Media adalah sebuah
saluran pesan, dalam bentuk berita, yang merefleksikan realitas. Sehingga merupakan
hal yang wajar bila kita dapat melihat dunia lewat media. Informasi berbentuk
berita yang disuguhkan oleh media, seakan telah memuaskan imaji kita tentang
dunia, tentang realitas.
Blog pribadi yang berisi ide-ide subyektif di sana-sini, tergantung jari yang terus menari. Boleh komentar, namun biasakan baca sampai selesai. Boleh diambil, asal kuat iman. Ini bukan dalil, tak perlu dianggap serius. Kalau terlanjur serius, apa boleh buat.
24 February 2013
18 February 2013
Narkoba, Artis, dan Petani
Baru-baru ini, media
heboh memberitakan tertangkapnya beberapa artis kondang dan teman-temannya yang
sedang pesta narkoba di kediaman Raffi Ahmad. Tentu saja, perhatian masyarakat
terpengaruh oleh beberapa headline
media massa untuk mengikuti perkembangan kasus tersebut dan menenggelamkan
kasus Rasyid Rajasa yang belum jelas perkembangannya. Dari mulai proses
pengintaian BNN, sampai dengan barang label tersangka yang kemudian diberikan
kepada Raffi Ahmad dengan seksama diberitakan media-media besar.
Rasa kecewa muncul
di masyarakat ketika mengetahui bahwa proses pengintaian terhadap Raffi Ahmad
sudah dilakukan berbulan-bulan namun hanya menghasilkan barang bukti berupa dua
linting ganja, dan beberapa narkoba lainnya. Banyak media yang
membesar-besarkan beritanya, seakan-akan menampilkan pihak BNN sebagai
pahlawan. Bila hanya dua linting ganja, setiap hari pun ada saja orang yang
kedapatan transaksi dan memakai narkoba oleh polisi, dan beritanya hilang
ditelan isu-isu lain seputar selibriti, yang menandakan masyarakat kita senang
dijejali dengan kasus infotainment.
Namun, terlepas dari
segala perspektif, penangkapan terhadap Raffi Ahmad dan taman-temannya
membuktikan bahwa hukum yang terkait dengan narkoba terbilang sedikit tegas.
BNN sempat
kebingungan untuk menentukan pasal yang akan dikenakan kepada tersangka.
Pasalnya, barang bukti yang ditemukan merupakan dua linting ganja, ekstasi dan
sebuah narkoba jenis baru yang undang-undangnya belum diatur. Narkoba jenis
baru ini diketahui benama Methylone yang
diduga turunan dari tanaman Cathynone
atau Khat. Namun, Methylone yang ada di tubuh Raffi belum diketahui bahan
dasar sebenarnya. Dan, yang menarik adalah narkoba jenis baru ini yang ternyata
ditanam dengan bebas di daerah Puncak, Jawa Barat.
Menurut Kepala
Bagian Hubungan Masyarakat Badan Narkotika Nasional (BNN) Kombes Sumirat
Dwiyanto, Khat menimbulkan efek jangka pendek mempercepat denyut jantung dan
menjadikan mata tetap segar. Warga sekitar Puncak biasa menggunakan Khat untuk
menambah stamina. Kurangnya informasi tentang pelarangan narkoba jenis baru ini
pun membuat warga Puncak menanamnya dengan bebas.
Kekurangan informasi
dari BNN ini menimbulkan efek yang cukup signifikan kepada warga yang sudah
terlanjur mencari nafkah dari tamana Khat. Pihak polisi dan BNN menutup ladang
mereka dengan garis polisi yang secara otomatis mematikan mata pencaharian
mereka. Alih-alih memberikan ganti rugi atau pekerjaan bagi para penanam Khat,
BNN malah mengancam mempidanakan para petani yang masih nekat menanam Khat.
08 February 2013
Mati Suri di Jakarta
“Apakah kamu pernah
bermimpi tentang mati? Mati tenang di padang rumput. Dimakan belalang dan
dihirup langit. Debu dari abu tanahmu menjadi satu dengan tanah. Apakah kamu
pernah merasakan mati? Aku sedang mengalaminya.”
Seperti itu monolog yang
dibawakan oleh Desi, seorang biasa yang meninggi derajatnya setelah dipaksa
oleh ibunya untuk menjadi simpanan seorang pengusaha kaya, James. Desi yang tidak
tahan hidup sebagai gundik akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan James dan
menikah dengan Sam, seorang lelaki yang telah memiliki istri.
Naas, Sam tak pernah
pernah mencintai Desi seutuhnya. Kehidupan Desi bersama Sam jauh lebih
mengenaskan daripada saat masih bersama James. Setiap pulang ke rumah ibunya,
wajah Desi selalu terlihat memar. Namun Desi tetap mengatakan seribu alasan
kepada ibunya untuk menutupi perlakuan kasar Sam. Karena Desi mecintai Sam,
dengan segala kekurangannya.
Sam yang memang tak
pernah mencintai Desi semakin menjadi-jadi. Ia hanya ingin mendapatkan harta
milik Desi, yang diwariskan dari James, mantan suaminya. Diam-diam, Sam bersama
istri pertamanya merencanakan sebuah pembunuhan untuk Desi. Sam rela menyewa
jasa seorang pembunuh bayaran dengan biaya mahal untuk menghabisi nyawa Desi.
Ketika Sam dan Desi
sedang berjalan bersama di pasar malam, suasana tiba-tiba menjadi kacau, dan
Desi pun terpisah dari Sam. Desi yang sedang sendirian dan kebingungan terus
berteriak saat pembunuh itu datang. Tiba saatnya untuk pembunuh bayaran itu
malaksanakan tugasnya. Ia membunuh Desi dengan sebuah pusau panjang yang
dicabut dari sela pinggangnya. Dalam kematiannya itu, arwah Desi bermonolog ria
tentang kehidupan, yang tak pernah mendapatkan cinta dan kebahagiaan, dan
tentang kematian. Dan, sebagai perempuan yang menjadi korban, Desi dan Nyai
Dasima senang untuk menyambut kematian, karena menurutnya mati itu lebih
menyenangkan daripada hidup dengan keadaan tak memiliki hati nurani.
Menurut Ari “Harjay”
Wibowo, sutradara pementasan Teater Pagupon yang berjudul Mati Suri di Jakarta,
kisah ini merupakan reailta yang terjadi saat ini, khususnya di Jakarta, di
mana hati nurani telah mati. Serorang suami yang tega menyuruh pembunuh bayaran
untuk “membunuh” istrinya sendiri untuk mendapatkan harta kekayaan, merupakan
hal yang biasa terjadi di Jakarta.
Lakon Mati Suri di
Jakarta merupakan adaptasi dari karya sastra karangan G Francis, Nyai Dasima, yang menceritakan tentang
seorang gadis desa yang dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi gundik seorang
pria berkebangsaan Inggris. Hal itu dilakukan oleh orang tua Nyai Dasima untuk
meningkatkan derajat keluarganya. Pementasan Mati Suri di Jakarta merupakan
sindiran-sindiran terhadap keadaan yang memaksa untuk mematikan hati nurani
masyarakat.
Sebagai sutradara,
Harjay hanya berharap agar penonton dapat terhibur oleh pemantasan Mati Suri di
Jakarta. Karena menurutnya, teater itu haruslah merupakan hiburan. Perihal ada
pesan yang ingin disampaikan oleh pementasan tersebut, itu diserahkan kembali
kepada masing-masing penonton untuk bebas menginterpretasikannya.
02 February 2013
Tentang Sebuah Lagu dari Era 90-an
Siang itu langit
sedikit muram namun tak kunjung meneteskan hujan. Riko datang, saya ambilkan agar-agar
dan teh manis untuk dijadikan dorongan (berguna untuk menetralisir, layaknya
jeruk nipis untuk sebotol jamu lokal). Ya, berbicara dengan Riko memang lebih
afdol bila memakai dorongan agar semuanya lancar.
Dia datang mencari
segudang pekerjaan untuk mengisi waktu luangnya saat libur kuliah. Tak hanya
itu, ia pun memasang iklan motornya yang masih layak pakai (ini kisah nyata,
jadi kalau ada yang berminat segera hubungi saya).
Sudah selesai dengan
tujuan awalnya datang ke rumah, tiba-tiba dorongan yang saya berikan mulai bereaksi,
dikeluarkan handphone dari saku
celana pendeknya dan ia pun mulai mendengarkan lagu dari playlist-nya. Lagu asing lagi yang terdengar –setidaknya untuk
telinga saya- seperti Wieteke van Dort, Soundtrack serial Kera Sakti, Bob
Marley, dan banyak lagi. Tapi ada satu lagu yang mengingatkan saya tentang hari
Minggu siang ketika tahun 90-an, di mana panas matahari masih terhalang
rimbunnya pepohonan.
Anda salah bila mengira
lagu yang terdengar adalah suara-suara pemberontakan a la grunge Nirvana, lagu
dengan lirik-lirik misoginis Bon Jovi, atau pop manis indie lokal angkatan
Rumahsakit. Lagu yang melantun dari handphone
Riko bercerita tentang seorang pendekar yang selalu mengisi Minggu siang
anak-anak 90-an.
Anak-anak yang kala
itu yang menikmati hidupnya dengan berlarian, mengumpat di balik jembatan,
lewat sambil tertawa di atas sepeda, dan berkelahi setelah diadu oleh teman
yang lebih tua. Setelah mereka cukup lelah, saat yang tepat untuk pulang dan
menonton serial seorang pendekar berbaju putih dan ikat kepala berwarna putih
pula. Seorang pendekar yang kala itu cukup kondang di pergaulan anak-anak 90-an.
Bukan, bukan Catatan
si Boy yang menceritakan seorang pemuda kaya raya. Bukan pula serial Lupus yang
berteman dengan hari-hari sibuk nan melelahkan. Pendekar itu bernama Wiro
Sableng yang mempunyai guru bernama Sinto Gendeng. Dan, satu yang masih saya
ingat, delman itu nyungsep ke sebuah lubang.
Wiro Sableng yang terkenal
dengan nomor dada 212, mempunyai sebuah kapak yang ajaib. Entah apa yang ada
dipikiran Riko mendengarkan (lagi) soundtrack Wiro Sableng, namun lagu itu
sedikit membuat saya bernostalgia dengan, ya.. anak-anak 90-an. Bernostalgia dengan
otot-otot yang saya punya ketika itu, ketika menjadi manusia sempurna. Bila
tulisan ini hanya terpajang dalam layar monitor Anda, itu tandanya otot saya
sudah tak sempurna dulu lagi, seperti anak-anak 90-an dengan nyanyiannya. Setidaknya
sekarang kita bisa bernostalgia menjadi manusia sempurna.
Satu pesan dari Riko
siang itu, “Dari C#7 cuk, yok sama-sama
yok... cokocokocokocokocokocok...” biar sableng, biar jadi bener.
Subscribe to:
Posts (Atom)