Foto: Dokumentasi Wayang Beber Metropolitan
Siang itu, matahari
di Jakarta sedang seperti biasa panasnya. Suasana Kota Tua cukup ramai oleh
para pengunjung. Pertunjukan Wayang Beber Metropolitan dijadwalkan pukul 10.00
WIB dan pengunjung Museum Wayang satu per satu menghampiri keramaian musik yang
mengiringi jalannya pertunjukkan.
Dalang mulai
membeberkan tentang lakon yang dibawakannya, Labusuri (Laku Budi Suluh Nagari).
Alunan musik dan efek visual layar proyektor mengiringi cerita sang Dalang tentang
sebuah desa yang gemah ripah loh jinawi (tenteram dan makmur serta sangat subur
tanahnya) di Republik Beber, desa Madusari. Namun tiba-tiba musik riuh ketika
modernisasi datang. Hutan ditebang, lawah persawahan beralih fungsi, para
petani kehilangan mata pencahariaanya.
Keadaan tersebut
membuat masyarakat marah. Petani yang biasanya pergi ke sawah, saat ini harus
pergi menuntut hak mereka kepada penguasa. Demonstrasi besar-besaran dilakukan
oleh rakyat desa hingga bentrokkan dengan petugas bayaran penguasa tak
terhindarkan. Banyak petani yang pergi dan tak pernah kembali lagi.
Desa madusari telah
berubah. Madusari yang dulunya selalu panen hasil bumi, saat ini panen bencana
yang datang. Bencana silih berganti menghampiri, masyarakat desa memiliki aktivitas
baru untuk menggantikan kegiatan bertani, yaitu demonstrasi. Demonstrasi tak
hanya menjadi aktivitas, namun juga mata pencaharian.
Ada sebuah keluarga
kecil, keluarga Pak Wongso yang harus merelakan istrinya untuk melancon menjadi
tenaga kerja di negeri seberang. Keluarga tersebut tak bisa lagi mencari
kehidupan di Madusari. Sementara biaya pendidikan semakin membengkak, namun
benbanding terbalik dengan itu, sarana dan prasarana pendidikan justru semakin
memprihatinkan.
Keadaan di desa
Madusari sama halnya dengan keadaan di ibukota Republik Beber, Natiloportem.
Modernisasi tidak muncul secara tiba-tiba, namun menjalar dari ibukota menuju
desa-desa di Republik Beber.
Kesemerawutan di
Natiloportem ternyata memang telah diatur sedemikian rupa oleh penguasa, di
mana kemacetan dan suara klakson kendaraan dianggap sebagai silaturahmi kolosal,
tawuran dipandang sebagai olah kanuragan, dan tumpukan sampah adalah museum
yang menyimpan segala benda kenangan. Natiloportem didesain sedemikian rupa
oleh penguasa dengan tujuan agar rakyat Republik Beber dapat survival dalam kondisi apapun. Ironis,
namun tetap tidak ada yang peduli dengan keadaan tersebut.
Bencana banjir
datang. Seperti tahun-tahun yang telah berlalu, bajir datang bersamaan dengan
datangnya kepedulian. Namun, kepedulian tidak berdiri sendiri, selalu ada
kepentingan yang melatarbelakangi. Posko kepedulian banjir menjamur
dimana-mana, kepentingan penguasa pun hadir bersamanya.
Bencana datang
terus-menerus, hingga pada suatu ketika air bah datang memporah-porandakan
Natiloportem. Ibukota Republik Beber tenggelam, kemelut awan mendung menaungi
langitnya.
Mereka yang tersisa
membangun kembali semua yang telah hancur di sebuah bukit. Mereka membangun
harapan baru, memulai segala sesuatu dari hal yang paling kecil.
Pementasan Wayang
Beber Metropolitan memang dikenal selalu membawakan sesuatu yang berkaitan
dengan masyarakat saat ini. Dalam artian, nilai-nilai yang terdapat dalam
cerita-cerita wayang dikemas dengan kondisi saat ini.
Dalam pementasan
lakon Labusari ini, tak hanya menggunakan lembaran (beberan) dalam tampilannya.
Tetapi, Wayang Beber Metropolitan juga menggabungkan unsur digital, audiovisual
dan aksi teatrikal sehingga pertunjukkan berlangsung dengan menyenangkan.
Dalang Ki Edi
Sujumbo Jumbo atau yang biasa disapa Samuel menyampaikan bahwa pertunjukkan ini
ingin mengangkat realita yang sebenar-benarnya. Ia mengganggap bangsa ini
sedang berjalan miring. Dengan memnampilkan klimaks dalam bentuk banjir, Samuel
juga ingin mengkritisi budaya baru yang ada di Indonesia, yaitu banjir.
Banjir di
pertunjukkan ini juga menyimbolkan bangsa ini telah kebanjiran segala hal
hingga lupa dengan akar budaya keindonesiaannya. Menyalahartikan modernisasi
hingga menyepelekan makna budaya lokal. Padahal, dalam kebudayaan Indonesia pun
memiliki semua yang dibutuhkan untuk mengatasi kesemerawutan di sini.
Dalam akhir cerita,
Bukit Harapan adalah tempat bagi setiap orang yang masih memiliki harapan dan
keyakinan untuk terus berbuat dan bertindak.
Sang Dalang menyatakan bahwa tidak ada tendensi untuk menyalahkan modernisasi, namun membuat modernisasi jalan bedampingan dengan akar budaya bangsa ini. Terus-menerus menyalahkan pemerintah tidak akan berarti tanpa tindakan nyata. Dan, pertunjukkan ini adalah upaya Wayang Beber Metropolitan untuk terus melakukan sesuatu untuk bangsa ini.
No comments:
Post a Comment