Hari terakhir di 2017. Rengekan Siti Annisa dari sebulan sebelumnya berhasil membuat saya tak sempat meletakan badan di tempat tidur nyaman, di lantai dua kamar berantakan yang ada gambar Che Guevara-nya. Dari sebulan lalu, dia terus mengajak untuk ke Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN). Saya terpaksa tak tidur, menemaninya, menjadi orang paling artsy di muka bumi dengan berfoto di “Infinity Mirrored Room – Brilliance of the Souls” milik Yayoi Kusama.
Sejak dibuka pada 7 November, seperti namanya, Museum MACAN memang dikhususkan untuk seni modern dan kontemporer. Sebanyak 90 koleksi dari 70 seniman yang dihadirkan di ruangan yang luasnya sebesar lapangan bola itu. Salah satu yang mencuri perhatian tentu saha karya milik Yayoi Kusama. Sejak dibuka, karya yang dibuat pada 2014 itu memang sering muncul di Instagram.
Kepopuleran karya itu dibuktikan dengan antrean yang sangat panjang untuk memasuki ruangan tanpa batas itu. Antrean yang lebih panjang daripada berjajar saat ingin menaikin wahana di Dufan. Pasalnya, untuk bisa menikmati karya Kusama itu, saya harus masuk dulu ke dalam ruangan sebesar 4x4 meter itu.
Saya melihat seorang bapak tua bersama istrinya masuk ke dalam, dan keluar dengan tergesa-gesa. Ketika si istri masih berswafoto di sana-sini, bapak tua itu pergi ke jendela kaca yang di depannya terbentang kemacetan Jalan Panjang Kebon Jeruk menjelang pergantian tahun. Ia memandang keluar, seolah ingin menampar orang-orang yang antre berjam-jam untuk masuk ke ruangan tak terhingga dan berkata, “Inilah seni yang sesungguhnya. Kemacetan, jalan, dan senja. Setiap orang bisa menikmati tanpa harus mengantre.”
Setelah 1,5 jam mengantre, baru saya berada di depan puntu masuk ke dalam karya seni yang sedang hip itu. Namun, di dalam ruangan Kusama, waktu hanya dibatasi 20 detik. Menikmati karya seni dalam 20 detik, pacar saya mengabadikannya dalam tiga foto. Tak lama, pintu digedur dari luar dan kami pun di suruh pergi. Masih banyak yang mengantre.
Instalasi karya Kusama memang menarik. Puluhan polkadot yang tergantung terpantulkan di antara kaca-kaca yang ada di dalamnya dan air di bawah pijakan, membuat ruangan itu seperti tak terhingga. Namun, waktu 20 detik di dalam “Infinity Mirrored Room – Brilliance of the Souls” tentu sangat tidak cukup untuk menikmatinya. Lantas, saya mengikuti jejak bapak tua yang sebelumnya, melihat ke arah jendela. Benar, pemandangan dari atas lantai lima itu memang tak kalah menarik dari karya Kusama. Apalagi, saya tak perlu mengantre untuk melihatnya.
Tak ada yang salah dengan karya instalsi Kusama. Sama sekali tidak. Karyanya memesona. Hanya saja, antrean yang panjang dan waktu pelit yang diberikan sudah kadung membuat mood saya rusak. Alih-alih menikmati, saya justru antipati. Sekali lagi, bukan pada Yayoi. Tapi keadaan. Keadaan di tengah-tengah kumpulan para artsy.
Meski begitu, Museum MACAN tetap layak dikunjungi. Selain karya Yayoi yang hip, ada banyak karya lainnya yang begitu nikmat untuk dipandangai. Saya memotret beberapa karya, di antaranya “Ngaso” (1964) karya S Sudjojono dan lukisan H Widayat berjudul “Menonton Sepak Bola” (1981).
Melalui lukisan Sudjojono, saya melihat para laskar pejuang yang ternyata juga manusia. Di balik bangunan yang hampir roboh, para laskar itu bergunjing, ada pula yang berjaga dan tidur beralaskan tanah. Sementara lukisan Widayat, saya menjadi tahu kalau sepak bola memang sudah populer sejak nenek moyangmu belum bisa berjalan. Betapa tidak, pohon dengan ranting kecil itu penuh dengan manusia-manusia yang tak kebagian tempat di pinggir lapangan.
Akhir tahun 2017 memang mengesankan. Tak tidur seharian membuat saya begadang hingga tahun baru datang. Sayang, pacar saya sudah harus pulang tanpa menikmati momen-momen manusia menciptakan polusi cahaya di Jakarta. Warung kopi, ada tempat terakhir yang saya kunjungi demi menyambut tahun Anjing Tanah.
Di Tahun 2018 ini, kesenian sepertinya akan lebih banyak menghampiri saya dari kehidupan sehari-hari ketimbang terus nongkrong di galeri. Baru empat hari berjalan, 2018 memberi kejutan seni yang luar biasa. Di lantai LG Pasific Place, setelah menyelesaikan sedikit urusan bisnis, kandung kemih sudah mengembang. Melihat petunjuk arah, saya menghampiri sebuah toilet yang beraja di sudut ruangan.
Ketika memasukinya, seorang bapak paruh baya menyapa saya. Selamat sore, katanya. Saya balas dengan senyuman. Setelah kecing di kloset berdiri dan menekan tombol penyiram air, ia kembali mengucapkan sesuatu. Terima kasih, ucapnya.
Dalam hati, ini adalah bentuk seni yang sesungguhnya. Ketika di terminal atau tempat-tempat umum, sekali kecing di tempat sederhana, kalau tak mau dibilang kotor, harus merogoh kocek Rp 2 ribu. Di tempat ini, kecing di ruangan bersih nan mewah justru mendapat ucapan terima kasih.
Saya tak sempat membalas ucapannya. Hanya sedikit senyum lalu pergi. Peradaban di 2018 ternyata telah jauh berlari di luar kendali.
No comments:
Post a Comment