Kabar penundaan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi merupakan kegembiraan bagi rakyat Indonesia. Ada dua tipe masyarakat yang merasa diuntungkan.
Pertama, masyarakat miskin. Setidaknya mereka masih dapat bernafas untuk enam bulan ke depan. Kedua, masyarakat yang tidak tahu diri menggunakan BBM bersubsidi untuk mobil pribadinya yang mewah. Jika tidak ada tindakkan yang tegas dari penyelenggara negara, masyarakat tipe kedua akan tetap menjadi parasit bagi negara. Subsidi seperti ini kiranya tak akan mampu menyejahterakan rakyat Indonesia. Saat pendidikan dan kesehatan terabaikan, rasanya mustahil bagi sebuah bangsa untuk berkembang.
Pemberian subsidi pada BBM secara bebas hanya akan memanjakan kaum-kaum borjuis dengan kendaraan-kendaraan mewahnya. Laju penjualan kendaraan bermotor juga akan semakin meningkat, sementara pembangunan jalan tersendat.Akhirnya Jakarta sebagai pusat perekonomian di Indonesia akan lumpuh oleh kemacetan. Pada saat seperti ini memang sulit untuk mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi karena masyarakat selalu dimanjakan oleh pemerintah untuk menutupi kebobrokkan kinerjanya.
Masyarakat Indonesia seolah-olah dibentuk untuk memikirkan perutnya saja. Sekarang pendidikan hanya dianggap sebagai sebuah syarat untuk tetap bertahan hidup yang terbungkus dalam selembar ijazah. Ironis memang, tapi seperti itulah kenyataannya saat ini. Dengan demikian, saat BBM bersubsidi akan dinaikkan, rakyat akan marah, pun subsidi tersebut akan dialihkan ke sektor-sektor yang lebih berguna.
Masyarakat tidak lagi memikirkan bagaimana mereka harus sekolah, tapi mereka akan berpikir untuk bertahan hidup. Hal tersebut merupakan pembodohan kepada masyarakat. Rakyat dibuat tetap menjadi bodoh agar tidak mengurusi penguasa-penguasa yang korupsi. Tenggelamnya kasus Nazaruddin dan para petinggi Partai Demokrat pada saat isu kenaikan BBM bersubsidi merupakan contoh nyata bahwa masalah “perut” lebih penting dari masalah korupsi.
Pemerintah sepenuhnya bertanggung jawab atas keadaan sekarang.Ini adalah konsekuensi tetap membiarkan APBN tersedot oleh subsidi BBM. Jika keadaan tetap seperti ini, APBN tentu akan habis hanya untuk subsidi BBM.
Kesejahteraan rakyat tidak akan tercapai jika pendidikan dijadikan “anak tiri” oleh para penguasa. Pemerintah harus bersikap berani untuk mengambil keputusan, tentu keputusan yang cerdas, yang tidak membodohi masyarakat.
BAYU ADJI P Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
Suara Mahasiswa Harian Seputar Indonesia
Thursday, 12 April 2012