“Aku suka ucapannya,” katanya pagi itu.
“Mengapa kamu masih saja mendengarnya sih? Berapa banyak
orang-orang sabar yang akhirnya tak bisa merdeka? Manusia adalah makhluk
berbudaya. Ia berdialektika, menggabungkan antara tesis dengan antitesis
sehingga menjadi sintesis. Begitu seterusnya. Hal itu tidak mengalir begitu
saja. Tesis adalah kebiasaan. Antitesis lahir dari perlawanan. Kita tak bisa
selallu mendengar. Harus melawan agar sintesis baru lekas ditemukan,” bantahku
kepadanya.
Ia diam dalam waktu yang lama. Cukup lama hingga tak ada
kabar berita, sampai aku merasa menang dalam satu pernyataan sekaligus pertanyaan.
Memenangkan sebuah pertarungan psikologis antara aku dan dia.