tahu? Saya sih tidak peduli.
Lagu, seperti karya
seni lainya, memang akan selalu subyektif. Yang membedakan hanyalah latar
belakang. Dalam kosakata lain disebut motivasi. Setiap orang memiliki motivasi
dalam mendengarkan lagu, terlebih saat ini di mana kendali media sudah ada di
tangan kita. Rasanya percuma pula saya menulis ini, toh kalian tak pernah akan
paham latar belakang saya menyukai lagu ini –walaupun akan bosan juga kalau
didengar berulang-ulang.
Ah, memang saya
selalu mengamini kata-kata sir Dandy bahwa lagu mempunyai efek psikologis. Tak heran
bila ada yang sampai bunuh diri akibat mendengarkan sebuah lagu. Mungkin lagu
tersebut menjadi soundtrack pertengkaran dengan pacarnya yang menyebabkan
pacarnya ditabrak mobil. Klise memang, tapi apa daya.
No comments:
Post a Comment