Jurnalisme warga, menurut wikipedia, adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita. Sebagai mahasiswa komunikasi, tentu, jurnalisme warga sudah tak asing lagi di telinga kita. Saat ini semua sudah bisa menjadi wartawan.
Dalam sebuah esai di harian Kompas (13/10/2012), Agus Sudibyo, seorang anggota Dewan Pers, mengatakan, “Hampir semua kalangan masyarakat dapat menjalankan laku jurnalistik; mencari, merekam, mengolah, dan menyebarkan informasi dalam pelbagai bentuk. ..... Dalam berbagai kasus, jurnalisme warga memiliki pengaruh lebih besar dari jurnalisme konvensional,”[1] –dalam hal ini, media mainstream.
Jurnalisme warga, yang saat ini menjadi fenomena di Indonesia, lahir dari ketidakpuasan masyarakat dengan media massa yang ada. Media-media besar semakin hari semakin berpihak kepada kepentingan penguasa. Informasi yang dihadirkan sering kali tidak berimbang. Hal ini yang menyebabkan masyarakat tidak puas dengan berita-berita yang disajikan di media mainstream.
Banyak kepentingan yang terdapat di dalam informasi yang disajikan media massa. Mulai dari kepentingan politik, ekonomi, dan lain sebagainya, yang semakin membuat media massa tidak seimbang (cover both side) lagi dalam menyampaikan isi pernyataan. Yang dirugikan adalah masyarakat, yang mengkonsumsi media tersebut. Masyarakat diberikan mitos melalui tanda (bahasa) oleh media, kemudian media mengemas mitos itu dengan rapi, sehingga mitos itu dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh khalayak. Mitos-mitos yang diciptakan media mainstream membuat masyarakat terperangkap dalam tanda-tanda yang diberikan tanpa tahu kebenarannya, bagaikan seekor katak dalam tempurung. Dalam kepalsuan mitos itu pula, kualitas pikiran masyarakat terus menurun. Oleh karena itu, mitos yang dihasilkan oleh media perlu untuk dibongkar, diketahui asal-usul kebenarannya.
Pry S Pry dalam esainya di situs Jakartabeat.net mengatakan:
Tapi seiring
waktu, kebutuhan masyarakat untuk lebih dari sekedar memahami kompleksitas
zaman macam apa yang tengah terjadi di lingkungannya makin menguat. Media massa
sebagai sumber pengetahuan publik dalam konteks kebudayaan populer paling
strategis, dituntut untuk berperan menuntun publik lebih dari sekedar
menyajikan berita-berita kering nan kaku. Independensi, objektivitas, dan
universalitas tadi pun ramai-ramai digugat. Sebab seterang apapun fakta
disucikan, bukankah rumus 5W+1H itu adalah buah pikir subjektif sang jurnalis
ketika menentukan bagian mana yang harus dijadikan lead dan peristiwa apa yang dipilih untuk jadi headline.
Seorang jurnalis tak mungkin lepas dari subjektifitasnya dalam menyampaikan informasi kepada khalayak. Jurnalis bukan seorang Nabi atau Rasul yang membawa kebenaran mutlak, karena kebenaran itu relatif. Oleh karena itu, masyarakat sendiri yang harus aktif untuk mencari kebenaran tersebut.
Kerja jurnalis sebagai profesi hari
ini bukan lagi bagaimana memperjuangkan idealisme tunggal dari pribadi yang
narsistik dan mungkin juga sedikit nyeni
yang menjual mimpi-mimpi palsu akan independensi, objektivitas, dan
universalitas, tapi sebagai kerja kreatif tim yang juga mengandung praktik
kelas di dalamnya; reporter bergaji murah sebagai buruh middle class yang bekerja mengumpulkan fakta, redaktur sebagai elit
kecil yang memegang kemudi dari balik mejanya menjelang deadline hingga tengah malam buta, dan pemimpin redaksi yang
merancang strategi dan menyusun bagaimana komposisi idealisme dan komersial di
tengah ketidakpastian konteks politik ekonomi yang selalu tarik menarik.
Masyarakat yang memiliki sikap kritis, tentu, tidak begitu saja percaya dengan apa yang disaksikan melalui media massa. Mereka, yang masih bisa sedikit kritis, akan berusaha membongkar fakta yang diberikan oleh media mainstream. Namun, mitos yang dihasilkan oleh media massa, tidak lantas menjadi alasan untuk membenci media yang notabene-nya memberi informasi. Media hanyalah alat menyampaikan informasi. Jika ada yang harus disalahkan, tentu bukan medianya, namun kepentingan di balik media tersebut.
Salah satu cara untuk membongkar mitos tersebut adalah dengan bersikap independen. Dan, berusahan untuk menciptakan media yang dinilai lebih jujur, obyektif, tanpa adanya kepentingan para penguasa. Mahasiswa tentu memiliki peranan yang penting dalam upaya membongkar mitos-mitos yang ditampilkan oleh media massa dengan membuat sebuah wadah informasi yang independen. Sebagai pelaku intelektual, mahasiswa berkewajiban untuk mengarahkan lingkungan sekitarnya agar menjadi cerdas dalam memilih dan menerima informasi dari berbagai gempuran media. Dan, tidak hanya sekedar menerima, tetapi juga bisa menghasilkan informasi, yang bebas dari kepentingan penguasa, kepada khalayak luas. Dari hal tersebut munculah jurnalisme warga, sebagai media dari dan untuk untuk masyarakat.
Jurnalisme warga lahir dari masyarakat yang muak dengan media massa mainstream, yang seragam. Mereka, masyarakat yang muak dengan media mainstream, lantas mencari media alternatif, mengamati dan mulai menirukannya. Sadar atau tidak, mereka telah menjadi media –setidaknya media untuk menyalurkan pemikirannya sendiri. Saat ini masyarakat dapat dengan sangat mudah menjadi media yang memnyampaikan pikiran-pikirannya tentang isu atau kondisi yang sedang terjadi melalui situs jejaring sosial yang ada. Jika antusias seperti ini dikelola dengan baik, seperti jurnalisme profesional, tentu akan menjadi alternatif bagi masyarakat untuk menemukan informasi yang berbeda dari berbagai perspektif.
Namun, terjadi sesuatu yang ironis dalam kehidupan media di Kampus Tercinta. Ketika jurnalisme warga sedang mengalami masa keemasannya, kehidupan media di Kampus Tercinta justru mandeg di situ-situ saja. Lihat saja, Epicentrum, yang memiliki sejarah panjang dan terkenal “doyan” mengritisi kebikajan di Kampus Tercinta, sudah susah untuk ditemui saat ini. Eleven, produk resmi Himpunan Mahasiswa Jurnalistik (Himajur) IISIP, yang tak jelas ditribusi penerbitannya. Dan, masih banyak lagi media kampus yang “hidup segan, mati pun tak mau”. Kampus yang terkenal dengan sebutan Kampus Jurnalistik, justru kehidupan medianya seperti mengalami “mati suri”.
Kampus, yang katanya, dulu forum-forum diskusi berbau paham ke kiri-kirian atau lebih demokratis banyak ditemui di setiap kumpulan. Namun saat ini, semua hanya kenangan. Kita, sebagai mahasiswa generasi yang sedang melakoninya, tak bisa lagi merasakan aroma pertempuran melalui media kampus. Semua hanya tergambarkan dari cerita-cerita senior yang mesih tersisa.
“Don’t hate the media, just be the media,” begitulah salah seorang kawan saya, salah satu alumni IISIP Jakarta yang sempat merasakan ramainya kehidupan media di Kampus Tercinta, berucap. Jangan pernah menyalahkan media bila kita tak dapat berbuat apa-apa. Setidaknya, bertindaklah sebagai media. Media yang menghasilkan pikiran-pikiran segar, yang telah lama hilang dari media-media besar dan juga telah terbenam dalam lingkungan kampus kita. Yang pasti, mahasiswa, seperti kita, adalah masyarakat yang berkesempatan untuk menjadi intelektual yang bertindak secara independen.
Sudah jelas tugas kita sabagai mahasiswa, sebagai masyarakat yang berkesempatan menjadi kaum intelektual, haruslah mencari alternatif untuk masyarakat banyak –minimal dalam lingkungan kampus. Ketika media massa mulai mandeg, berisi berbagai kepentingan ekonomi politik, saatnya bagi media kampus bersikap independen dalam memberikan informasi. Karena hanya mahasiswa yang memiliki kesempatan itu dengan sangat besar dan mampu bersikap independen tanpa kepentingan yang muluk-muluk. Pun ada kepentingan, itu hanyalah pencarian eksistensi kehidupan yang alami.