Saya menganggap kopi hanya sebagai teman bicara. Sungguh hanya teman bicara. Kalaupun diganti dengan susu atau teh, tak ada masalah.
Bagi saya kopi memang tak ada yang istimewa. Belum ada, lebih tepatnya. Sampai saat, semalam saya berkunjung ke sebuah kedai kopi kecil milik kenalan saya, Mirza Jaka Suryana.
Jaka (saya memanggilnya Bang/Mas Jek) baru membuka kedai kopinya pertengahan Juni lalu. Ia menamai kedainya Epikurian Unbreakable Coffee. Letaknya, di samping Rumah Makan Padang, sebelum Kampus Tercinta.
Malam itu, saya menemukan arti kopi sesungguhnya: memang sebatas teman bicara.
Saya mengenal Bang Jek memang belum lama. Baru sekitar enam bulan. Sebelumnya, mungkin hanya kenal sebagai teman Facebook.
Malam pertama saya menemuinya, enam bulan lalu, adalah berkat Pry S, pendahulu saya di Teater Kinasih. Malam itu, ia sedang ingin reuni dengan anak-anak Ruang Melati, tempat mabuk dan diskusinya saat masih kuliah.
Ruang Melati telah tiada, malam itu kami akhirnya bertemu di warung Tulang. Tak banyak yang datang, hanya Bang Jek dan Wisnu. Ervin Kumbang, yang sejak sore ada di kampus, memilih pergi ke acara musik yang mengusung tema "Tribute to Radiohead".
Malam itulah saya menjadi pendengar reuni tiga orang anak Ruang Melati. Bang Jek, Pry S dan Wishnu banyak bicara, dan kemudian menyusul Gigih Gilang. Saya hanya sesekali tertawa.
Saya sedang pusing-pusingnya. Malas bicara. Hingga terlontar ucapan saya, "Mas, gue pengen sesuatu yang baru nih. Bosen gini-gini aja. Apa gue cuti kuliah aja ya?"
"Emang lu mau ngapain, Bay?" sambung Bang Jek.
"Gue juga gak tau. Tapi pengen kegiatan baru."
Bang Jek dan yang lain hanya memberi masukan sekenanya. Dan saya pun tak jadi cuti kuliah dan kegiatan saya masih itu-itu saja; berteater dan sesekali membaca puisi bersama Kaum Pemikir.
Setelah lama tak berkomunikasi dengan Bang Jek, awal Juni kemarin tiba-tiba ada kabar kedai kopi miliknya akan segera buka.
Saya baru sempat datang mengunjungi Unbreakable Coffee semalam, setelah berbuka puasa bersama Teater Kinasih yang hanya dihadiri oleh lima orang.
Saya memesan segelas Kopi Solok sambil mengambil buku yang berjejer rapih di dinding kedai. Sejarah pers Indonesia.
Tak lama, Putra Muhammad Akbar dan Gloria Safira datang, dengan wajah-wajah lesunya. Langsung saja saya menawarkan diri ditraktir gaji wartawati muda ibokota. Sepiring kentang goreng lengkap dengan sausnya.
Setelah itu, obrolan saya berlanjut. Masih ditemani segelas Kopi Solok yang belum habis. Akbar sudah pulang takut ditinggal kereta, tinggal Safira masih duduk mengingat perjalanan harinya yang telah usai, melamun sendirian.
Dengan diiringi alunan gitar Ervin dan vokal Marthin membawakan tembang Nirvana, saya akhirnya berbincang dengan Bang Jek, dengan tampilan khasnya; kumis dan jenggot lebat dan pakaiannya yang kumel. Perbincangan singkat kami semalam adalah perihal bisnis barunya ini. Mengapa ia akhirnya membuka kedai kopi.
Setelah itu, obrolan saya berlanjut. Masih ditemani segelas Kopi Solok yang belum habis. Akbar sudah pulang takut ditinggal kereta, tinggal Safira masih duduk mengingat perjalanan harinya yang telah usai, melamun sendirian.
Dengan diiringi alunan gitar Ervin dan vokal Marthin membawakan tembang Nirvana, saya akhirnya berbincang dengan Bang Jek, dengan tampilan khasnya; kumis dan jenggot lebat dan pakaiannya yang kumel. Perbincangan singkat kami semalam adalah perihal bisnis barunya ini. Mengapa ia akhirnya membuka kedai kopi.
"Kopi itu sesuatu yang dekat dengan kita, tapi belum tentu semua orang bisa ngopi."
Atas dasar itu, Bang Jek, yang pernah dilarang satpam masuk kampus, menggunakan konsep derma dalam menjalankan Unbreakable. "Lu di sini bisa ngopi, sekaligus derma."
"Lu beli kopi satu, tapi bayar dua. Nah, jatah kopi satu lagi akan kita bagi buat orang gak punya duit tapi pengen ngopi," jelas Bang Jek.
Saat itu saya masih kurang paham. Hingga akhirnya Bang Jek melanjutkan, "Jadi setiap pengunjung di sini punya hak untuk minta kopi gratis jatah derma."
Saat itu saya masih kurang paham. Hingga akhirnya Bang Jek melanjutkan, "Jadi setiap pengunjung di sini punya hak untuk minta kopi gratis jatah derma."
Bibir saya hampir sumringah mendengar keterangannya. Pasalnya, enam bulan ke depan, saya pasti akan sering minta jatah derma di kedai kopi ini.
Selain mungkin uang saya akan habis untuk skripsi, di Unbreakable juga banya buku yang bebas dibaca. Karena mungkin buku-buku di sini lebih relevan dijadikan referensi daripada buku di perpustakaan Kampus Tercinta.
Enam bulan lalu, saya menanyakan kepada Bang Jek hal baru apa yang harus saya kerjakan, namun tadi malam kemarin justru saya melihat hal baru darinya; sebuah kedai kopi kecil yang ramah.
Kedai kopi yang menawarkan kopi dalam bentuk aslinya, sebagai teman bicara.
Mungkin memang tak ada hal baru dari saya sejak enam bulan lalu bekenalan dengan Bang Jek, selain perempuan manis berhidung tipis. Ya sudahlah. Setiap manusia punya cara tersendiri untuk melakukan kebaikan.
Mungkin lewat perempuan berhidung tipis itu, saya bisa menularkan kebaikan.
Selain mungkin uang saya akan habis untuk skripsi, di Unbreakable juga banya buku yang bebas dibaca. Karena mungkin buku-buku di sini lebih relevan dijadikan referensi daripada buku di perpustakaan Kampus Tercinta.
Enam bulan lalu, saya menanyakan kepada Bang Jek hal baru apa yang harus saya kerjakan, namun tadi malam kemarin justru saya melihat hal baru darinya; sebuah kedai kopi kecil yang ramah.
Kedai kopi yang menawarkan kopi dalam bentuk aslinya, sebagai teman bicara.
Mungkin memang tak ada hal baru dari saya sejak enam bulan lalu bekenalan dengan Bang Jek, selain perempuan manis berhidung tipis. Ya sudahlah. Setiap manusia punya cara tersendiri untuk melakukan kebaikan.
Mungkin lewat perempuan berhidung tipis itu, saya bisa menularkan kebaikan.
No comments:
Post a Comment