Saya menulis ini dengan emosi. Pasalnya, kegiatan untuk
berkarya dihalangi. Padahal Orde Baru telah lewat. Namun mentalnya masih
tertanam. Mental untuk memberangus kebebasan.
Jadi ceritanya, saya sedang melakukan latihan teater untuk
pementasan di Bulungan, dalam rangka mengikuti Festival Teater Jakarta Selatan.
Seperti biasa, satpam datang mendatangi ruangan tempat kami latihan untuk
segera menyudahi latihan. Saya berbicara sebentar dengan satpam tersebut, ia
mengerti dan memberi waktu tambahan. Saya melanjutkan latihan.
Tak lama, satpam itu kembali lagi. Saya kembali meminta
tenggang waktu untuk latihan sampai selesai. Ia mengalah, latihan berlanjut.
Ketika memasuki babak akhir pementasan, Yafis Lubis datang.
Ia langsung menyuruh kami semua yang sedang latihan untuk pulang. Saya kembali
harus berkordinasi untuk mendapatkan jam tambahan.
“Pak, di sini kami latihan kan untuk mewakili IISIP Jakarta
di ajak Festival Teater Jakarta. Kan membawa nama kampus juga. Masa gak boleh
sih?” ucap saya.
“Iya, itu bagus. Tapi harus tetap lihat peraturan dong. Kamu
tahu peraturan yang baru kan?” bantahnya dengan mata yang tak mau melihat mata
saya.
“Iya tahu. Tapi kita ini bawa nama kampus.”
“Kan bisa siang.”
“Lho kan kalau siang kita kuliah.”
“Kamu tahu berita tentang Unas?”
“Tahu. Tapi kita gak narkoba dan minum-minum kok. Kita
latihan, berkarya. Masa gak diijinin?” ketus saya.
“Kalau kamu saya ijinin, nanti yang lain ikut minta
diijinin.”
“Terus bagaimana, pak? Latihannya sebentar lagi juga selesai.
Kalau bapak mau nonton, ya nonton aja di dalem.”
“Lho saya mesti pulang. Saya punya keluarga di rumah,”
bantahannya mulai tidak masuk akal.
“Terus saya harus gimana, pak?”
“Kamu pakai surat izin, besok kasih ke saya di depan.”
“Pak, pakai surat izin itu lama. Biasanya seminggu baru
keluar. Sedangkan pementasan ini minggu depan.”
“Besok kamu langsung ketemu saya, saya langsung kasih
diizinin atau tidaknya.”
Saya mengiyakan dan kembali ke dalam untuk memberitahukan
agar latihan tetap dilakukan sampai selesai.
***
Kampus memang kembali mengeluarkan peraturan yang
kontroversial. Di depan gerbang masuk, spanduk besar terpampang bahwa mahasiswa
reguler harus mengosongkan area kampus pukul 18.30 WIB. Setiap dosen yang masuk
kelas pun membacakan peraturan tersebut. Tak ada catatan kaki, tak ada
toleransi. Hanya disebutkan demi keamanan dan ketertiban. Saya tidak ingat
kalimat-kalimat selanjutnya.
Memang peraturan baru ini sangat berhubungan dengan kejadian
yang menimpa Universitas Nasional (Unas) beberapa waktu lalu. Kampus yang
terkenal militan itu digrebek Badan Narkotika Nasional (BNN). Dan, barang bukti
berupa ganja dan sabu, ditemukan di ruang sekretariat unit kegiatan mahasiswa.
Ada seorang dosen yang dengan remeh mengatakan bahwa kampus
ini layaknya pabrik tekstil. Masuk pukul 8.00 pulang pukul 18.00 WIB.
“Ya seperti pabrik tekstil, begitu karyawannya keluar
langsung membuat macet jalanan,” ucap dosen tersebut.
Pabrik tekstil. Saya terus-menerus tertawa pahit ketika
kembali mengingatnya. Sebuah kampus yang mendidik mahasiswanya menjadi buruh.
Bukan menjadi intelektual.
Kalau kampus takut mahasiswanya menggunakan narkoba, silakan
digeledah Kampus Tercinta ini. Saya rasa itu lebih efektif daripada mengusir
mahasiswa yang ingin berkarya –dalam bentuk apapun. Kampus yang mendidik
mahasiswanya menjadi intelektual tak akan mengusir mahasiswanya yang sedang
berkarya. Bahkan di SMU disediakan waktu untuk siswa melakukan kegiatan
ekstra-kulikulernya. Mengapa di kampus, yang katanya sarang intelektual, harus
dibatasi seperti di pabrik tekstil?
Ingat, Bung, para pendiri bangsa ini merumuskan teks
proklamasi pada malam hari. Saat keadaan sunyi, saat pikiran menjadi tenang.
Saya tidak ingin menginap juga di kampus, namun ayolah kita saling terbuka.
Tidak saling mengajari untuk berbohong.
Saya ulangi kalimat saya di atas: Kalau kampus takut
mahasiswanya menggunakan narkoba, silakan digeledah Kampus Tercinta ini. BNN
menemukan narkoba di sekretariat UKM Unas. Bagaimana kami mau menyembunyikan
narkoba kalau sekretariat saja tak setiap UKM memiliki?
Tabik!
No comments:
Post a Comment